Pandak, Bantul, Yogyakarta
8 Desember 2020
Pandak, Bantul, Yogyakarta
8 Desember 2020
Di sebuah rumah joglo yang terletak di tengah hijaunya persawahan Desa Pandak, Bantul, terdengar suara gamelan dipukul yang penuh dengan kompleksitas di setiap instrumennya.
“Sudah 40 tahun aku nggak megang gamelan,” kata Vincensius Dwimawan atau biasa dipanggil Sius.
Sius merupakan anggota Musik Puisi Karawitan Dinazti. Kelompok ini kerap dijuluki sebagai embrio dari grup musik Kiai Kanjeng yang dipelopori oleh Emha Ainun Najib atau Cak Nun.
Grup ini mulai terbentuk ketika para aggotanya terlibat dalam dunia teater kampung di Dipowinatan, Keparakan, Mergangsan, Yogyakarta.
“Ya, awalnya kita terkumpul dari Teater Dipowinatan. Lalu kita suka iseng-iseng musik-musikan pakai ember karena dulu alat musik gamelan sangat mahal dan kami nggak mungkin untuk beli itu,” ucap Nevi Budianto, anggota lainnya.
Selain itu, apa yang dilakukan oleh Musik Puisi Karawitan Dinazti dinilai memberontak dari patron-patron yang sudah berlaku sebelumnya. Namun, hal inilah yang tampaknya menjadi pembeda dan menarik dalam konteks eksplorasi terhadap bentuk-bentuk karawitan yang tidak dianggap umum.
“Dulu kami dianggap hanya merusak pakem-pakem yang ada karena selalu tidak menuruti peraturan yang berlaku. Bahkan, pada ada yang berani menggabungkan alat musik modern seperti gitar dan terompet dalam kesatuan karawitan,” lanjut Nevi.
Di sela latihan tersebut, tidak jarang mereka saling bercanda satu sama lain. Dibandingkan dengan bayangan mengenai struktur musik tradisional yang ketat, mereka justru membawa ke arah semangat yang lain, yaitu semangat untuk bermain.
Maka tak jarang kita lihat raut wajah para personilnya selalu tanpa beban ketika sudah bersentuhan dengan instrumen masing-masing. Impresi itu pun dikuatkan dengan pernyataan salah satu penanggug jawab produksi kegiatan ini, Irfanuddin Ghozali.
“Yang dipraktikkan bapak-bapak ini sebenarnya semangat untuk bermainnya, jadi mereka bisa merasa nggak ada beban dalam melakukan proses ini. Dan ini juga itung-itung reuni mereka juga, hampir empat puluh tahun lho, nggak sepanggung,” ujar pria yang kerap terlibat dalam dunia teater di Yogyakarta ini.
Latihan ini akan dipentaskan sebagai pembuka Mini Festival Arsip yang akan berlangsung oleh Indonesia Visual Art Archive (IVAA) pada 16-22 Desember 2020 di Gedung Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) D.I. Yogyakarta. Mereka akan menampilkan lima lagu yang semuanya diciptakan di Kampung Dipowinatan. Hal ini pun sejalan dengan tema besar kegiatan ini, yaitu “Ephemera”, yang berusaha melihat dan mengaktivasi kegiatan pengarsipan warga Kampung Dipowinatan Yogyakarta. (Bian)