Ditulis oleh: Ari Nugraha dan Lisistrata Lusandiana
Paraji/Indung Beurang dalam tradisi Sunda adalah orang yang membantu persalinan secara adat. Sosok Paraji adalah perempuan yang telah menikah dan memiliki keterampilan serta pengetahuan yang didapat secara turun-temurun. Dari nenek ke ibu, dari ibu ke anak dan cucu. Ya, Paraji adalah keterampilan dan Pengetahuan yang berjalan dari garis keturunan perempuan. Ilmu Paraji bukanlah ilmu yang bisa dipelajari di sekolah. Ilmu ini harus dipelajari sambil dilakoni.
Tidak sebatas persalinan, Paraji juga menemani sepanjang kehamilan dan perawatan setelahnya. Sebelum melahirkan, ada upacara tujuh bulanan, selamatan yang dihelat oleh keluarga. Karena dalam hitungan Paraji, di usia kehamilan tujuh bulan, janin dianggap matang. Dalam hitungan Paraji; 1 bulan ngaherang, 2 bulan ngalenggang, 3 bulan gumulung, 4 bulan ngarupa, 5 bulan dibere nyawa, 6 bulan usik, 7 bulan kolot, 8 bulan ngorak, 9 bulan kolot.
Pada acara tujuh bulanan ini, terdapat tujuh syarat; Didoakan oleh laki-laki berjumlah tujuh, dengan sesaji yang terdiri dari tujuh buah-buahan, tujuh umbi-umbian, tujuh jenis sayuran, tujuh kain untuk ganti ketika dimandikan, dimandikan dengan tujuh gayung, dengan kembang tujuh rupa dan tujuh belut. Keluarga juga diminta untuk menyediakan uang logam yang melibatkan angka tujuh. Uang logam inilah yang kelak akan disebar. Di upacara inilah, Paraji menjadi pemimpin ritual.
Selama hamil, Paraji mengingatkan beberapa hal yang harus diperhatikan oleh baik Ibu hamil ataupun sang suami. Hal-hal seperti; penglihatan, pendengaran dan tutur yang harus dijaga, pengendalian diri dan larangan untuk membunuh hewan. Larangan-larangan yang muncul dari kepekaan manusia untuk menandai dan niteni tiap peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Selain itu, juga ada larangan untuk keluar rumah saat matahari hampir terbenam, untuk menghindari gangguan-gangguan. Karena dipercaya bahwa tubuh Ibu yang sedang mengandung merupakan magnet dari jurig.
Sementara itu, proses melahirkan adalah titik yang sangat rawan, karena merupakan titik penting antara hidup dan mati sang ibu. Dipercaya bahwa saat menjelang kelahiran, jurig-jurig berkumpul, turut menunggu kelahiran sang bayi, untuk menggores/menandai, dan mengucapkan janji akan selamanya menggoda sang bayi. Bagi Paraji, sesaat setelah kelahiran, sang bayi perlu dikondisikan untuk menangis, agar jalan pernapasannya lancar.
Dalam menyiapkan proses kelahiran, Paraji melakukan pemijatan lembut pada tubuh Ibu, serta memberikannya Jampi, untuk memperlancar proses persalinan. Sesaat setelah lahir, Paraji memandikan bayi dan mendoakannya. Masyarakat juga percaya bahwa dengan dibantu Paraji, iblis, hantu ataupun jurig yang biasa berlomba-lomba mengganggu sang bayi, akan menghindar karena kehadiran Paraji.
Setelah bersih, bayi didekatkan ke dada Ibu agar didekap. Ketika ibu memeluk sang bayi, ia akan merasa seperti di dalam rahim ibu, hangat. Proses ini merupakan langkah awal untuk “ngawawuhkeun” atau memperkenalkan bayi kepada sang ibu. Kemudian, sang bayi akan secara alami mencari puting susu ibu. Usai kelahiran, belum tuntas tugas Paraji. Paraji dan sang ayah akan merawat ari-ari. Plasenta yang keluar bersamaan dengan bayi harus dirawat, dengan dibersihkan, dimasukkan ke dalam pendil dan dicampuri dengan bumbu-bumbu yang terdiri dari garam, asam jawa dan gula merah, lalu ditutup dengan kain putih yang telah diberi udara melalui bambu kecil. Kendil tersebut kemudian digendong oleh sang ayah menggunakan kain jarik untuk dikuburkan. Saat berjalan menuju tempat dikuburkannya kendil berisi plasenta, sang ayah juga harus dipayungi, berpakaian rapi selayaknya akan pergi beribadah. Kuburan plasenta juga perlu diterangi dengan lampu ceret dan berpayung kurungan ayam.
Selain pada sang bayi, Paraji juga menaruh perhatian pada kondisi badan sang ibu. Untuk memastikan posisi organ-organ di bagian bawah perut dari sang Ibu tidak bergeser, maka Paraji mempraktikkan teknik Panunjel Panyandaan. Dengan bantuan pengganjal, ibu diposisikan setengah terbaring selama beberapa saat.
Paska melahirkan, Paraji masih melakukan pemijatan secara berkala untuk mengembalikan peranakan perempuan. Sang ibu dipijat sebanyak sembilan kali dengan rentang waktu; 3, 7, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40 hari. Selama empat puluh hari tersebut, sang ibu dan bayi juga mandi dengan cai leuhang atau air rendaman dari daun-daun yang telah jatuh secara alami. Setelah mandi, vagina sang ibu diuapi dengan teknik gejos batu beureum, yakni batu yang dibakar hingga berwarna merah, kemudian diciprati air dan menghasilkan uap. Uap itulah yang diarahkan ke vagina ibu. Setelah gejos batu beureum, sang Ibu juga diarahkan untuk duduk diatas lebu haneut, yakni abu gosok hangat yang dilapisi kain. Ritual ini dilakukan agar luka yang muncul dari persalinan cepat mengering.
***
Paraji berperan penting dalam membantu persalinan, terutama pada tahun 1974-1982. Di masa itu, sebelum ilmu kedokteran hadir secara langsung dalam proses persalinan, persalinan yang dibantu Paraji mencapai 92%. Paraji bukanlah profesi, tetapi kehadirannya sering disejajarkan dengan profesi bidan. Sama-sama membantu persalinan, sama-sama merawat kondisi kesehatan ibu dan bayi. Bedanya adalah pada cara memaknai dan menjalani aktivitas dan ritual tersebut. Paraji selalu menganggap aktivitas yang dilakukannya tersebut sebagai tugas sosial, sebagai penolong, sehingga imbalan atas pertolongannya ini juga tidak bisa disamakan dengan bidan dengan imbalan gaji. Paraji tidak bekerja berbasis imbalan atau gaji. Sehingga yang terbangun bukanlah relasi transaksional. Relasi antara Paraji dan Sang Ibu lebih hadir sebagai relasi antar manusia, komunikasi antar perempuan.
Saat ini, sebagian besar masyarakat kita menganggap persalinan sebagai proses medis, sehingga diperlukan campur tangan medis. Lain halnya ketika praktik Paraji masih dianggap sangat lumrah. Di mata Paraji, kelahiran tidak semata proses biologis, tetapi juga spiritual. Dengan istilah ‘jabang bayi’, proses kelahiran adalah proses penciptaan. Lahirnya makhluk hidup tidak bisa dipisahkan dari kehendak alam semesta. Bagi Paraji, proses persalinan juga dianggap sebagai proses yang sangat sakral. Sehingga dalam mempersiapkannya, selain menyiapkan kesehatan fisik sang Ibu, Paraji juga memastikan apa yang barangkali kini kita sebut sebagai keseimbangan semesta. Salah satu persiapannya ialah dengan upacara tujuh bulanan dengan syarat dan sesajen yang melibatkan angka tujuh, termasuk tujuh umbi-umbian. Karena umbi-umbian merupakan simbol atas kematian, hari esok dan kandungan.
Seiring berjalannya waktu, zaman berganti, waktu berjalan, kehadiran ilmu medis dan agama juga hadir secara dinamis dalam Masyarakat Sunda. Keberadaan Paraji berdampingan dengan dinamika tersebut, untuk terus berkomunikasi, saling mengisi dan mempengaruhi atau bahkan ada penyingkiran dan peminggiran. Situasi praktik Paraji di satu tempat, berlainan dengan tempat lainnya.
Dekat dengan praktik Paraji, masyarakat juga mengenal Doula. Doula merupakan profesi bersertifikat yang kini lebih banyak dikenal. Profesi Doula ini disebut telah menggantikan Paraji. Doula mempersiapkan kekuatan fisik dan psikologis ibu untuk melahirkan secara normal, bukan caesar. Doula lebih berperan pada saat pra persalinan. Sementara proses persalinan, dibantu oleh bidan. Keterampilan Doula ini berpusat pada kesiapan ibu. Akan tetapi, secara umum keberadaan Doula belum bisa menggantikan peran Paraji.
***
Suatu ketika, Sang Nenek meminta Ari untuk melantunkan salah satu surat yang ingin dipelajarinya. Sang Nenek tidak bisa membaca, ia lebih banyak belajar dari mendengar, mengingat dan menandai pengalaman.
Jika dibandingkan dengan ilmu medis yang bisa dipelajari lewat buku dan sekolah, metode transfer ilmu Paraji ini lain. Paraji tidak membaca dan menulis. Pengetahuan dan keterampilan Paraji bisa didapatkan seseorang dengan keterlibatan langsung, yakni dengan mengambil bagian dari praktik-praktik Paraji. Itupun bukan sembarang orang. Yang bisa berpraktik sebagai Paraji hanyalah orang-orang yang telah melewati ‘akad’, yang sebelumnya sudah didahului dengan mimpi dan komunikasi-komunikasi yang terjadi di alam bukan sadar. Pertanyaannya kini adalah, bagaimana pengetahuan Paraji ini didokumentasikan? Lagipula, logika dokumentasi yang mana? Logika dokumentasi milik siapa? Dan untuk kepentingan siapa?
Kehadiran Paraji tentu tidak bisa dilepaskan dari konteks serta semangat yang dibawa di tiap zaman. Bagaimana kaitan antara Paraji dan dominasi patriarki? Bagaimana jika keilmuan Paraji ditempatkan di hadapan berbagai pendapat dan opini perempuan-perempuan hari ini yang memilih untuk childfree?
Video ini berisi suara dari Mak Dasti, seorang paraji dari Purwakarta. Sedangkan ilustrasi gambar dibuat oleh Ari Nugraha. Terdapat 9 gambar yang mengilustrasikan bagaimana paraji bekerja, beinteraksi dengan ibu dan kandungannya, lingkungan, dan kehidupan spiritual.