oleh Hardiwan Prayogo
Sebelumnya, saya mencoba mencari Denys Lombard di google. Umumnya, namanya disandingkan dengan total history dan mazhab Annales, sebuah antitesis dari penulisan sejarah yang elitis. Mazhab ini melihat melalui berbagai lapisan budaya dan aktivitas sosial masyarakat. Setelah menerka-nerka dan akhirnya menuntaskan Nusa Jawa Silang Budaya 1: Batas-batas Pembaratan, saya memantapkan dua alasan kenapa bertahan membaca buku ini hingga halaman terakhir. Pertama adalah karena buku yang pertama kali diterbitkan dalam bahasa Prancis ini dialihbahasakan dengan sangat baik. Poin ini penting karena membantu memahami paparan panjang Lombard tentang budaya dan sejarah sosial Jawa terhitung dari kedatangan kolonial. Pemahaman ini membuat pembaca merasa dekat dengan peristiwa-peristiwa yang diceritakan Lombard. Ini adalah alasan kedua saya, bahwa tulisan Lombard tentang kontinuitas mentalitas yang berjalan panjang dan berkelindan dengan berbagai persilangan budaya, terasa dekat dengan fenomena yang hari-hari ini saya temui.
Kedekatan ini terasa betul pada bab ketiga yang berjudul “Kerumitan Warisan Konseptual” dan bab keempat “Kebimbangan dalam Estetika”. Pada bab ketiga, diawali dengan penjelasan Lombard tentang Barat yang menggoyangkan keseimbangan ekologis dan demografis. Pertama pada persoalan ekologis adalah dibukanya lahan persawahan dan hutan sebagai dampak dari maraknya impor besi, pembangunan infrastruktur jalan dan rel kereta api. Sedangkan kedua dalam hal demografis, yaitu tersebarnya pengobatan Barat modern dan sistematisasi vaksin anti cacar. Kedua hal ini sangat berdampak signifikan pada peningkatan jumlah penduduk Jawa dan Madura. Dari 4,6 juta penduduk tahun 1825, menjadi 62,9 juta pada sensus 1961. Meski harus diakui bahwa bisa jadi sensus tahun 1825 tidak terlalu akurat karena dilakukan untuk kepentingan penerapan pajak tanah. Namun tetap tidak dapat menggusur fakta bahwa terjadi peningkatan jumlah penduduk lebih dari 10 kali lipat dalam kurun waktu satu setengah abad.
Peningkatan jumlah penduduk ini tampaknya tidak hanya dilihat sebagai statistik oleh Lombard. Pada bagian berikutnya, Lombard menuliskan teknik-teknik pembinaan Barat. Soal bagaimana kolonial mengatur perilaku, cara berpikir dan cara hidup kala itu. Sebelum membaca lebih jauh, dalam benak saya pembinaan adalah seputar bagaimana aparatus negara bekerja mendisiplinkan warganya. Ternyata Lombard masuk pada aspek-aspek yang lebih subtil. Adalah penyatuan mata uang, pengembangan pers dan penggunaan penanggalan Barat. Pertama mengenai penggunaan mata uang, Lombard mencatat dalam kurun kurang lebih setiap 1 abad, terjadi penetrasi kebiasaan moneter Barat. Tahun 1744 ditandai dengan dirumuskannya gagasan mata uang tunggal oleh Van Imhoff, di mana baru diputuskan penggunaan Gulden di Hindia Belanda tahun 1854 oleh Daendels, hingga keterkaitan dengan dolar pada 1967. Sebagai catatan, yang paling akhir bukan soal perubahan mata uang, tetapi soal berlanjutnya mentalitas ketergantungan pada mata uang asing.
Kedua adalah pengembangan pers yang berkaitan erat dengan bagaimana mesin cetak yang mulai dimiliki pihak-pihak swasta hingga melahirkan percetakan di seluruh wilayah Nusantara. Selain faktor pengembangan bisnis, fenomena lain yang juga berpengaruh penting terhadap meluasnya mesin cetak adalah penyebaran aksara latin. Maka jangkauan informasi bisa beredar dengan lebih luas dan cepat.
Teknik pembinaan masyarakat ketiga adalah penanggalan Barat. Satu yang paling berpengaruh adalah disebarluaskannya kebiasaan membagi waktu sehari menjadi 24 jam. Sebelumnya, pergantian hari ditandai tenggelamnya matahari. Soal pembagian jam, suara bedug penanda sholat digunakan sebagai patokan waktu. Jam dalam kebiasaan Belanda menjadi patokan mengenai konsepsi jam kerja. Maka perubahan ini berimplikasi masa demistifikasi konsep waktu. Meski terasa dampaknya hingga hari ini, ketiga teknik tersebut tidak semerta-merta membuat Nusantara menjadi jiplakan Barat. Lombard menilai bahwa selalu ada struktur lama yang tetap hidup.
Jika diperhatikan, akan terlihat bagaimana Lombard menata bahasa dan menyajikan informasi serta opininya. Lombard cenderung memaparkan terlebih dahulu bagaimana Barat memberikan pengaruh dan mewariskan kebiasaan-kebiasaannya. Baru kemudian diakhiri dengan ambivalensi dan ambiguitas yang terjadi akibat persilangan budaya antara kebiasaan Barat dengan struktur yang sudah hidup lebih lama jauh sebelum kedatangan kolonial. Sekaligus dibarengi dengan kritik yang berusaha untuk tidak memberikan justifikasi moral. Kritik Lombard bisa mengarah pada konteks yang terjadi ketika buku ini ditulis (sekitar tahun 1980-an), atau pada penelitian terdahulu yang kurang teliti dan cenderung melakukan generalisasi. Contohnya pada kalimat penutup bab ketiga “Di Indonesia, seperti tentunya juga di tempat lain, pembaratan kosakata merupakan fatamorgana yang patut diwaspadai oleh sejarawan. Kalimat ini untuk mengakhiri sub bab yang bertajuk “Kata dan Fakta Politik”. Sub bab ini membicarakan tentang neologisme bahasa. Sebuah proses penyerapan istilah tetapi tidak beserta makna aslinya. Nasionalisme, revolusi, komunisme, dan demokrasi adalah 4 kata yang kerap digunakan para elit politik di Indonesia. Namun ketika diperiksa ulang makna asli dan latar belakang tokoh yang sering menggunakan diksi-diksi tersebut, dirasa ada kejanggalan dan ketidaktepatan.
Selepas bab ketiga, saya bersiap menerima cara bertutur yang serupa. Bab keempat, “Kebimbangan dalam Estetika”, adalah paparan soal bagaimana seni bermutasi dan bertahan menghadapi erosi. Mulai dari musik, sastra, seni lukis, arsitektur, hingga film memiliki cerita, selengkapnya lebih asik kalau kawan-kawan baca sendiri. Menurut Lombard, musik adalah satu-satunya kesenian yang paling resisten terhadap pengaruh Barat. Tercatat hanya musik mars dan keroncong yang lahir karena pengaruh Barat. Bisa jadi penilaian Lombard berubah jika melihat lagi bagaimana pengaruh musik klasik yang diajarkan di sekolah-sekolah musik. Contoh lain seperti pertanyaan Lombard yang mengatakan bahwa film sebagai seni impor murni. Barangkali ini benar dari aspek teknologi, tetapi dari logika naratif dan visual, cara bertutur dan kosa gambar sudah dimiliki sejak prakolonial. Mungkin soal ini akan lebih banyak dipaparkan Lombard pada buku kedua dan ketiga Nusa Jawa. Dengan cukup sinis, Lombard menutup penjelasan bagian film dengan: Perfilman Indonesia hanya menjadi wahana rekaan dan khayalan asing, karena pasca 1970-an cerita film mulai beredar pada cerita-cerita fantasi. Klaim Lombard ini barangkali memang terbentur dengan tidak ditemukannya referensi yang memadai. Dari catatan akhir, pada bagian film Lombard menggunakan sumber referensi jurnal Archipel dan buku dari disertasi Sinema Pada Masa Soekarno. Saya tidak tahu apakah Lombard menonton filmnya langsung atau tidak.
Intinya, pengaruh Barat pada estetika yang sangat terasa adalah desakralisasi, penekanan sifat individual (perorangan) pada karya seni, berubahnya perspektif dan representasi citra visual. Di samping itu, walau berhadapan dengan mutasi dan erosi, upaya tetap meletakkan tradisi masa lalu dan mencari identitas budaya nasional selalu terjadi. Pengaruh Barat ini yang mendasari berbagai macam bentuk kontestasi arah ideologi seni. Berkiblat ke Barat atau berkaca pada warisan-warisan nenek moyang.
Akhirnya, kita dapat menandai bagaimana Lombard menekankan bahwa Jawa dapat mempertahankan struktur mentalitas lamanya. Terutama jika dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara seperti Filipina dan Malaysia. Pengaruh Barat dirasa lebih menyeluruh pada kedua negara ini. Terlihat dari bahasa Inggris yang menjadi bahasa nasional, sementara Melayu dan Tagalog menjadi bahasa sekunder. Saya juga kurang tahu apakah klaim tersebut muncul karena Lombard juga melakukan penelitian mendalam terhadap Filipina dan Malaysia, sebagaimana dirinya meneliti Nusantara dan Jawa. Pada beberapa kesempatan, Lombard kadang menuliskan Barat, kadang menuliskan Belanda. Rasanya kurang tepat jika mensinonimkan Barat dengan Belanda. Karena Barat juga digunakan ketika Lombard sedang membicarakan konteks di Filipina atau Malaysia. Tapi entahlah, hal-hal yang saya kurang tahu pasti ini biar disimpan dalam hati saja.
Nusa Jawa Silang Budaya 1: Batas-batas Pembaratan adalah buku pertama dari seri trilogi yang berjumlah total lebih dari 1000 halaman. Buku pertama ini bukan bicara tentang bagaimana Barat menjadi aktor paling penting dalam membentuk perilaku masyarakat di Pulau Jawa. Alih-alih, justru Lombard menegaskan batas-batasnya. Bahwa benar Barat mempengaruhi beberapa aspek kehidupan, tetapi bukan berarti menihilkan kompleksitas mental yang sudah terbentuk jauh sebelum kehadiran bangsa-bangsa Eropa. Dari buku yang memiliki 591 catatan akhir ini, bisa kita lihat bagaimana Lombard menggunakan beragam sumber referensi. Mulai dari buku-buku sejarah, penelitian, ensiklopedi, buku puisi, sastra, katalog hingga brosur wisata. Tentu ini sejalan dengan corak penulisan total history. Bahwa segala macam aktivitas sosial terekam dalam berbagai medium, tidak melulu tersimpan dalam format yang kini digolongkan secara formal sebagai arsip. Dengan demikian, cara Lombard menulis sejarah Jawa ini bisa menjadi inspirasi kerja pengarsipan yang lebih progresif.
Pengalaman membaca buku sejarah dengan cara tutur diakronis atau non-kronologis sungguh berbeda dengan membaca buku sejarah semasa sekolah yang cenderung kronologis. Sekilas penulisan sejarah kronologis lebih mudah dipahami. Pertanyaan saat ujian juga paling seputar kapan peristiwa ini terjadi dan siapa pelakunya. Nah, jika sewaktu sekolah kita membaca buku sejarah dengan penulisan ala mazhab Annales, barangkali kita bisa menjawab pertanyaan kenapa, mengapa, dan bagaimana. Membaca Nusa Jawa, rasanya seperti menonton film Memento (2000) yang ditulis dan disutradarai oleh Christopher Nolan. Memento adalah film yang memadukan alur cerita maju dan mundur bersamaan. Ada scene yang berjalan dengan alur maju dan scene yang berjalan dengan alur mundur. Film diakhiri dengan pertemuan waktu dua scene dengan alur berbeda. Nusa Jawa tidak membawa saya pada lorong waktu, karena cerita mengenai keberlanjutan sikap mental terasa dekat, meski subjek yang dibicarakan berasal dari abad 17-19. Sebagaimana Memento, Nusa Jawa juga akan membingungkan jika kita coba ikuti alur logika waktunya. Tetapi kebingungan ini sengaja diciptakan agar kita bisa melampaui batasan-batasan dimensi ruang dan waktu, yaitu menuju perkara mentalitas.