Dalam masyarakat Dayak, motif tato Iban (pantang Iban) merupakan penanda ekspresi peradaban manusia yang bernilai sebagai medium penyampai pesan atau menunjukkan derajat sosial seseorang. Seiring perkembangan peradaban, ketika terbukanya batas-batas geografis, tato Iban lambat laun mengalami perubahan yang signifikan. Misalnya, di masyarakat perkotaan tato Iban menjelma menjadi sebentuk industri budaya dan gaya hidup anak muda. Akan tetapi, bersamaan dengan itu bagaimana perubahan-perubahan yang terjadi masyarakat Dayak Iban terkait tato Iban?
Sejak 2015 Victor Fidelis Sentosa memulai melakukan praktik pengarsipan visual melalui etno-fotografi terkait sejarah, perkembangan, dan pergeseran tato dan masyarakat suku Dayak Iban. Dalam presentasi “Pantang Bersuara”, Victor Fidelis berupaya menjawab pertanyaan di atas.
Video ini adalah dokumentasi dari pertunjukan musik yang merespon oto dengan tema tato dayak iban karya Victor.
Ancaman kepunahan tato tradisi pada masyarakat suku Dayak di Kalimantan, khususnya suku dayak Iban, menjadi keresahan saya secara personal. Sejak tahun 2015 silam, saya mulai mengumpulkan berbagai motif tato dari era tradisi sampai kontemporer di berbagai wilayah kabupaten Kapuas Hulu sampai ke perbatasan Malaysia di bagian Serawak. Semula tujuannya adalah agar dapat melakukan penyelamatan tato tradisi dari kepunahan.
Secara garis besar perkembangan tato dayak Iban terbagi menjadi 3 masa. Pertama, masa mengayau atau dikenal dengan berburu kepala. Kedua masa bejalai yang dikenal dengan kebiasaan merantau. Ketiga, masa sekarang atau lebih ke kontemporer. Pada tiap-tiap masa, saya menemukan berbagai pergeseran peradaban hingga masyarakat, antara tato Dayak Iban dan nilai-nilai yang menyertainya. Pergeseran ini lantas tidak membawa nilai tunggal. Terkadang saya melihat terdapat kisah pahit, pilu, gusar, bangga, sekaligus gembira lantaran banyak orang di luar masyarakat Iban merajah tubuhnya dengan motif-motif Iban. Bukankah itu sebuah apresiasi baik? Memang, saya juga tidak menutup mata pada pelbagai stigma dan diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintahan sejak zaman orde baru sampai saat ini barangkali masih terasa efeknya. Namun, barangkali justru di situlah titik tegangnya atau titik terangnya, bahwa tato Iban berada dalam pusaran wacana saling bertalian satu sama lain.
Proyek ini memberi saya peluang baru melihat tato Dayak Iban dari praktik yang paling dekat yakni semesta fotografi. Semesta yang saya geluti selama 11 tahun silam. Semesta yang saya sendiri percaya–ketimbang sebuah hobi–justru memberi banyak pelajaran tentang kehidupan, tentang watak medium visual mampu mengangkat suara-suara yang tidak terdengar kembali menggema. Dari sinilah saya bertolak menyusun proyek mini residensi Ephemera #2 oleh IVAA.
Sejak pengumuman peserta mini residensi, saya intens berkomunikasi mencari strategi pendokumentasian tato Dayak Iban. Dan secara lebih intens ditemani Mas Dwe dan Mas Gozali. Ya, saya akui banyak kendala di sana-sini. Dari masalah pekerjaan, infrastruktur digital (sinyal internet), perbedaan kultur, dan perbedaan cara pandang terhadap kasus, mewarnai proses ini. Saya menikmati segala keriuhannya.
Berbagai kendala itu terbayar, kami menemukan bingkai–bagi kami tepat–untuk membaca tato Dayak Iban melalui proses pengembalian ke subjek atau masyarakat Iban. Seluruh karya fotografi yang selama ini saya ambil dari mereka akan dikembalikan dengan menempatkan mereka sebagai ‘kurator’ atau tim penyeleksi eksibisi. Cara ini merupakan pembalikan dari pola pagelaran pada umumnya yaitu kreator-kurator-masyarakat. Posisi kurator biasanya adalah orang di luar komunitas. Sementara, saya hendak mengembalikan karya fotografi yang saya ambil dari masyarakat kemudian masyarakat berhak memilih, menata, dan menaruhnya di lokasi-lokasi yang mereka sukai. Harapannya terjadi dialog lebih lanjut, baik dialog karya dan masyarakat maupun saya dan masyarakat.
Akan tetapi rencana kami harus diredam oleh air bah yang merendam sebagian kota di Kalimantan pada awal November. Wilayah Iban maupun tempat saya tinggal, Pontianak, tidak sepenuhnya terendam air. Namun akses jalan dan sarana transportasi tidak memungkinkan untuk melakukan perjalanan. Sementara minggu kedua adalah deadline presentasi. Dengan terpaksa saya berganti konsep presentasi. Waktu tidak bisa dijeda. Saya kalut. Dalam waktu singkat, kami saling memberi tawaran dan percakapan mengarah pada kolaborasi fotografi dan musik: foto tato Dayak Iban dan alat musik Kalimantan: foto dokumentasi tato Dayak Iban akan dibaca secara musikal oleh dua seniman Pontianak, yaitu Nursalim Yadi Anugerah dan Juan Arminandi.
Jujur, saat kami latihan saya pribadi terhenyak sekaligus terheran. Karya foto saya yang dibaca secara musikal seakan melahirkan efek lain. Saya tidak tahu apa itu. Ada semacam penciptaan baru. Entah itu nuansa, rasa, atau nilai. Yang jelas saya merasakan ada momen di mana, saya sebagai penonton sekaligus kreator, mendapatkan pengalaman baru. Dan yang lebih mendebarkan lagi, salah satu penonton yang hadir malam hari itu adalah orang Dayak Iban. Dia datang tanpa saya undang. Saya cukup terkejut. Dia mengapresiasi karya saya. Saya mengapresiasi kehadirannya yang tidak diundang. Dan keinginan untuk mengembalikan karya pada subjek tetap terjadi, setidaknya satu orang.
Berbagai isu mengenai budaya, lingkungan dan social masyarakat menjadi fokus yang saya angkat lewat medium fotografi dengan genre dokumenter. Pantang bersuara merupakan sebuah pertunjukan musikalisasi visual lewat pembacaan 13 foto kedalam medium musik yang dimainkan oleh musisi Pontianak. Lewat pertunjukan ini saya melihat sebuah kolaborasi yang menarik dalam membuat sebuah presentasi publik yang lebih artistik dan kreatif dalam lintas berkesenian. Kedepan lewat pembelajaran dari mengikuti program ephemera yang digagas IVAA ini, saya semakin termotivasi untuk lebih giat mengumpulkan arsip visual lewat medium fotografi yang dapat dipresentasikan ke publik dengan konsep yang lebih artistik dan kreatif.