Presentasi Mini Residensi EPHEMERA #2
Ephemera bisa diartikan sebagai kesementaraan. Dalam dunia kearsipan, ia dipakai untuk mengkategorikan terbitan dan cetakan, seperti poster, tiket, brosur dan pamflet, yang dianggap bernilai guna pendek, mengingat keberadaannya yang melekat pada sebuah perhelatan atau acara. Diambil dari bahasa Yunani yang berarti “berumur pendek”, istilah ini mengingatkan kita bahwa dalam pengarsipan, hal-hal yang berumur pendek, tidak disingkirkan, tetapi dipinggirkan. EPHEMERA merupakan ruang dari berbagai pengetahuan yang sedang diposisikan di pinggir. Keberadaannya, kadang, tidak dianggap sebagai arsip.
Di program ini, Ephemera adalah pengetahuan yang berserakan. Keberadaannya sering tidak disadari sebagai kekayaan pengetahuan. Kadang ia menolak untuk didokumentasikan, jika hal itu lebih untuk membekukan ingatan dan pengetahuan. Ia juga kadang mengelak untuk dikategorisasikan.
Selain membantu kita untuk menstrukturkan ingatan, kerja pengarsipan juga membawa resiko untuk tidak menghargai ‘kekacauan’ pengetahuan. Dari situlah EPHEMERA hadir, untuk menggarisbawahi berbagai potensi pengetahuan yang barangkali luput, metode produksi pengetahuan yang mungkin belum kita kenal, namun sesungguhnya hidup di sekitar kita. Bisa jadi ia berupa kreativitas dan keterampilan yang setara dengan ilmu kedokteran. Mungkin ia hadir sebagai siasat yang datang justru karena situasi mepet. Tidak jarang ia hadir melalui persoalan harian, tantangan-tantangan yang hadir dari sebuah acara bernama penyelenggaraan kehidupan.
Dengan semangat tersebut, salah satu program yang diselenggarakan adalah Mini Residensi. Program ini diikuti oleh partisipan yang dijaring secara terbuka tanpa kriteria yang mengacu pada pendidikan dan portofolio formal. Bersama para partisipan, kita berdiskusi, baik diskusi dengan narasumber maupun diskusi reflektif antar partisipan dan sesama staf IVAA. Melalui mini residensi ini, partisipan juga diajak untuk memproduksi artikulasi pengetahuan berbasis metode dan medium yang dipilih. Artikulasi pengetahuan inilah yang kemudian kita munculkan dalam berbagai bentuk dan disajikan bersama dengan proses yang bertumbuh.
Setelah berproses bersama selama kurang lebih sepuluh minggu, para partisipan kini menyajikan karya-karyanya dengan beragam bentuk, serta mengajak publik untuk turut menikmati karya-karyanya.
Rangkaian Kegiatan:
PROFIL PARTISIPAN
- Syska La Veggie
Syska La Veggie adalah seorang seniman visual, performance artist, dan aktivis perempuan di Jaringan Perempuan Pekerja Seni Indonesia (PUAN SENI). Karya-karya Syska banyak mengangkat isu-isu perempuan, terutama kesetaraan gender dan perlawanan terhadap budaya patriarki. Dalam kesempatan ini, dirinya hendak mengartikulasikan kembali pengalaman berkarya yang dianggap vulgar, tabu, dan represif, dan pembatasan hak berekspresi. - Muhamad Ari Nugraha
Ari Nugraha adalah seniman yang banyak menggali inspirasinya dari praktik budaya di sekitarnya. Ia menginisiasi WATIK atau Wayang Plastik, sebuah pertunjukan mendongeng anak-anak dengan material berupa daur ulang sampah botol plastik. Kali ini, Ari hendak mengolah Paraji/ Indung Beurang, praktik membantu persalinan dalam budaya Sunda sebagai tacit knowledge atau pengetahuan yang diperoleh dari pemahaman dan pengalaman seseorang. - Karin Josephine
Karin Josephine adalah seniman visual yang saat ini berfokus pada kolase. Dia memiliki kebiasaan untuk mencatat emosi dan keseharian dalam jurnalnya yang kebanyakan dijahit sendiri. Seiring indra pendengarannya yang menurun (Hard of Hearing), Karin membawa diri ke pencarian lebih dalam menuju diri sendiri dan melacak kembali sejarah keluarga; terutama dinamika keluarga keturunan Tionghoa yang kerap belum diberi ruang cakap di ranah publik. - Faida Rachma
Faida Rachma saat ini menekuni profesi sebagai seorang graphic designer. Faida memiliki ketertarikan pada praktik-praktik digital humaniora dan pengarsipan jejak digital. Refleksi atas kebiasaannya berselancar di dunia maya dan sosial media menginspirasinya untuk membuat projek Day to Day Codegram. Projek ini juga berkelindan dengan bagaimana Datakrasi mulai diperbincangkan sebagai kemungkinan atas politik dan teknologi masa depan. Gagasan inilah yang dibawanya dalam Mini Residensi – Ephemera #2. - Fredy Hendra
Fredy Hendra (lahir di Jombang, 1994) pernah bekerja sebagai asisten galeri di ARK Galerie selama lima tahun. Bekerja lepas dalam berbagai pameran, proyek seni, dan pertunjukan di Yogyakarta sampai saat ini. Ia memiliki ketertarikan untuk memperdalam pengetahuannya, tidak hanya di bagian teknis saja seperti menangani tata letak karya, pengemasan karya dan memasak, melainkan juga mempelajari kerja kuratorial dan bidang pengetahuan lainnya. Salah satu aktivitasnya saat ini adalah sebagai mahasiswa manajemen di Universitas Terbuka Yoryakata dan membantu proyek seni rupa. - Victor Fidelis Sentosa
Victor Fidelis Sentosa seorang fotografer yang banyak mengangkat tema-tema seputar lingkungan hidup dan human interest. Dalam Mini Residensi Ephemera #2 ini, Victor mengulas praktik pantang atau tato sebagai tradisi masyarakat Dayak Iban. Lebih jauh, ingin menguatkan tradisi tato sebagai identitas kultural dan mendorong perubahan di aspek kebijakan publik. Victor melihat bahwa tradisi ini terancam oleh penyebaran agama lewat kolonialisme dan stigma buruk atas tato pada zaman orba. - Yerie Yulanda
Yerie Yulanda, seniman asal Singkawang, Kalimantan Barat, yang sering terlibat dalam berbagai pameran di Kalimantan maupun di Yogyakarta. Singkawang, kota asal Yerie, memiliki satu-satunya Rumah Sakit Kusta di Kalimantan. Sementara, para penderita kusta banyak mendapat diskriminasi dan stigma negatif karena penyakitnya yang dianggap mudah menular. Kali ini, Yerie ingin melihat ulang posisi kaum disabilitas di Singkawang yang berpredikat sebagai Kota Toleransi di Indonesia, melalui proses kolaborasi penciptaan karya bersama.