Beberapa waktu belakangan, kami memiliki kesempatan untuk berbincang dengan Moelyono, kami memanggilnya Pak Moel, untuk membaca dan mengingat kembali beragam praktik yang selama ini digeluti. Ragam praktik dan pengalaman yang sudah dijalani Pak Moel dengan beragam mediumnya sungguh sangat luas. Kekayaan ragam praktik dan pengetahuan inilah yang menurut kami sangat perlu untuk disimpan melalui pencatatan dan dokumentasi, agar kelak, kerja-kerja penelusuran dan elaborasi lebih jauh bisa dilakukan, baik secara akademis, artistik, maupun kombinasi keduanya. Kami merasa sangat perlu belajar dari pengalaman Pak Moel. Dari situlah, serangkaian obrolan dan diskusi berawal, dan melalui artikel ini kami sekaligus hubungkan dengan koleksi arsip yang sudah kami miliki. Lebih jauh, koleksi arsip IVAA seputar Pak Moel dan tema-tema yang terkait bisa diakses pada tautan berikut arsip Pak Moel dan sekitarnya
Pada pertengahan Juli 2021 ini, tim IVAA berbincang dengan Pak Moel dalam 2 kali kesempatan. Dalam dua obrolan tersebut, Pak Moel membagi pengalamannya belakangan ini yang sedang mengelaborasi persoalan hak dasar untuk anak-anak. Pak Moel menceritakan bagaimana metode Early Childhood Care and Development (ECCD) Holistik menjadi jalan untuk membentuk fondasi manusia yang berkualitas. ECCD kemudian menjadi semacam “panduan” bagi Pak Moel ketika bertemu dengan masyarakat di berbagai daerah, termasuk anak-anak. Meski tidak menutup kemungkinan, bongkar pasang metode bisa terjadi dalam konteks setiap daerah yang berbeda-beda. Ini menjadi tantangan tersendiri mengingat ECCD memiliki metode cukup rigid dan ketat.
Sebagaimana yang dipresentasikan Pak Moel ketika berbincang dengan tim IVAA, ECCD membagi tahapan perkembangan anak melalui berbagai golongan usia. Dalam ECCD, yang tergolong usia anak adalah 0-18 tahun. Dari sini kemudian diperinci dalam anak usia dini yaitu 0-5 tahun yang disebut sebagai usia emas. Sebuah usia dimana pendidikan dimulai dari rumah, atau home based. Kemudian usia anak 6-12 tahun, dilanjutkan dengan usia remaja 12-18 tahun. Kedua golongan terakhir ini melalui proses pendidikan yang dinamakan centre based. Centre based memiliki elemen yang lebih kompleks, karena anak mulai mengenal institusi di luar rumah mulai dari sekolah, organisasi masyarakat, pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan sebagainya. Berbagai rincian metode ECCD Holistik ini akan bertemu dengan kompleksitas masyarakat yang tentu sangat beragam. Realitas demikian yang agaknya ditemui oleh Pak Moel.
Kehidupan anak-anak dalam lingkungan sekolah, terbatas dalam berbagai macam standar kurikulum. Hal ini membuat ekspresi kreativitas anak-anak menjadi tidak tuntas. Selain Pak Moel, persoalan serupa iungkapkan oleh Wiwik Sushartami dalam talkshow Dialog Seni Kita (DSK) 26 Juli 2001. Wiwik yang kala itu menjadi koordinator Sanggar Anak Cakrawala menyatakan bahwa anak-anak harus diberi ruang apresiasi bagi kebebasan ekspresi dan kreativitasnya. Persoalan menjadi lebih kompleks karena juga ada sisi orang tua dan guru yang perlu penyadaran diri dari tuntutan-tuntutan birokrasi dan standar pembelajaran. Fase tumbuh kembang anak penting karena akan membekas dalam jangka waktu yang panjang.
Pilihan terhadap praktik artistik Pak Moel bisa dikatakan terilhami dari pengalaman-pengalaman masa kecilnya. Kehidupan masa kecilnya di Tulungagung yang merupakan daerah subur namun langganan banjir, dipenuhi pengalaman-pengalaman yang membekas di benaknya. Di kemudian hari baru Pak Moel sadari, bahwa pengalaman ini menjadi bagian dari dampak peristiwa politik dalam skala besar. Salah satunya adalah ketika bersama kawan-kawan ketika SD di Tulungagung, dengan batang pohon perdu bermain mendorong mayat terapung orang yang dicap PKI, yang tersangkut di pinggiran sungai Bengawan agar mengalir bersama arus deras sungai yg sedang meluap. Cerita ini dituliskan oleh Pak Moel pada katalog pameran Retak Wajah Anak-anak Bendungan tahun 2011 di Rumah Seni Cemeti. Belum lagi pengalaman orang tuanya yang setiap menjelang maghrib harus berlindung dari sweeping orang-orang yang dicap berpaham kiri. Salam satu obrolan dengan tim IVAA, praksis berkesenian Pak Moel yang dekat dengan anak-anak dan terjun langsung di masyarakat, menjadi bagian dari proses healing pengalaman masa kecilnya. Meski Pak Moel sendiri mengakui bahwa rasanya ketika kecil tidak merasa terepresi. Barangkali lakunya terasa secara tidak sadar melalui jejak berkesenian yang dilalui Pak Moel.
Salah satu karya dalam Pameran Retak Wajah Anak-anak Bendungan
Pak Moel menggunakan kesenian yang tidak dibatasi pada seni rupa, seni musik, atau seni tradisi, untuk menjadi media pengorganisasian masyarakat. Momentum masyarakat berkumpul inilah yang disebut Pak Moel sebagai dialog proses penyadaran. Pak Moel menuangkan pengalaman dan gagasannya tersebut dalam buku Seni Rupa Penyadaran. Istilah seni rupa penyadaran tampaknya pertama kali dituliskan oleh Siti Adiyati Subangun pada koran Kompas 4 September 1988. Sebuah artikel bertajuk Seni Rupa Penyadaran tersebut adalah liputan dari Pameran Seni Rupa Dialogis Transformatif: Suatu Proses Pencarian di Lingkar Mitra Budaya Jakarta 26-31 Agustus 1988.
Tulisan di Kompas dari Siti Adiyati Subangun untuk liputan Pameran Dialogis Transformatif
Ngomong-ngomong soal hak dasar, berdasarkan penelusuran arsip IVAA, tahun 1995 Pak Moel pernah membuat Pameran Seni Rupa Instalasi Refleksi Hak Dasar di Taman Budaya Surakarta (sekarang Taman Budaya Jawa Tengah). Mengambil konteks di daerah tempat tinggalnya, Tulungagung, Pak Moel membawa isu perjuangan hak dasar (basic rights) rakyat bawah. Pameran seni rupa instalasi ini digelar sebagai upaya menawarkan upaya dialog sejarah lokal rakyat bawah melalui presentasi kekuatan karya seni terhadap hak dasar. Dalam proposalnya, memang tidak diperinci poin-poin hak dasar yang dimaksud. Lebih banyak dijelaskan tentang konsep kekaryaan berbasis instalasi yang dimaksudkan agar lebih mudah mewujudkan lingkungan sebagaimana aslinya. Beberapa sketsa dalam proposal ini dipamerkan kembali pada pameran Teks, Garis, Bentuk di Galeri Lorong, Juni 2021.
Kembali pada obrolan kami bersama Pak Moel Juli kemarin, sempat disinggung bagaimana kiprahnya dibaca oleh para pelaku di bidang kesenian. Poin ini membuat kami membuka lagi arsip talkshow Dialog Seni Kita (DSK), 29 Maret 2002. Edisi kala itu berjudul “Memperbincangkan Seni Rupa Komunitas”. Pak Moel sebagai pendiri Yayasan Seni Rupa Komunitas (YSRK) menjadi narasumbernya. Selain tentang pengalaman turun ke masyarakat di berbagai daerah, Pak Moel menceritakan bagaimana kiprahnya kerap tidak dilihat sebagai praktik seni, tetapi praktik sosial. Pada tahun 2002, Pak Moel melihat bahwa yang sedang menjadi mainstream di kancah seni rupa adalah segala hiruk-pikuk tentang seni kontemporer. Sedangkan praktik Pak Moel dianggap tidak berada dalam radar itu. Dibuktikan dengan sulitnya Pak Moel mencari galeri yang mau memamerkan karya dan konsep gagasannya saat itu. Di satu sisi, Pak Moel mengaku bahwa karyanya terdahulu, yaitu “Kesenian Unit Desa” (KUD) tahun 1985, dianggap sebagai dobrakan atas mainstream seni rupa. KUD kemudian disebut sebagai seni kontemporer, meski mungkin pada waktu itu terma tersebut belum populer. Pak Moel menyadari bahwa dunia seni rupa selalu berupaya menggulirkan wacana yang kemudian dijadikan sebagai mainstream. Pada tahun 2002, kerja-kerja seni partisipatif Pak Moel bukan menjadi salah satunya.
Salah satu arsip dari karya Kesenian Unit Desa
Situasi demikian agaknya mulai bergeser pada tahun 2017, ketika Pak Moel menampilkan performance berupa lecture-workshop di Europalia Arts Festival 2017. Performance-nya berjudul “My Life as A Drawing Teacher: On Art and Activism”. Dalam karya tersebut Pak Moel mengajak audiens menggambar, memainkan permainan tradisional anak dan menampilkan dokumentasi aktivitasnya sebagai guru dan seniman. Pak Moel menerangkan mengapa program anak penting dan media lokal sebagai alat pendidikannya. Dengan kredo “Seni Iku Kalakone Kanthi Laku”, Art Manifest in Acts, substansi isyu anak menjadi entry point program pengembangan masyarakat desa. Dimana perempuan desa menempati peran utama aktor transformasi pendidikan kritis. Pak Moel menceritakan bagaimana seni berperan dalam proses penyadaran berbagai macam persoalan hak dasar dalam masyarakat seperti penyediaan air bersih, akses pendidikan dan kesehatan, latihan penajaman kepekaan motorik dan indrawi, peningkatan dan pemenuhan gizi anak, dan sebagainya. Beberapa aspek ini mengingatkan kami pada poin-poin kunci ECCD Holistik yang dipresentasikan Pak Moel pertengahan Juli kemarin.
Setelah dua kali bertatap muka secara daring dan dilanjutkan dengan obrolan santai via whatsapp, kami merasa bahwa ada dua hal yang hari ini menjadi kegelisahan Pak Moel. Pertama adalah elaborasi metode ECCD Holistik. Persoalan hak dasar nampaknya masih akan terus diselami oleh Pak Moel, tidak hanya belakangan ini, tetapi semenjak dirinya aktif bersama warga desa Brumbun pertengahan 1980-an. Nah, ketekunan Pak Moel bertahan pada satu isu memang akhirnya berdampak pada bagaimana dirinya diposisikan oleh publik seni. Jika tahun 2002 dirinya galau pada posisinya dalam mainstream seni rupa kontemporer, hingga hari ini Pak Moel merasa belum ada kurator atau peneliti yang secara holistik merumuskan praksisnya. Pak Moel berharap bahwa melalui IVAA yang berfokus pada arsip, bisa melihat lebih dalam tidak melulu terkotak-kotak yang kategori sudah ada. Kami kurang tahu apakah kegelisahan Pak Moel ini tumbuh setelah membaca semua tulisan-tulisan tentang dirinya, atau ketika Pak Moel diajak untuk ikut berpartisipasi sebagai seniman pada sebuah pameran. Tentu bagi kami ini menjadi tantangan yang tidak bisa diselesaikan hari ini. Mengingat Pak Moel juga terlihat masih akan terus berkiprah, masih bertenaga untuk terus menantang metode dan praksisnya.
Dari kilasan singkat yang didapat dari pembicaraan akhir-akhir ini yang dilakukan bersama Pak Moel, kami berharap agar peta koleksi akan terus dikembangkan, penelusuran juga terus berjalan. Banyak tema dan pokok masalah yang bisa dibicarakan bersama Pak Moel, dielaborasi dengan praktik kerja artistik Pak Moel yang ruang lingkupnya sangat luas. Dalam perjalanannya, selain melibatkan proses mengingat juga ada proses refleksi dan sistematisasi dari praktik dan pengalaman yang telah berjalan. Di sisi lain, upaya seperti ini juga menjadi salah satu jalan bagi tim Arsip IVAA untuk mencari metode dokumentasi yang paling sesuai dengan corak lembaga arsip seperti IVAA, yang kini sedang kita tempuh melalui metode sejarah lisan, yang dielaborasi dengan sumber-sumber lain yang sudah ada.