Oleh: Yngvie Ahsanu Nadiyya & Fredy Hendra
Kenangan dapat melekat pada banyak hal; seperti pada dinding kamar, gelas kosong, bunga warna-warni, centong nasi, serta makanan-makanan. Menciptakan momen sentimental dan keterhubungan antara kamu sebagai manusia dengan apa yang kamu makan sehari-hari merupakan upaya mengingat bahwa kita selalu mengandalkan ripah alam semesta, meski detak jantungnya kian melemah.
Makanan dan manusia memiliki ikatan rekat yang tak mungkin dapat dipisahkan, analisis ekonomi politik selalu memakai jurus andalan yakni sebuah pertanyaan dasar tentang “bagaimana cara kamu mendapatkan makanan.” Sebab itu makanan selalu menyimpan banyak kisah dalam sejarah peradaban manusia.
Tulisan ini tidak sedang membicarakan asal-asul atau sejarah makanan dari segala penjuru nusantara. Tulisan ini sedang berbicara spesifik tentang kudapan yang biasanya hanya menjadi pelengkap, sekunder, dan jika tidak ada pun tak akan menjadi masalah besar; sambal. Sambal, yang 80% komposisinya berasal dari cabai adalah kudapan ajaib yang saya yakin akan mampu membuat siapapun akan lahap menyantap makanannya.
Terlepas dari peran domestik dapur yang melekat pada perempuan, sebenarnya sambal adalah salah satu pelengkap makanan yang bersifat cair gender (fluid gender). Semua orang relatif pernah atau dapat membuat sambal, apapun identitas dan orientasi seksualnya. Umumnya ini disebabkan oleh beberapa hal; sambal adalah pelengkap yang menentukan kemana cita rasa kuliner mengalir, banyak orang merasa ini komponen penting yang membuat mereka berkepentingan untuk menghasilkan sambal sesuai selera lidah. Akibatnya, tidak peduli apakah itu tangan seorang suami, waria, pengamen jalanan, atau seorang anak yang identitas gendernya dipertanyakan, para penikmat rasa pedas punya bahan dan metode dalam membuat sambal mereka sendiri.
Di saat bersamaan, sebagaimana gender, sambal mewakili wujud ekstrim dari sebuah keberagaman. Sambal dengan sedikit rasa asam, potongan terasi atau ikan teri. Maskulin penuh, lebih ekspresif, atau seseorang yang lembut. Sambal dengan demikian tidak ditentukan dari cobek dan ulekan, tetapi dari bahannya. Seseorang tidak pula sepenuhnya ditentukan dari jenis kelaminnya, atau tubuhnya yang relatif kasat mata. Ini soal kehendak bebas dan rasa nyaman yang batasnya ditentukan sendiri.
Ada banyak pertanyaan yang saya temui selama menjalani proses residensi di IVAA. Salah satunya adalah pertanyaan yang muncul dari peserta workshop ketika saya mengajak mereka untuk membuat sambal. Kenapa sambal? Kenapa saya memilih menjadi non-biner?
Selain dikenal sebagai salah satu makanan pendamping, bagi saya, sambal memiliki banyak makna di dalamnya. Mulai dari makna personal yang berkaitan dengan ingatan saya tentang almarhum bapak hingga makna-makna terkait gender yang dilekatkan pada bahan utama pembuatan sambal. Mungkin kalian pernah mendengar tentang bawang lanang? Bawang lanang adalah bawang putih dengan umbi tunggal yang memiliki rasa kuat dan dominan. Jenis bawang ini dipercaya memiliki khasiat sebagai obat herbal. Lalu bagaimana dengan cabe? Apakah cabe juga memiliki gender? Saya tidak menemukan informasi yang jelas tentang cabe sehingga saya tertarik untuk menghubungkan cabe dengan identitas gender saya sebagai non-biner. Topik tentang identitas gender non-biner adalah topik yang saya ajukan dalam aplikasi dan yang menjadi fokus saya selama mengikuti aktivitas residensi di IVAA.
Ketika membaca pengumuman tentang program Mini Residensi Ephemera #2, saya tertarik dengan kesempatan yang ditawarkan yaitu untuk bertemu, berdiskusi dan belajar bersama. Saya berharap dalam proses residensi ini saya dapat belajar lebih jauh tentang gender ketiga dari berbagai narasumber. Dari beberapa pertemuan yang diadakan oleh IVAA, saya sangat senang mendengarkan cerita dari Mahfud Ikhwan dan Lian Gogali.
Memang, ada beberapa kesulitan yang saya alami selama proses residensi. Salah satunya adalah keterbatasan saya dalam berkomunikasi yang membuat saya sulit untuk menangkap informasi yang rumit dan untuk menyampaikan keinginan saya. Saya sempat merasa terbantu dengan kehadiran Ghozali yang membantu mengungkapkan dan mengelaborasi ide-ide saya untuk presentasi hasil residensi. Meskipun dalam pelaksanaannya ada beberapa hal yang membuat saya ragu karena hasilnya tidak sesuai dengan keinginan saya. Mungkin kebingungan saya ini juga berhubungan dengan ekspektasi untuk membuat karya dan pameran sebagai hasil akhir. Saya tidak memiliki pengalaman memproduksi karya seni, dan latar belakang saya yang bukan seniman inilah yang membuat saya merasa tidak nyaman dengan label “seniman” dan “karya”.
3 bulan ternyata waktu yang sangat singkat, padahal saya masih ingin mendapatkan wawasan yang lebih luas tentang gender non-biner. Setelah program residensi ini, saya berencana untuk melakukan cara-cara belajar yang lain untuk mengumpulkan pengetahuan yang berkaitan dengan ketertarikan saya tersebut.