oleh Febrian Adinata Hasibuan
Yang paling berkesan dalam proses membaca buku Nusa-Jawa Silang Budaya: Pembaratan karya Denys Lombard adalah bagaimana sejarah total (total history) dipakai untuk membaca masa lampau pulau Jawa yang selama ini kerap dipersepsi paling istimewa dari pada pulau di Nusantara. Proyek penulisan sejarah total—semangat mazhab annales ala Perancis—membuka peluang menilai sejarah lebih reflektif. Metode tersebut berbeda dari pendekatan sejarah politik, yang mencacah fakta masa lalu melalui kategori-kategori politik: adanya kecenderungan pendekatan marxis dan ilmu sosial yang berkembang pasca Perang Dunia II. Metode sejarah total mengedepankan durasi panjang (longue duree) untuk mendapat gambar besar mentalitas masyarakat. Di samping itu, secara khusus membawa saya membayangkan sejarah wilayah dan masyarakat yang tidak pernah berdiri sendiri, melainkan syarat persinggungan dan ketegangan di dalam jejaring dan interaksi sosio-kulturalnya.
Ada tiga hal yang bisa saya ingat dalam proses membaca buku Nusa-Jawa Silang Budaya: Pembaratan karya Denys Lombard, selama sebulan. Pertama, interaksi sosial atau silang sosial. Tanpa panjang lebar buku ini segera mengikis pandangan Jawa-sentrisme—yang hari ini agaknya kelewat batas atau etnosentris—dan memberinya fitur pemaknaan lain yaitu geo-historis. Di mana Jawa bukan entitas tunggal dan mandiri, melainkan mencakup proses dan strukturasi yang integratif dengan ekonomi-politik, sosial, dan budaya dalam proses “Pembaratan”. Dalam bukunya, Lombard memperlihatkan proses “Pembaratan” justru mula-mula masuk melalui masuknya para penginjil, kalangan aristokrat dan kelas terdidik. Seperti diperlihatkan pada persekongkolan elit kerajaan dan kolonial dalam urusan dagang berdampak pada sistem kerajaan di Jawa atau budaya atau para kelas terdidik (sastrawan, jurnalis, perupa, arsitektur, dan negarawan) pelan-pelan mulai terpesona alam pikir dan gaya hidup Eropa. Dengan penjelasan demikian, maka tertutup jalan untuk kembali ke Jawa origin, sebab Jawa bersifat interseksional.
Kedua, keambiguan! Arus pembaratan tidak sepenuhnya berhasil dan hasilnya tidak selalu berjalan sesuai yang diinginkan kedua belah pihak. Di masa Orde Lama, berbagai idiom-idiom modern banyak bermunculan: dari gelombang neologisme dalam komunikasi politik pemerintahan atau bahkan konsep kerja. Praktik neologisme atau proses memasukkan istilah dan konsep asing ke dalam bahasa umum di masyarakat, menemukan kejanggalan di kalangan negarawan. Misalnya, pemakaian istilah nasionalisme oleh Soekarno tidak sepenuhnya merujuk epistemologi atau konsep nasionalisme yang diadopsi dari alam pikir Eropa. Alih-alih, Soekarno merujuk pada kejayaan Majapahit—sementara dirinya pembaca filsafat nasionalisme yang tekun. Begitu pun konsep kerja yang diterapkan oleh kolonial—berbau imperialistik dan kapitalistik—kerap tidak bisa diterima oleh masyarakat koloni. Disebutkan, bahwa waktu itu persoalan ‘jam karet’ para pekerja dipandang kolonial negatif: malas dan tidak bisa bekerja. Sering kali, perbedaan ini melahirkan kekerasan fisik dan simbolik dalam relasi kolonial. Meski demikian, lama-kelamaan masyarakat mematuhi kerja kolonial dengan sedikit malas.
Ketiga, ‘persimpangan selalu’. Refleksi terakhir, konsep pemberatan tidak selalu berjalan integral dan linier. Dalam konteks hari ini, idiom-idiom yang semula Barat sulit dipetakan. Di satu sisi, ia sudah menjadi keseharian, sementara di lain sisi kita tahu kalau ia bukanlah sesuatu yang ‘lahir’ dari masyarakat kita. Sebut saja, konsep dan makna kerja yang dibawa kolonial hari ini jamak ditemui di masyarakat dan secara integral pada pranata sosial kita. Konsekuensinya: pekerja malas akan di-PHK! Selain itu, kerja dalam relasi industrial adalah realitas yang tak terhindarkan. Dengan kata lain, ‘jam karet’ tidak memungkinkan lagi dipandang semata konsep kerja orang Jawa. Apakah kehidupan masyarakat sekarang adalah kondisi di mana manusia selalu dalam persimpangan tanpa ujung?