Indonesian Visual Art Archive (IVAA) bergerak dengan keyakinan bahwa kerja-kerja pengarsipan terikat oleh corak-corak sosial dan budaya yang partikular. Berbagai komunitas masyarakat memiliki budaya pendokumentasian masing-masing yang lekat dengan konteks hidup mereka. Oleh karena itu, alih-alih berambisi menyediakan cetak biru bagi pengarsipan berbasis komunitas, IVAA justru ingin menstimulasi keragaman percakapan dan praktik mengenai pendokumentasian dan arsip.
Keyakinan IVAA atas demokratisasi seni dan arsip menjadi latar bagi lokakarya “Membangun Arsip: Praktik Mengumpulkan, Merawat, dan Mengingat” pada 5-7 Juli 2024. Dalam lokakarya tersebut, arsip tidak sekadar didekati sebagai sebuah kegiatan teknis, melainkan juga sebagai aktivitas sosial yang perlu terus-menerus dipraktikkan, didefinisikan, dan dirawat bersama secara kritis.
Selama tiga hari yang intens, sesi-sesi tersebut mendiskusikan: siapa dan apa yang kita arsipkan? Bagaimana sepatutnya kita menciptakan pengetahuan dari arsip? Bagaimana kita memosisikan diri, selaku arsiparis, di hadapan subjek arsip? Apa yang menjadi motif pendokumentasian kita?
Setelah menjalankan proses seleksi, kami memilih sepuluh proposal riset untuk dikembangkan selama proses lokakarya.
Sepuluh proposal riset ini membentang dari isu seputar resiliensi warga, budaya alternatif, hingga upaya merawat ingatan komunitas ragam gender.
Meski lokus kerja tiap-tiap peserta begitu beragam, kami membaca adanya gestur umum yang diisyaratkan dalam masing-masing tulisan dalam publikasi ini: mengarsip sebagai strategi untuk membangun daya tahan, sekaligus daya tahan dalam mengarsipkan. Daya tahan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk sintas, berjuang, dan bertransformasi di tengah kesulitan. Dalam diskusi seputar arsip, daya tahan terkait erat dengan komitmen atas perawatan dan keberlanjutan—keberlanjutan hidup komunitas dan keberlanjutan pengetahuan. Percakapan tentang daya tahan dan pengarsipan pula yang melatari tajuk publikasi ini: “Dekat Memandang untuk Jauh Berjalan.”
Praktik perawatan komunitas mengharuskan kita untuk menjadi responsif dengan realitas sehari-hari di depan mata, yang kini dan yang di sini. Praktik ini sekaligus perlu berjalan atas keyakinan akan keberlanjutan: bahwa kita mampu melangkah lebih jauh, bahwa kita berhak atas esok hari. Dalam proses penyusunan buku ini, kami memikirkan kembali bagaimana daya tahan dapat dimaknai sebagai simpul yang mengikat kedua gagasan tersebut dalam konteks kerja pengarsipan berbasis komunitas. Melalui tulisan-tulisan dalam buku ini, kita dapat menyaksikan bagaimana daya tahan dimaknai, dikontekstualisasikan, pula dilekatkan dalam praktik pengarsipan pada beragam lokus dan sejarah.
https://tinyurl.com/AntologiGratisIVAA