oleh Krisnawan Wisnu
Selama sebulan (Juni, 2021) Klub Baca IVAA mengulas buku “Nusa Jawa: Silang Budaya– Batas-batas Pembaratan” karangan Denys Lombard. Secara pribadi, sulit sekali rasanya membaca buku sejarah bermazhab Annales ini. Selain cakupannya yang begitu luas dan padat, serta gaya tulisan yang meliuk-liuk, banyak sekali sumber sastra yang penulis Perancis ini gunakan untuk mencari jejak suatu peristiwa. Mungkin ketidakdekatan saya dengan bacaan sastra jadi salah satu faktor kesulitan itu. Meski demikian, topik bagaimana komunitas Kristen berkembang di Nusantara menjadi salah satu yang membekas dalam pikiran saya.
Mengulang singkat apa yang ditulis Lombard, komunitas Kristen memang sedari datangnya ke Nusantara hidup dalam lingkup ‘pinggir’. Ia bukan misi utama Belanda sehingga difokuskan di area-area pinggir seperti Kepulauan Maluku dan Sunda Kecil. Di Jawa pun tidak sesubur di sana awalnya. Meski demikian, kemudian di Jatim tumbuh kuat kisah seorang Laurens Coolen, Kiai Sadrach di Purworejo, dan di Muntilan dengan kisah Van Lith yang mendirikan sekolah guru pribumi dan membaptis katekis Jawa pertama, pertapa Sarikromo. Terlebih lagi, kekuatan komunitas Kristen di Yogyakarta pun cukup kuat jika dibandingkan dengan daerah lainnya. Di sana mereka punya infrastruktur mumpuni, mulai dari seminari, fakultas teologi, percetakan, hingga sekolah-sekolah. Kemampuan para pendeta maupun pastor untuk mengawinkan tradisi Jawa dengan ritus dan ajaran Kristen juga menjadi satu strategi yang ampuh sampai sekarang.
Kemahiran mereka muncul pula pada masa Tragedi 65. Gereja-gereja turut mengurusi korban yang terdiri dari orang Cina dan lainnya yang dicap komunis. Peran inilah yang membuat hubungan gereja dengan kaum Cina menjadi kuat. Oleh karena itu, masuk akal ketika di kemudian hari borjuis Cina banyak yang mendukung kegiatan gereja. Dan mungkin karena kedekatan inilah, sejak pasca reformasi stigma kafir merujuk kepada kedua kelompok itu secara lebih asosiatif. Komunitas Kristen adalah kelompok pinggir yang berupaya mengambil peluang, baik dari gejolak kultural maupun politik.
Lombard menulis bahwa kristianisme sebenarnya tetap merupakan agama minoritas dan Islam terus melakukan tekanan terhadapnya. Akibatnya terbentuk semacam suasana terkungkung (obsidional) yang mendorong munculnya refleks elitis, bahkan sektarian. Perpaduan antara minoritas dan elitis dalam komunitas Kristen di Hindia Belanda adalah pembacaan Lombard yang canggih bagi saya.
Tulisan Lombard ini membuat saya melihat realitas sehari-hari, baik yang lampau maupun yang sampai sekarang masih saya jumpai. Bahwa infrastruktur mapan yang dibangun oleh komunitas Kristen, mungkin sebagai strateginya sebagai minoritas, berdampak sampai sekarang. Tidak jarang saya temui persepsi orang kebanyakan, bahwa sekolah swasta (biasanya merujuk pada sekolah-sekolah dalam naungan yayasan Kristen) lebih baik daripada sekolah negeri. Orang bilang, pendidikan karakter dibentuk betul di sana. Walau begitu, bukan berarti sekolah negeri tidak mendidik karakter, karena apa yang saya dapat sewaktu di SD negeri juga sangat berarti sampai sekarang. Sedikitnya murid di sekolah pinggir jaratan (istilah Jawa untuk kuburan) itu membuat kami sampai sekarang rutin berkomunikasi dan hampir rutin berbuka bersama tiap tahun.
Elitisme komunitas Kristen yang paling saya rasakan adalah ketika berkesempatan untuk mencicipi pendidikan di sebuah asrama di Mertoyudan, Magelang. Di situlah saya betul-betul melihat kembali, setelah membaca tulisan Lombard, bagaimana komunitas Kristen sebagai minoritas menyemai para calon formatornya secara sektarian. Terlebih lagi, mereka benar-benar merawat hubungan damai dengan kelompok kuat di Indonesia, yakni TNI-Polri dan komunitas Islam. Soal yang pertama, meski sekolah itu sudah dialihkan administrasinya ke praja, dalam konteks formatio (istilah yang mereka gunakan untuk pendampingan) tetap para Jesuit yang paling berpengaruh. Meski tidak lagi berstatus kolese, seminari ini tetap dianggap penting dalam hajatan empat tahunan Temu Kolese; sebuah kegiatan temu bersama antar sekolah-sekolah naungan Jesuit seluruh Indonesia.
Soal yang kedua, ada beberapa peristiwa dalam sejarah yang menurut saya penting. Selama Jepang berkuasa, semua seminaris (sebutan untuk siswa seminari) kala itu menjalani model pendidikan diaspora. Kebanyakan disebar ke beberapa pasturan di paroki-paroki. Dalam periode inilah gedung Seminari Mertoyudan ditempati oleh Tentara Keamanan Rakyat. Berlanjut ketika masa revolusi fisik, sejak 17 Juni 1946 hingga 18 Desember 1948, gedung asrama itu digunakan untuk tempat pendidikan Kepolisian Republik Indonesia. Sampai sekarang masih ada monumen pedang di halaman depan sebagai peringatannya. Selain itu, hubungan seminari dengan komunitas Islam, khususnya NU, juga kuat. Bahkan, peringatan 100 hari peringatan Gus Dur salah satunya diadakan di sana dengan megah. Selain doa lintas agama secara bersama-sama, orkestra musik klasik gaya barat dipersembahkan para seminaris sebagai panggung keterlibatan. Oleh karena itu, seminari bisa dikatakan aman ketika ada kerusuhan horizontal. Sebagai minoritas yang elitis, hubungan harmonis adalah celah sekaligus strategi untuk bertahan. Mungkin kisah bagaimana para pendahulunya beradaptasi dengan tradisi Jawa, dan mengawinkannya dengan ritus gereja, jadi jejak awal kesadaran atas strategi tersebut. Namun, apakah ini pembauran? Saya jadi ingat tapi lupa dari mana tahu kisah ini, Romo Mangunwijaya, yang ketika muda turut sebagai anggota Tentara Pelajar, pernah mengkritik institusi seminari dalam suatu retret. Alih-alih mengajak para frater untuk khusyuk berdoa, ia justru menantang mereka untuk membongkar tembok pembatas asrama, menjebol batas konkret antara komunitas Kristen dengan masyarakat sekitar.
Tulisan Lombard, utamanya soal bagaimana komunitas Kristen berdinamika di tanah Nusantara, setidaknya memberi petunjuk untuk meraba beberapa fenomena dalam kehidupan saya. Sejak lahir saya telah hidup dalam keluarga dan lingkungan Katolik di Jawa. Meski demikian, nampaknya ada pertimbangan dari orang tua untuk mendahulukan status formal anaknya sebagai warga negara Indonesia. Dan itu berlaku untuk semua kakak saya, bahwa pembaptisan dilakukan setelah akta kelahiran terbit. Saya tidak pernah menanyakan mengapa sejatinya seperti itu. Tapi sepertinya ini bukan perkara pembauran, melainkan sebuah warisan bagaimana komunitas Kristen berkompromi dengan kekuatan-kekuatan yang lebih besar.