oleh Sukma Smita
Le Carrefour Javanais, Essai d’histoire globale adalah judul asli berbahasa Perancis dari Seri Nusa Jawa: Silang Budaya Karangan Denys Lombard. Buku ini dipilih sebagai bacaan untuk klub baca IVAA dan jilid pertama tandas kami baca bersama sepanjang bulan Juni 2021. Jilid pertama buku ini diberi judul Batas-batas Pembaratan. Melalui buku ini Lombard memaparkan bagaimana asimilasi kultural yang terbentuk dari praktik kolonial dan daerah jajahannya. Kebiasaan saya, impresi awal pada buku biasanya muncul ketika membaca daftar isi. Dan daftar isi serta judul buku ini membawa ingatan saya pada penggalan lirik lagu ‘the west is the best’, sebuah lagu yang dinyanyikan grup musik rock Amerika, The Doors.
Sejarah perkembangan kebudayaan Jawa terbentuk dari sekian banyak cara. Melalui buku ini Lombard melakukan pelacakan perjalanan sejarah masyarakat Jawa tidak hanya melalui data-data sejarah konvensional, namun ia juga menstabilo berbagai peristiwa kecil dalam catatan sejarah. Pelacakan bekas-bekas pengaruh kolonial dipaparkan dengan luas dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat semisal bahasa, perkembangan teknologi, pendidikan dan ilmu pengetahuan hingga praktik kesenian. Dalam gaya penulisannya, Lombard terkenal sebagai penganut mazhab Annales, yakni dengan kecenderungannya untuk menonjolkan berbagai catatan sejarah sosial semua lapisan masyarakat beserta mentalitas praktik budayanya.
Uraian tentang pembaratan Jawa diawali Lombard dari bagaimana barat memandang Nusantara pada masa Hindia Belanda. Citra Hindia Molek terus berubah seiring dengan interaktivitas dan penguasaan kolonial. Melalui beberapa karya sastra setidaknya Lombard menandai ada 3 siklus yang menggerakan cara pandang barat atas wilayah timur. Secara runut, dalam beberapa karya roman petualangan, Lombard mencatat citra perompak yang beringas dan pemarah cukup menakutkan dan menghantui para petualang barat. Kemudian, tema kekerasan masih juga digambarkan namun bukan lagi dalam sudut pandang petualang. Citra dalam siklus kedua lekat dengan praktik mistis dengan latar belakang masyarakat kolonial di Jawa. Di beberapa roman dikisahkan bagaimana perlawanan masyarakat yang enggan menyerah pada kolonial dilakukan dengan melancarkan kekuatan-kekuatan gaib nenek moyang atau goena-goena. Siklus ketiga adalah penggambaran citra wilayah-wilayah di luar Jawa. Dalam siklus ini, Lombard banyak menyebut karya-karya sastra lebih dari dua siklus sebelumnya. Ragam roman menggambarkan betapa eksotisnya kepulauan-kepulauan di luar Jawa. Beberapa daerah di Sumatera, Kalimantan dan pulau di Indonesia Timur diceritakan sebagai suatu wilayah yang memiliki bentang alam indah namun sekaligus penuh misteri, membuat penasaran dan menantang.
Diawali dengan kedatangan bangsa-bangsa barat, terutama Belanda yang berlabuh di Banten bersama misi dagangnya, semakin lama makin mempertebal berbagai interaktivitas dan persinggungan budaya bangsa barat dan Jawa. Kontak antar bangsa kemudian semakin intens dan terjadi pada berbagai bidang mulai dari perdagangan, wisata hingga usaha-usaha penaklukan. Dari sini dimulailah pembaratan menorehkan jejak-jejak yang meski samar namun cukup mempengaruhi mentalitas masyarakat Jawa bahkan Indonesia. Jejak-jejak ini kemudian dilihat sebagai dampak pembaratan dan dalam pemaparan Lombard muncul dalam berbagai bidang politik, ekonomi dan sosio-budaya. Oksidentalisasi atau pembaratan bisa dilihat sebagai sebuah proses asimilasi budaya yang alamiah, ketika ada kontak maka ada pertukaran.
Prof. Dr. Sartono Kartodirjo dalam pengantarnya menyatakan bahwa westernisasi sebagai dampak kolonialisme bisa disoroti secara positif sebagai proses modernisasi. Bagi Sartono, perubahan amat penting atau transformasi struktural itu misalnya pada bidang birokrasi, organisasi, proses, komersialisasi, komunikasi, sekularisasi, industrialisasi dan lain sebagainya, karena cukup relevan dengan studi pembangunan hari ini. Dari pernyataan ini, saya kemudian kembali pada penggalan lirik lagu The End, “the west is the best..”. Rasionalisasi berbagai pemikiran barat memang kemudian diserap oleh beberapa golongan masyarakat Jawa. Lombard lalu membagi beberapa kelompok masyarakat yang terpengaruh proses pembaratan: golongan masyarakat Kristen yang berkembang sebagai dampak dari aktivitas misionaris bangsa barat; golongan priyayi yang diberi keistimewaan oleh pemerintah kolonial, namun dikerdilkan perannya demi menutup peluang terjadinya perlawanan; golongan kelas menengah yang lahir sebagai dampak dari urbanisasi; serta golongan militer dan akademisi.
Modernisasi dan pembaratan sebagai dampak kolonialisme yang tidak selalu membawa dampak negatif bisa disamaartikan dengan penggalan lirik lagu tersebut. Bahwa pemikiran-pemikiran baru bangsa barat cukup memesona dan bisa dilihat sebagai masa depan. Menurut Lombard pemikiran ini salah satunya dicirikan dengan kepercayaan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah pemecah segala masalah. Lombard menelusuri bahwa banjir teknik barat memunculkan beberapa dampak dalam struktur masyarakat Jawa dalam beberapa bidang: ekonomi dan demografi yang tercermin dari berbagai inovasi dalam bidang industri, teknologi dan transportasi yang seturut membawa kegoyahan keseimbangan ekologis dan demografis pulau Jawa; teknik pembinaan masyarakat, yang melahirkan sistem pencatatan administrasi negara, waktu dan penanggalan serta sistem mata uang tunggal sebagai sebuah upaya pengelolaan negara modern; busana, tingkah laku dan bahasa, dengan makin populernya gaya berpakaian ala Eropa, penggunaan alat makan sampai aturan, etika dan bahasa, pengaruh yang cukup samar namun mengena karena dekat dengan keseharian; kata dan fakta politik, dengan mulai dikenal dan digunakannya berbagai istilah dan konsep-konsep barat seperti nasionalisme, demokrasi, revolusi hingga komunisme dan lain sebagainya.
the west is the best
the west is the best
get here and we’ll do the rest
…
Meskipun berbagai pengaruh barat cukup mengena dan beberapa berkembang lestari hingga hari ini, namun Lombard menyebut bahwa beberapa lainnya hanya peminzaman di permukaan saja. Peralihan budaya tidak sepenuhnya terjadi dan masyarakat Jawa atau Indonesia juga tidak lekas menenggak habis sajian budaya barat yang menjanjikan kemudahan dan masa depan. Lirik lanjutan bisa dibaca sebagai selarik syair tantangan masyarakat Jawa atas berbagai pengaruh barat. Bagaimana kalau kita terjemahkan menjadi: ‘baiklah, barat adalah yang terbaik, silakan ke sini biar kami urus sisanya’. Bisa jadi ketika menciptakan lagu ini Jim Morrison sedang sangat muak dan menyindir superioritas bangsa barat dengan industrialisasi dan kapitalismenya.
Lombard memaparkan bahwa ada kebimbangan dan ambiguitas masyarakat Jawa dalam menerima pengaruh barat. Namun mungkin saja bisa kita sebut sebagai resistensi. Hal ini terurai dalam berbagai pelacakan sejarah pada hampir semua bab dalam buku. Penerimaan masyarakat pada pengaruh barat selalu diikuti dengan berbagai penyesuaian yang kontekstual dengan struktur sosial budaya masyarakat. Sebagai contohnya adalah bagaimana masyarakat tetap menerima dan menggunakan gaya pakaian ala Eropa, dan di situasi yang lain sarung, kain jarik atau kebaya tetap dipakai saja, sesuai kebutuhan. Contoh yang lain yakni tentang masyarakat Indonesia yang masih bisa hidup berdampingan dengan ilmu metafisik sekaligus ilmiah, tak begitu sulit untuk tetap berpegang pada yang spiritual dan yang material. Resistensi juga muncul dari bidang kesenian dan sastra, dalam sebuah Babad Kraton, Belanda atau londo digambarkan sebagai punakawan, yakni tokoh jenaka nan karikatural, berperilaku aneh dan mbadut serta tidak memiliki unggah-ungguh.
Penggalan “get here and we’ll do the rest..” setidaknya bisa kita gunakan untuk mengevaluasi batas-batas pembaratan yang meninggalkan jejak dampak pada mentalitas masyarakat Indonesia. Yang lain adalah, dengan melihat kebengalan masyarakat Indonesia yang justru memodifikasi sesuai kebutuhan saja berbagai kebudayaan yang bersilang sengkarut sepanjang perjalanan sejarah. Masyarakat Indonesia bisa saja digambarkan bimbang atau semena-mena memilah berbagai unsur praktik budaya terkait cara hidupnya, di mana pada faktanya tidak semua teknologi barat bisa sepenuhnya hidup dan berkembang. Dari sini kemudian saya lebih suka menyebut buku ini sebagai sejarah persilangan budaya dan batas-batas the west is the best.