Salam jumpa bagi pembaca semua. Senang bisa menyapa kembali melalui buletin dwi-bulanan kami. Di edisi September-Oktober 2016 ini tim redaksi IVAA tengah menyiapkan berbagai sajian untuk dibagikan.
Pada edisi Juli-Agustus lalu, kami menyuguhkan rangkaian analisa dan data terkait dengan sejarah kritik seni rupa di Indonesia, serta menggarisbawahi peran Sanento Yuliman di medan tersebut. Berbagai pergeseran dan patahan yang terdapat dalam sejarah kritik seni rupa Indonesia telah kami suguhkan di situ. Tak lupa kami juga sajikan ragam istilah yang berkelindan di semesta kritik seni rupa. Hal itu kami suguhkan terutama untuk mengingatkan kita akan pentingnya melihat tiap peran demi peran yang turut andil dalam dinamika kritik, di saat kita hidup di tengah zaman yang serba ambigu, merindukan kritikus sekaligus tidak tahan dengan kritik.
Di edisi ini kami mengupas istilah ‘residensi’ yang memiliki asosiasi praktik pekerja seni di luar domisilinya. Beberapa ruang seni bahkan menggunakannya untuk model-model kerja intensif antara pengelola dengan seniman atau pekerja seni lain, tanpa mengharuskan perbedaan domisili. Pelaku residensi seni hari ini telah merangkul keragaman sebutan pelaku selain seniman, misalnya peneliti dan administratur seni. Residensi seni tidak terbatas pada disiplin tertentu dan teknis penyelenggaraannya bisa sangat khas pada keinginan pengampu program. Residensi, live-in, atau mondok yang kami angkat dalam edisi ini, adalah suatu modus operandi seni kontemporer melalui undangan atau kompetisi, yang mengizinkan pekerja seni Indonesia menjalani perannya secara profesional sebagai program suatu inisiatif seni.
Dalam menghadapi ramainya residensi, baik sebagai istilah maupun aktivitas, kami menghadapinya dengan melakukan penelusuran. Penelusuran ini kami lakukan dengan pendekatan sejarah, yang kemudian dikontekstualisasikan dengan dinamika praktik residensi yang hingga kini masih subur dan semakin jauh dari surut. Dimensi pertukaran, interaksi serta pengalaman keterasingan menjadi elemen yang tidak dapat ditinggalkan dari aktivitas budaya tersebut. Dari sinilah kiranya kita bisa melihat kedekatan antara seni dengan mobilitas, yang menjadi kecenderungan manusia jaman sekarang. Harapannya, kita tidak berhenti dan berpuas diri dengan melihat dan menjadi bagian dari residensi, namun turut melancarkan kritik serta berani bertanya pada diri sendiri.
Ulasan dan hasil eksplorasi yang ada di edisi ini sebaiknya memang tidak dipandang sebagai sebuah hasil jadi, namun sebagai bagian dari proses kami dalam berdinamika dengan masyarakat dan kuasa yang berkelindan di sekitar kita, dalam konteks kesenian. Selebihnya, kita tetap perlu jujur bahwa tulisan ataupun produk tulisan semacam ini tidak dapat menggantikan tatap muka, pertemuan dan interaksi antar manusia.
Selamat membaca dan salam budaya.
Pekerja Seni Mukim Sementara: Residensi sebagai Modus Operandi Seni Visual Indonesia
Oleh: Pitra Hutomo dan Tiatira Saputri
Sorotan Dokumentasi
Sekilas Kabar Pendokumentasian dan Hibah Arsip dari Seniman
Oleh: Dwi Rachmanto
Sorotan Arsip
Residensi dengan Target, Perlu atau Tidak?
Oleh: Melisa Angela
Sorotan Pustaka
Katalog “Seni dan Politik Posisi”
Oleh: Sukma & Lisistrata
Agenda RumahIVAA
Bedah Buku “Karya-karya Sugiarti Siswadi”
oleh: Tiatira Saputri
IVAA dalam Perhelatan Buku Andalan
Oleh: Sukma Smita
Diskusi dan Bedah Buku “Sejarah Estetika”
Oleh: Krisnawan Wisnu Adi
Ketika Seni dan Sejarah Beririsan: Ulasan Kuliah Umum Seni dan Sejarah
Oleh: Krisnawan Wisnu Adi
Pemutaran dan Diskusi Film “A Short Story of Raden Saleh Syarif Bustaman”
Oleh: Krisnawan Wisnu Adi
Pengumuman Kantor
Kawan-kawan Pemagang IVAA
Oleh: Melisa Angela