Oleh: Karin Josephine
Selepas beberapa sesi diskusi via Zoom yang diadakan IVAA pada awal sesi residensi September 2021, proses residensi maya ini cukup penuh distraksi oleh banyak hal mulai dari domestik hingga kepadatan pekerjaan lain. Setelah melalui berbagai pertimbangan, saya memproses banyak diskusi lewat WhatsApp.
Lewat diskusi bersama Wisnu dari tim IVAA, saya memutuskan untuk berkonsentrasi kepada arsip-arsip yang saya temukan dan merangkainya dalam paparan arsip, seri foto, buku jahitan sendiri berisi berbagai arsip acak (semacam memorabilia), dan beberapa buku serta benda lama.
Saya cukup beruntung karena semua yang saya perlukan berada di satu atap di mana saya tinggal. Pengalaman “menggali” ini selayaknya membongkar sejarah lapis demi lapis. Mari kita lihat …
Pertama, laci berisi berkas Opa dari keluarga Mamah. Ada banyak map dan amplop yang disimpan di laci ini. Beberapa di antaranya berisi arsip kwitansi bukti pembayaran sewa rumah pada masa 1940-1970an, beserta bukti pembayaran listrik. Juga ada satu map besar yang berisi aneka resi, kartu garansi, kwitansi, surat dan telegram. Sebagian besar berasal dari tahun 1940 dan sebelumnya.
Yang menarik perhatian saya adalah setumpuk bon dari satu toko obat yang sama. Nampaknya Opa saat itu langganan membeli berbagai rupa obat dan kosmetik di sana. Bon-bon itu punya visual yang keren. Di antara bon tersebut ada secarik kertas. Rupanya sebuah iklan undian berhadiah lemari obat beserta isinya. Papah menebak-nebak, mungkin karena itulah Opa menyimpan banyak sekali bon itu untuk ditukarkan. Dan mungkin sebab itulah di rumah saya ada dua lemari obat yang keren. Barangkali itu semua hadiah dari toko obat tersebut.
Kedua, membongkar foto-foto lama dan menyatukannya dengan foto-foto yang jauh lebih lama lagi. Arsip-arsip ini saya golongkan sebagai era sebelum saya dan kedua kakak lahir di dunia (sekitar 1980an dan sebelumnya). Selanjutnya era tahun 1990an ketika kami tumbuh bersama, hingga awal tahun 2000an sebelum kami mengenal teknologi handphone.
Karena disimpan dengan cara seadanya, sudah pasti foto-foto dari tahun 1970an banyak yang menjadi korban jamur maupun rayap. Untung saja masih ada cukup banyak yang terselamatkan dan bisa saya bajak untuk pameran ini. Dari tahun 1970an itu ada album foto di masa kedua orang tua saya masih berpacaran: ngobrol di halaman depan rumah, ditemani sepupu-sepupu saya yang masih anak-anak.
Selain itu ada pula foto-foto sewaktu liburan, pertemuan, pemakaman, iring-iringan kendaraan, arak-arakan peti, perayaan pernikahan, foto bersama teman dan kolega, foto-foto bayi, proses pembaptisan, hingga foto-foto situasi kantor dan tempat kerja.
Ketiga, membongkar buku-buku catatan dan berkas dari kedua orang tua. Mamah dan Papah cukup terbuka kepada anak-anaknya sehingga saya dengan leluasa menemukan berbagai macam surat-surat lama, yang kebanyakan dari teman atau sepupu. Juga, berbagai macam kartu ucapan atau undangan. Selain itu ada pula beragam kartu klinik, asuransi, dan lain-lainnya yang saya masukkan ke buku memorabilia. Tak lupa buku jurnal Mamah semasa lajang.
Mengingat profesi kedua orang tua saya, tak heran kalau kebiasaan corat-coret dan menyimpan (hampir) apapun menurun ke anak-anaknya. Mamah, yang pernah bekerja sebagai sekretaris dan manajer operasional, sempat rutin menulis di buku agenda dan catatan harian. Ia mencatat segala pernik: benda-benda yang harus dibeli, orang-orang yang harus diundang ke acara, nomor telefon, dst.
Papah sebagai orang lapangan, terlebih mandor konstruksi, juga punya kebiasaan sama. Nama, kalkulasi, dan jadwal bisa dicorat-coret di mana saja. Sampai sekarang pun ia masih sering menulis apapun di balik bungkus kertas rokok. Menyimpan apapun yang menurutnya berguna, dan kemudian melupakannya, hingga puluhan tahun kemudian.
Selain ketiga di atas, adalah buku-buku serta benda-benda fisik. Beberapa yang saya pilih antara lain jam dinding, termometer jaman dulu dari rumah Opa, buku-buku lawas, buku resep, notes kecil berisi catatan ayat alkitab, dan botol air suci berbentuk Bunda Maria.
***
Apa yang saya dapat dari “penggalian” ini? Niat awal menilik silsilah justru tergeser oleh temuan-temuan lain. Arsip lama memang sangat berharga, tetapi ada yang tak terlihat dan tak ternilai: jalinan komunikasi, hubungan dan resiliensi yang bercokol di seluruh lipatan, lembaran, helaian, tumpukan barang yang saya temukan. Itu semua menjadi batu tumpuan hidup satu generasi yang membesarkan generasi berikutnya, hingga jauh ke depan.
Selayaknya ungkapan Lik Ikun pada sesi Zoom yang lalu, arsip bukan hanya lembaran kertas, dokumen dan tumpukan surat. Jam dinding adalah arsip. Sarung batik adalah arsip. Botol air suci, pensil, amplop, kaset, korek api, termometer, dan kalendar adalah arsip. Kitapun adalah arsip dari masa lalu, yang bergerak di saat ini menuju saat berikutnya. Saat berikut akan terajut sampai ke masa depan, yang entah kapan.
Lewat arsip-arsip ini, saya berpikir betapa rentannya arsip untuk ditambahkan, diselipkan, dikurangi atau bahkan dimodifikasi. Tapi bukan berarti usaha untuk mengumpulkannya sia-sia. Malahan, dengan kesadaran ini saya kembali diingatkan untuk senantiasa mempertanyakan dan awas akan bias yang ada pada diri sendiri. Lucunya, dengan menyusuri kembali kebiasaan keluarga lewat arsip, saya sampai pada satu kesadaran bahwa kebiasaan serta kondisi yang ada pada diri saat ini merupakan bagian dari “diri” yang lebih besar bernama keluarga—dan sosial, warga dunia, semesta.
Ketika menghamparkan serangkaian foto dan surat, Papah serta Mamah kembali membaca, mengingat kembali peristiwa, perasaan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Membongkar arsip ternyata jadi tamasya waktu bagi mereka dan jadi piknik penuh perasaan bagi saya. Siapa yang sangka kondisi kurang-pendengaran (Hard of Hearing) saya menjadi pembuka bagi eksplorasi diri yang lebih dalam, menyusuri kembali ke akar dan kemungkinan baru bagi langkah selanjutnya?
Buku memorabilia yang saya isi belum setengahnya jadi, tapi sudah menggendut dan akan sulit ditutup kalau ditambah lagi. Tapi barangkali begitulah seharusnya buku (berisi) sejarah, tidak pernah menutup dan selalu terbuka untuk ditambahkan dan direfleksikan.
Pasar Rebo-Dipowinatan
November 2021
Menengok Balik Ephemera 2
jalinan narasi bergeser. beralih. berkelindan. terhubung.
persepsi bergeser. tujuan beralih. kisah-kisah berkelindan satu dengan yang lain.
satu masa terhubung dengan masa berikutnya, dengan hanya semesta yang tahu caranya.
Dari durasi mini residensi sekitar 3 bulan, hanya sekitar 1.5 bulan yang mampu saya fokuskan untuk menggali tumpukan memori keluarga. Kemudahan akses arsip yang saya miliki ternyata tetap ada rintangan domestiknya sendiri. Dalam 1.5 bulan ini, terangkai banyak hubungan yang membuat saya merasa penggalian ini akan berlanjut menjadi pencarian seumur hidup. Pada awalnya, saya bermaksud merunut silsilah untuk mencari benang merah. Untuk meyakinkan diri bahwa apa yang saya lakukan memang sudah sesuai, atau setidaknya masuk akal pada saat ini. Pemikiran itu berlanjut selama membongkar dan menyortir arsip yang ada. Seiring berjalannya pencarian saya, dengan membiarkan banyak ruang untuk berdiskusi dan berpikir; termasuk mengobrol dengan ekspektasi yang longgar bersama Wisnu dari IVAA. Bingung-bingung sedikit, kejar-kejaran deadline dan kewajiban administrasi tetap saya nikmati.
Ternyata, energi menemukan jalannya dan mengalir menyertai keberangkatan saya ke Jogja bersama pak suami, Djoko. “Energi mengalir” adalah apa yang saya rasakan begitu berada di IVAA. Begitu masuk, saya bersyukur bisa mengobrol, membuka diri dan mendapat wawasan begitu banyak. Lewat teman-teman di IVAA saya belajar isu-isu yang tadinya hanya saya baca dari media sosial, seperti konsep safe space, gender dan eksplorasi karya serta banyak lainnya. Di IVAA hal-hal ini menjadi sesuatu yang lazim; obrolan sehari-hari, digali dan bisa meluas jadi diskusi lebih lanjut. Djoko juga sangat berperan sebagai tandem saya dalam bersosialisasi dengan caranya sendiri.
Satu masa terhubung dengan masa berikutnya, dengan cara hanya semesta yang tahu caranya.
Selama berpameran, saya merasa dimungkinkan untuk bertemu dengan banyak individu yang bersinggungan dengan laku yang saya tekuni dan sukai. Bahkan lebih lagi, beberapa pertemuan berlanjut ke penelusuran mendalam mengenai asal usul keluarga peranakan yang menjadi latar belakang arsip yang saya pamerkan. Tak lupa juga, dari seorang teman saya diajarkan cara
melakukan “konservasi darurat” dalam menjaga arsip tua yang saya bawa. Sebagai pelengkap pameran, saya mengajukan lokakarya kolase. Karena topik yang saya bawa adalah arsip—termasuk di dalamnya banyak foto keluarga—maka saya berencana mengajak audiens untuk mereka ulang figur dan imaji dalam foto sesuai pemikiran masing-masing lewat kolase. Karena itulah saya berencana mencari banyak foto lama, yang biasanya banyak terserak di pasar loak. Tentunya ini cukup bikin ketar ketir karena sesungguhnya saya tidak benar-benar tahu bagaimana kondisi pasar loak di Yogyakarta. Setelah 1 malam kunjungan beberapa tempat tanpa hasil, berkat bantuan Wisnu saya mendapatkan yang saya inginkan di toko loak di Prawirotaman 2.
Foto-foto lama ini mungkin berasal dari tahun ’70an atau lebih lama lagi, tapi masih dalam keadaan yang baik. Karena semuanya tidak menyertakan keterangan lokasi, waktu maupun nama, jadi tak ada ‘beban moral’ supaya disimpan atau diarsipkan. Alih-alih, ini bisa dipakai untuk karya baru, yang dengan sendirinya berperan sekali lagi jauh setelah foto ini diproduksi. Dengan mengolahnya
kembali, terasa bahwa kita di masa sekarang tetap terhubung dengan mereka di masa lalu, begitu juga sebaliknya.
Semua teman IVAA terutama Wisnu, menjadi teman berdiskusi yang penuh antusiasme dalam merespons arsip yang saya bawa, bahkan melebihi tenaga dan atensi yang saya punya. Dengan perspektif (dan keingintahuannya), Wisnu melacak latar belakang dan buku yang berhubungan dengan leluhur saya, dengan hanya berbekal nama dan sedikit informasi yang saya dapat. Untuk
lebih lanjutnya bisa dibaca di artikel yang Wisnu tulis.
Satu masa terhubung dengan masa berikutnya, dengan cara hanya semesta yang tahu caranya.
Pada awal proposal saya bermaksud mencari benang merah, sebagai jangkar diri untuk menghidupi kekaryaan dan mengkaryakan hidup. Setelah projek ini, mungkin definisi “jangkar” sudah berubah. Dari yang berupa asal usul keluarga dan runutan peristiwa, sekarang lebih seperti jaring keterhubungan antara informasi dan relasi yang baru maupun lama—yang menjaga langkah kita ke
arah manapun berlayar. Pergeseran makna ini menyuntikkan semangat saya; bahwa karya tidak lagi hanya soal pribadi, karya juga bersifat sosial. Dan politis pada waktunya. The personal is political, kutip Sanne Oorthuizen pada sesi Zoom meeting IVAA yang lalu.
Belasan hari di Yogya tak mampu saya jabarkan hanya dengan beberapa paragraf refleksi. Rangkaian pertemuan dan obrolan, bantuan, ilmu, keingintahuan dan penelusuran lanjutan menjadi bekal saya untuk melanjutkan perjalanan campursari ini. IVAA menjadi gerbang dan pemantik saya, seorang peranakan Tionghoa yang tadinya abai terhadap sejarah, kembali merintis jalan ke akar keluarga. Bagaimana nanti, saya belum bisa ceritakan. Karena cuma Semesta yang tahu caranya.
Pamit dari IVAA bukan hengkang dari tempat arsip penuh debu dan lapuk dimakan waktu; tapi serasa melambai ke rumah tempat sejarah dijaga, dengan akrab merangkul siapapun yang mau menengok kembali perjalanan lalu untuk petualangan berikutnya. Terima kasih untuk pengalamannya, seluruh teman-teman IVAA dan semua yang bersilangan dengan saya, sampai
ketemu lagi! 🙂
Karin Josephine
Pasar Rebo, Jakarta
29 November 2021
Retret bersama Mbak Karin
oleh Krisnawan Wisnu Adi
Perjumpaan Awal dan Prosesnya Kemudian
Ketika ikut membaca gagasan karya atau tema dari para partisipan, saya cukup lama mencermati tulisan Mbak Karin Josephine. Dalam tulisannya bertanggal 27 Agustus 2021 itu, ia menceritakan kondisi hearing loss yang dirasakan setidaknya sejak 5 tahun terakhir. Sebuah kondisi yang semakin membuatnya sulit untuk mengontrol diri dan ekspektasi atas realitas yang tak jarang melelahkan kepala. Hingga pada satu titik, melalui latihan meditasi, ia mulai melepaskan kemelekatan itu dan memaknai diri serta sekitar sebagaimana adanya. Pemaknaan situasi diri inilah yang mengantar Mbak Karin kepada pencarian atas sejarah keluarga.
Sejak membaca tulisannya itu, saya merasa punya teman baru yang punya keprihatinan sama, tentang diri dan keluarga. Karena itulah saya memutuskan untuk menemani Mbak Karin dalam proses residensi mini ini. Saya amat berterima kasih. Juga, memohon maaf sedalam-dalamnya kepada Mbak Karin dan suaminya, Mas Djoko, atas banyak keluputan yang saya lakukan.
Selepas beberapa diskusi online yang dipantik oleh Ikun SK, Mahfud Ikhwan, dan Lian Gogali, obrolan saya dengan Mbak Karin banyak terjadi di ruang chatting. Kami saling bertukar cerita dan situasi yang sedang dialami. Mulai dari latar belakang hingga ketertarikan atas apapun.
Tak jarang perbincangan kami disela oleh urusan domestik masing-masing. Saya yang di bulan September sempat kelimpungan dengan perkara klaim jasa raharja, dan Mbak Karin yang nampak tak habis-habisnya merapikan isi rumah hingga pekerjaan lainnya. Bukan berarti gangguan, urusan domestik justru sejatinya selaras dengan proyek arsip tentang diri dan keluarga ini.
Kesibukan merapikan isi rumah menjadi satu tugas melelahkan sekaligus keberuntungan untuk Mbak Karin. Pasalnya, hampir semua bahan yang ia butuhkan untuk proyek residensi mini ini ada di rumah. Mulai dari foto keluarga, kwitansi pembelian obat, koleksi korek api, dan catatan harian yang tertumpuk di gudang, hingga atlas berbahasa Belanda dan termometer tua yang sampai sekarang masih dipakai.
Pertemuannya dengan arsip dan sejarah keluarga justru terjadi dalam peristiwa sehari-hari, bukan di ruang arsip ber-AC maupun museum yang biasanya sepi pengunjung. Dan bukan karena hasrat mencari fakta historis, upaya merawat arsip dan artefak keluarganya terjadi dalam suasana rekonsiliasi; mengurai situasi diri yang tidak baik-baik saja melalui sejarah keluarga.
Pertengahan November, Mbak Karin datang ke IVAA bersama Mas Djoko. Ia membawa serta beberapa arsip keluarganya. Saya cukup takjub ketika melihat sendiri arsip-arsip itu berusia cukup tua. Tidak sedikit kwitansi pembelian di tahun 1930-an dan kondisi kertasnya masih bagus. Juga, atlas tua yang masih dipakai oleh ayah Mbak Karin. Kata Mas Djoko, ayah masih menggunakan atlas itu sebagai patokan ketika hendak pergi ke suatu tempat. Sudah barang tentu, meraba apa yang hilang dan apa yang baru menjadi bagian dari aktivitas mengakses peta, yang agak sulit saya bayangkan jika mengganti atlas tua itu dengan google maps.
Semua arsip dan artefak yang dibawa mulai ditata di balkon lantai dua Rumah IVAA untuk pameran dari 15-21 November. Kata Mbak Karin, suasana Rumah IVAA seperti di rumahnya di Jakarta Timur, dominan kayu. “Seperti main di loteng rumah”, cletuknya. Arsip dan artefak ditata layaknya mengisi interior kamar. Hanya pedestal dengan kaca vitrine di atasnya yang nampak seperti model museum. Tapi memang itu untuk melindungi arsip-arsip tua yang rentan rusak jika dipegang-pegang.
Di sela-sela display, kami pergi mencari foto-foto lama di pasar loak untuk bahan lokakarya kolase. Hari pertama, di Pasar Pakuncen, Sentir, dan Niten, kami tidak menemui hasil. Banyak lapak yang tutup karena hujan dan sudah terlalu sore. Di hari kedualah kami memperoleh foto-foto lama, tepatnya di rumah Pak Welly di Jalan Prawirotaman II. Kurang lebih tiga jam kami mengorek tumpukan barang bekas di situ, sambil berbincang dengan Pak Welly dan istrinya yang menyuguhkan teh hangat.
Selama seminggu arsip dan artefak Mbak Karin dipamerkan. “Re:archive” adalah tajuk yang ia pilih untuk membingkai beberapa jejak sejarah keluarganya itu. Kebanyakan memang dari sisi ayah yang erat kaitannya dengan Blitar. Ia merespon arsip-arsip keluarga yang sudah ada dan mencoba menunjukkan bahwa sejarah itu ada di sekitar kita. Bahwa resiliensi atas penyeragaman narasi historis bisa dimulai dari rumah masing-masing.
Jika dalam pamerannya Mbak Karin cenderung menyuguhkan arsip secara apa adanya, agak berbeda dengan lokakarya kolase pada 18 November . Ia justru mengajak para peserta untuk merespon foto-foto lama dan pernak-pernik lainnya dengan bebas. Sah-sah saja untuk menggunting dan menempelkannya secara suka-suka. Bahkan, bisa juga merusak material fotonya. Mbak Karin menyebutnya dekolase.
Dekolase bukan berarti mengacak-acak dalam pengertian negatif. Bisa saja ini adalah tawaran untuk memikirkan kemungkinan lain dari arsip dan narasi sejarah. Sebentuk usaha menantang kelanggengan peran dan menegaskan bahwa paripurna adalah fase yang harus diterima.
Rearchive dan dekolase seperti pengalaman paradoks yang dihadirkan Mbak Karin. Alih-alih memberi narasi tunggal, ia justru membawa saya dan barangkali publik lainnya kepada kemungkinan lain atas arsip serta sejarah.
Sejenak Berjumpa dengan Sie Oen Tjip dan Tan Hoe Lo
Tak boleh terlewatkan adalah pengalaman-pengalaman kami ketika sekedar duduk, berbincang sambil ngopi. Obrolan-obrolan cair yang tak kalah bergairahnya dengan pameran dan lokakarya.
Utamanya sewaktu akhir-akhir menjelang Mbak Karin dan Mas Djoko cabut dari Rumah IVAA. Sepulang dari tempat Mbak Tarlen, Mbak Karin menunjukkan beberapa arsip kertas yang kemarin dipamerkan telah dibungkus plastik undangan supaya tidak mudah rusak.
Saya dan Mas Aan iseng membuka-bukanya lagi. Ada satu arsip berita duka meninggalnya Sie Bian Hie di Blitar sekitar 1930-an. Beliau adalah ayah dari Sie Oen Tjip, kakeknya Mbak Karin dari ayah. Ketika kami mencoba googling, ternyata Sie Bian Hie pernah punya tanah di Desa Kaoeman, District Blitar, Residentie Kediri. Setidaknya itu ada di inventaris ANRI tentang keuangan Departemen Dalam Negeri masa Hindia Belanda dalam kurun 1860-1942.
Sie Oen Tjip juga sempat bertelegram dengan saudara, berkabar soal pelarian (?) keluarganya ke Blitar sekitar 1939. Di telegram itu, disarankan kalau mereka harus transit di Yogyakarta dulu, menginap di Hotel Trio. Sampai sekarang hotel itu masih ada dan tetap bergaya arsitektur Belanda. Kami cukup bergairah mengulik nama orang, toko buku, dan berspekulasi.
Hari esoknya, Rabu 24 November, tiba waktu Mbak Karin dan Mas Djoko geser ke Solo. Di sela-sela mereka berkemas, saya masih ingat Mbak Karin sempat menyebut kalau buyutnya dari ibu adalah pedagang barang antik dan pernah ke Perancis. Sementara hanya ada satu jejak: cap bertuliskan Tan Hoe Lo di almari tua di rumahnya. Dagang barang antik dan pernah ke Perancis menjadi kata kunci yang membuat saya iseng menguliknya tipis-tipis. Nampaknya dua hal itu dahulu kala bukan kebiasaan dan pengalaman yang umum.
Tan Hoe Lo memang seorang saudagar yang menjual barang-barang Eropa di Batavia; satu di Pasar Baru satunya di Pasar Senin. Kabarnya ia juga punya hotel “Der Nederlanden”. Pada pertengahan Agustus 1889 ia berkesempatan mengunjungi Pameran Dunia (Exposition Universelle) di Perancis bersama tuan tanah Belanda dari Jawa Barat.
Dalam kunjungan itu ia mencatat kesannya atas kemeriahan acara dan ajang unjuk gigi kemajuan pabrik-pabrik di sana. Mulai dari produksi rokok, kain, hingga intan. Reportasenya ditulis dengan suatu jenis bahasa Betawi dan dibumbui bahasa Belanda, juga sedikit Perancis. Seperti halnya gaya tulis reportase perjalanan saudagar Peranakan di masa itu, yakni Kalam Langit (Na Tian Piet). Setidaknya beberapa cuplikan di atas dicatat oleh Claudine Salmon dalam bukunya “Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa”. Kata Mbak Karin, Tan Hoe Lo itu keluarga dari ibu yang cenderung pendiam. Dan arsip-arsip keluarganya masih belum dibongkar, di almari yang cukup besar.
Bukan Kebetulan untuk Merenungkan
Serpihan-serpihan cerita di atas seolah muncul karena kebetulan. Kebetulan ikut Ephemera, kebetulan mengulik nama, dan kebetulan-kebetulan lain. Tapi kata Mas Djoko, dengan sedikit menyinggung pengalaman pribadi dan buku “The Celestine Prophecy”, tidak ada itu yang namanya kebetulan.
Lantas, mau ke mana sebenarnya proyek arsip keluarga ini? Yang jelas, sosok Mbak Karin yang tidak suka dipanggil “cik” untuk sementara bertemu dengan sejarah Peranakan dan karya-karya intelektualnya yang dipinggirkan oleh Balai Pustaka. Mau personal atau kolektif, perjalanan ini sepertinya lebih tepat dimaknai lepas dari logika domestik-publik. Dan yang paling nyata adalah soal bagaimana proses ini dijalani.
Proyek Ephemera menjadi momentum untuk memaknai situasi diri saat ini melalui ingatan-ingatan lampau. Membuka sejenak untuk nanti menyimpannya kembali. Arsip dan sejarah oleh karena itu bukan melulu soal pencarian atas permulaan dan akhir, melainkan masa kini yang sekejap. Kesementaraan yang nikmat ini adalah jeda dari halaman tiap halaman dalam buku memorabilia yang terlalu tebal untuk ditutup.
Bicara soal jeda, di momen inilah Mbak Karin seolah mengajak saya untuk beretret. Merenungkan kembali situasi diri dengan sepintas mundur ke waktu lampau, menyiapkan energi untuk menyambut hari esok dan seterusnya.