7 Apirl 2015
7 Apirl 2015
Disalin dari MI. Dani Putra
Latar Belakang
Di DIY pada awalnya tidak pernah ada tanah negara. Semua tanah negara di DIY adalah tanah Sultanat, yang sejak kemerdekaan diberikan kepada pemerintah daerah. Selain itu, ada tanah milik Keraton Yogyakarta (Sultan Ground), dan tanah milik Puro Paku Alam (Paku Alam Ground), yang sebagian saat ini digunakan oleh masyarakat untuk bermukim atau berbudidaya dengan kekancing atau sertifikat hak pakai dari Keraton dan Puro, tetapi bukan hak milik. Karena bersifat istimewa, pertanahan DIY dengan demikian seharusnya juga tidak cukup diatur dengan UUPA, melainkan harus dijabarkan dalam Peraturan Daerah (Perda).
Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan bahwa status tanah Sultan Ground dan Paku Alam Ground adalah tanah ulayat (Tanah Adat) dan tidak dijamin oleh UUPA, sampai sekarang status kepemilikannya dibuktikan surat yang dikeluarkan keraton, oleh karena itu pemerintah pusat harus memperjelas kepastian hukum status tanah milik keraton dan Paku Alam melalui sebuah Undang-Undang
Tanah milik Kraton Yogyakarta yang terdiri atas Sultan Ground dan Pakualaman Ground diharapkan akan memiliki kejelasan secara administratif maupun landasan hukum setelah aspek pertanahan dicantumkan dalam RUUK DIY. Pasalnya, tanah yang banyak ditempati masyarakat tersebut sampai saat ini belum memiliki tanda bukti administratif.
Tanah-tanah milik Kasultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman belum jelas letak, luas, pengguna/ pengelola, pemanfaatan serta batasnya, dan secara normatif keberadaan tanah Sultan Ground (SG) dan tanah Paku Alaman Ground (PAG) sampai saat ini belum terjangkau ketentuan UUPA, tetapi secara kenyataan keberadaan tanah SG/PAG diakui oleh masyarakat, untuk itu harus tetap dijaga, dipelihara, dan dilestarikan keberadaannya dengan pertimbangan secara historis, sosiologis, dan yuridis melalui kegiatan Inventarisasi sekaligus Sosialisasi Tanah SG/PAG di DIY. dalam UU No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, wilayah Provinsi DIY adalah merupakan bekas Daerah Swapraja yang terdiri Kerajaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Paku Alaman, karena itu sampai saat ini di wilayah DIY masih terdapat tanah- tanah yang diberi inisial SG (Sultan Ground) danPAG (Paku Alaman Ground) setelah disyahkannya UU No. 13 Tahun 2012 tentang KEISTIMEWAAN Daerah Istimewa Yogyakarta tanah-tanah dimaksud sebutannya menjadi Tanah Kasultanan Yogyakarta dan Tanah Kadipaten Paku Alaman.
Sultan Ground adalah Tanah Keraton yang belum diberikan haknya kepada penduduk maupun kepada pemerintah desa, masih merupakan milik keraton sehingga siapapun yang akan menggunakannya harus meminta ijin kepada pihak Keraton. Tanah di Yogyakarta dengan status Sultan Ground merupakan kesinambungan antara masa lalu dan masa kini untuk menghormati Kasultanan Yogyakarta. Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 19 Agustus 1945 dengan Piagam Kedudukan Sri Paduka Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan HB IX, secara resmi mengakui keberadaan Kraton Yogyakarta, termasuk tanah tanahnya yang berstatus sebagai keprabon dalem dan dede keprabon dalem. Walaupun tanah tanah itu telah mengalami perkembangan dalam penguasaan dan penggunaannya, namun status hukumnya senantiasa disesuaikan dengan konsep kerajaan, dimana Sultan adalah penguasa tunggal. Berdasarkan Rijksblaad Kasultanan 1918 Nomor 16 jo. Risjkblaad 1915 Nomor 23, dilakukan reorganisasi dengan tujuan memberikan hak atas tanah kepada rakyat biasa dengan hak hak yang kuat. Tanah sultan ground dibagi dua yaitu Crown Domain atau Tanah Mahkota dan Sultanaad Ground. Crown Domain atau Tanah Mahkota tidak bisa diwariskan itu yang merupakan atribut pemerintahan Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat, diantaranya Keraton, Alun-alun, Kepatihan, Pasar Ngasem, Pesanggrahan Ambarukmo, Pesanggrahan Ambarbinangun, Hutan Jati di Gunungkidul, Masjid Besar dan sebagainya. Sedangkan tanah Sultanaad Ground (tanah milik Kasultanan) adalah tanah-tanah yang bisa diberikan dan dibebani hak. Tanah tersebut merupakan wilayah kerajaan Ngayogyokarto Hadiningrat yang tanahnya bisa dikuasai oleh rakyat. Tanah-tanah yang tidak ada tanda bukti haknya adalah tanah Sultan Ground/Paku Alaman Ground, yang perlu pengaturan lebih lanjut.
Pengertian Sultan Ground.
Tanah Keraton merupakan tanah yang belum diberikan haknya kepada penduduk maupun kepada pemerintah desa, masih merupakan milik keraton sehingga siapapun yang akan menggunakannya harus meminta ijin kepada pihak Keraton.
Pembagian Sultan Ground.
Tanah sultan ground dibagi dua yaitu Crown Domain atau Tanah Mahkota dan Sultanaad Ground. Crown Domain atau Tanah Mahkota tidak bisa diwariskan itu yang merupakan atribut pemerintahan Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat, diantaranya Keraton, Alun-alun, Kepatihan, Pasar Ngasem, Pesanggrahan Ambarukmo, Pesanggrahan Ambarbinangun, Hutan Jati di Gunungkidul, Masjid Besar dan sebagainya. Sedangkan tanah Sultanaad Ground (tanah milik Kasultanan) adalah tanah-tanah yang bisa diberikan dan dibebani hak. Tanah tersebut merupakan wilayah kerajaan Ngayogyokarto Hadiningrat yang tanahnya bisa dikuasai oleh rakyat.
Tanah D.I. Yogyakarta Sekarang
Semula, Yogyakarta adalah daerah swapraja. Diktum UUPA huruf a mengatakan, hak dan wewenang dari swapraja atau bekas tanah swapraja yang masih ada pada waktu berlakunya undang-undang ini hapus dan beralih kepada negara. Hal-hal yang bersangkutan dengan huruf a diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Tapi sampai sekarang, peraturan pemerintah itu belum dibuat. Karena itulah UUPA di Yogyakarta belum dilaksanakan sepenuhnya. Yang diberlakukan hanya sebatas tanah hak yang diatur berdasarkan hukum Barat.
Hukum Tanah Swapraja adalah keseluruhan peraturan tentang pertanahan yang khusus berlaku di daerah swapraja, seperti Kesultanan Yogyakarta. Dalam konsiderans Staatsblad No. 474 tahun 1915 ditegaskan bahwa di atas tanah-tanah yang terletak dalam wilayah hukum swapraja, dapat didirikan hak kebendaan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW), seperti hak eigendom, erfpacht, opstal, dan sebagainya. Di Yogyakarta, Sultan merupakan pemilik tanah yang merupakan tanah Keraton. Rakyat hanya punya hak sewa atau hak pakai dan biasa disebut magersari. Jika Sultan menghendaki, sewaktu-waktu ia dapat mencabutnya kembali. Menurut sejarahnya, hukum tanah diatur bersama-sama, baik dengan tanah kas desa, tanah penduduk, maupun tanah Keraton itu sendiri.
Dualisme penerapan hukum tanah di DIY telah berlangsung sejak diterbitkannya UUPA yang mengatur secara detail mengenai ketentuan hukum agraria secara nasional. Bagi Yogyakarta, UU tersebut awalnya harus dikecualikan dan penerapannya baru diakui pada 2 Februari 1984 dimana Sri Sultan Hamengkubuwono IX secara resmi menyatakan UUPA juga berlaku di Yogyakarta.
Untuk memperoleh izin dalam hal menyewa atau memakai tanah keraton (magersari), terlebih dahulu harus meinta izin kepada Paniti Kismo. Paniti Kismo merupakan lembaga adat yang mengurusi pertanahan keraton yang meliputi pengaturan dan perizinan. Tanda bukti izin tersebut adalah dikeluarkannya Surat Kekancingan Magersari yang di dalamnya memuat klausul bahwa pemegang Magersari dilarang mendirikan bangunan permanen, tanah magersari tidak bisa diperjual belikan, dan bersedia mengembalikan tanah bila sewaktu-waktu diminta. Namun, perizinan dan syarat administrasi tetap tunduk pada aturan pemerintah setempat dalam hal ini Pemkab walaupun untuk magersari tidak dimungkinkan mendapatkan sertifikat atas tanah tersebut.
Untuk tanah keraton yang telah bersertifikat hak milik, tentu saja menurut Hukum Agraria yang berlaku, permohonan hak atas tanah tersebut tunduk pada ketentuan UUPA serta ketentuan lain yang meliputi ketentuan administratif. Hal ini menandakan Hukum yang berlaku mengenai tanah di DIY masih bersifat dualisme.
Di samping itu, terdapat tanah-tanah yang telah bersertifikat dan dimiliki oleh perseorangan. Tanah tersebut merupakan tanah yang pada kenyataannya tidak dapat diganggu gugat oleh pihak keraton karena telah ada alas hak yang sah. Jika pihak lain ingin menguasai tanah tersebut, tidak perlu izin penggunaan lahan seperti megarsari kepada Paniti Kismo. Namun jika ingin mendirikan bangunan, harus memenuhi persyaratan untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangun Bangunan (IMBB) dan harus ada persetujuan dari Penghageng Wahono Sarto Kriyo untuk kawasan Kraton maupun tanah milik Kraton.
Sultan Ground Tidak Hanya di Yogyakarta
Tanah di Yogyakarta dan daerah lain dengan status Sultan Ground ( bertitel SG) merupakan kesinambungan antara masa lalu dan masa kini untuk menghormati eksistensi Kasultanan Yogyakarta. Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 19 Agustus 1945 dengan Piagam Kedudukan Sri Paduka Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan HB IX, secara resmi mengakui keberadaan Kraton Yogyakarta, termasuk tanah tanahnya yang berstatus sebagai keprabon dalem dan dede keprabon dalem. Walaupun tanah tanah itu telah mengalami perkembangan dalam penguasaan dan penggunaannya, namun status hukumnya senantiasa disesuaikan dengan konsep kerajaan, dimana Sultan adalah penguasa tunggal. Berdasarkan Rijksblaad Kasultanan 1918 Nomor 16 jo. Risjkblaad 1915 Nomor 23, dilakukan reorganisasi dengan tujuan memberikan hak atas tanah kepada rakyat biasa dengan hak hak yang kuat. Dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Pokok Agraria ( UUPA) dan Keppres Nomor 33 Tahun 1984, membawa konsekuensi bahwa semua tanah di wilayah Propinsi DIY tunduk pengaturannya, penggunaannya, peruntukannya, peralihan ataupun kepemilikannya. Untuk tanah berstatus keprabon dalem muncul persoalan hukum mengingat karakteristik kepemilikan secara historis dan fungsinya berdasar hukum tersendiri. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 4 dan 5 Tahun 1954, tanah tanah keprabon dalem itu diurus langsung oleh KHP Wahono Sarto Kriyo cq. Kantor Panitikismo. Dan dalam Surat Kekancingan Sultan HB IX tanggal 03 januari 1979, berisi perintah tugas untuk : (1)mengidentifikasi tanah milik Sultan atau Kraton Yogyakarta, terutama yang dudah terdaftar dengan titel SG ( Sultan Ground ); (2) mengusahan surat tanda bukti resmi berupa sertifikat atas tanah tanah kasultanan; (3) mengusahakan dibuatnya perjanjian tertulis antara pemakai atau penghuni setiap persil tanah itu dengan KHP Wahono Sarto Kriyo sebagai wakil Sultan, yang dalam perjanjian itu pemakai atau penghuni diwajibkan membayar uang sewa. Tanah dengan status SG ini tersebar tidak hanya didalam Provinsi Yogyakarta, tapi ada di wilayah provinsi jawa tengah dan jawa timur,, serta daerah lain.
Priyayi yang memiliki hak magersari diatas tanah kraton biasanya memiliki rumah besar dan pegawai yang banyak dan bertempat tinggal dalam lingkungan rumah/tanah Priyayi ybs. Para pegawai ini yang berjasa besar untuk kelangsungan status kehormatan dan mendapat berkah atau bayaran yang mencukupi keluarganya. Status menempati rumah/tanah ini yang disebut dengan ngindung dengan karakteristik yuridis, historis, dan politis tersendiri. Kenyataan dilapangan ada yang terjadi diluar tanah SG atau pada yang berstatus pribadi hak milik turun temurun dalam bentuk hak garap, hak kelola, hak gadai yang sudah selesai( dianggap tidak pernah dibayar oleh di ahli waris penggadai), atau insidentil berkepanjangan..
Ngindung (bhs.Ind = ikut, numpang) secara perdata bisa disamakan dengan hak pakai atau hak guna bangunan yang dalam hal ini atas ijin pemilik atau penguasa tanah. Secara historis mayoritas pengindung karena mereka keturunan pegawai/pekerja dari orang kaya pemilik/penguasa tanah. Mereka diberikan tempat tinggal dibagian rumah besar( atau terpisah dalam lingkungan tanah induk ) dengan kewajiban memelihara. Namun tidak pernah ada kejelasan tentang status penempatan tempat tinggal, dengan hak sewa atau hak menempati selama bekerja atau sampai meninggalnya. Anak turunnya walaupun sudah tidak bekerja lagi pada pemilik rumah/tanah masih menempatinya. Sehingga kewajiban memelihara ini terkondisi situasi perkembangan waktu dan menggunakan biaya yang tidak sedikit disamakan bila itu rumah/tanah sendiri. Keadaan demikian diperparah oleh kenyataan sejarah ,bahwa Priyayi atau keluarga kerajaan pada masa Kolonial dan beberapa saat setelah kemerdekaan dihidupi dengan subsidi sebesar Rp 750,-, jumlah sangat besar pada masa itu , digunakan untuk menyokong status. Dan hilangnya subsidi status itu mengurangi banyak kesejahteraan pegawai yang ngindung. Priyayi yang tidak punya tanah pertanian sebagai sumber penghasilan otomatis menjadi miskin, bahkan tidak mampu membiayai rumahnya yang besar sekali, termasuk membayar pegawai yang ngindung. Keadaan ini berlanjut hingga masa ini, pengindung yang meneruskan tempat tinggal menghadapi problema sosial dan hukum tentang status menempati rumah.
Berdasar keikhlasan , pemilik rumah dan/atau tanah memberikan hak bertempat tinggal dengan ketentuan tidak membangun melebihi yang dahulu ditempati. Kerancuan dan penipuan status tentang tanah terjadi setelah pemberlakuan UUPA, karena letak yang tidak menyatu dengan rumah/tanah pemilik kadang dianggap tanah tidak bertuan dan lagi ada ketentuan Agraria nasional yang mensyaratkan menempati 30 tahun tanpa gangguan dapat diubah statusnya menjadi hak milik sertifikat nasional. Ahli waris sah kadang juga tidak mengetahui sejarah keseluruhan kepemilikan/penguasaan tanah sehingga hal tersebut diatas terjadi, dan kalaupun tahu tidak segera mengurus hak pemilikan/penguasaannya ke Badan Pertanahan Nasional atau ke Kraton Yogyakarta bila itu bertitel SG. Pencatatan tanah yang menjadi dasar penerbitan Kutipan Letter C di desa kadang terlambat dan dengan mudah bisa dimanipulasi dengan alasan ketidak jelasan status.
Apabila berbentuk rumah tinggal menjadi mudah karena nyata obyeknya ditempati anak turun pegawai Priyayi, yang berbentuk tanah menjadi sulit karena alasan diatas kecuali ada kejelasan keterangan obyek warisan dan pencatatan yang benar di Kutipan Letter C dan D desa/ kelurahan.(1)Pewarisan yang meninggalkan penghuni ‘ngindung’ memang membutuhkan kebijaksanaan pemilik dan pengindung dengan kesepakatan ketua RT dan RW. Penyelesaian yang ada kadang berujung pada pemaksaan kehendak pemilik dengan laporan polisi dengan tuduhan ‘menempati tanah yang bukan haknya’, namun jalan pidana juga tidak membuahkan hasil yang baik, karena dianggap ada perkara perdata yang mesti diselesaikan.(2) Penghuni rumah indung, sesuai kebiasaan akan menuntut pesangon yang berbeda beda menurut besarnya rumah. Hal yang umum diterapkan adalah penggantian nilai rumah yang ditempati.
Dasar perhitungan yang ada dalam PBB atau nilai pajak bangunan masih ditambahkan dengan nilai harga umum/pasar yang berlaku. Kesepakatan tentang nilai rumah menjadi masalah berkepanjangan apabila tidak segera diselesaikan. Mungkin diperlukan juru taksir yang disepakati kedua pihak untuk menilai harga penggantian rumah, sepanjang yang dihitung adalah nilai rumah pada saat itu sesuai pasar, bukan menurut berapa besar biaya pemeliharaan dan penggantian yang rusak.(3)Bila tidak segera dirampungkan, Pemilik dapat memberi opsi berupa status sewa dengan harga sewa yang murah untuk 2 tahun pertama, kemudian tahun berikutnya dapat ditetapkan sewa menurut harga umum dengan klausula sewa itu dapat diperpanjang sampai 10 tahun atau lebih. Hal ini diterapkan bila tanah rumah tersebut tidak segera diperlukan oleh pemilik. Bila tidak ada kesepakatan harus kembali pada tuduhan menempati rumah dengan tanpa hak dengan penawaran wajar harga pasar untuk pengganti.