Oleh: Sukma Smita
Bagai sebuah bentangan peta yang terbuka, hari ini data adalah penanda atas rekam jejak eksistensi digital kita. Sebuah peta data bisa digunakan sebagai panduan untuk melihat petualangan yang telah dilewati sekaligus untuk memprediksi arah mana yang selanjutnya ingin dituju. Barangkali tak terelakan dan tanpa memikirkan kesiapan kita semua, data dalam perkembangan teknologi digital hari ini turut mengarahkan kita dalam melihat dan menafsirkan dunia.
Prosedur algoritma yang merangkai data demi data menjadi layaknya peta tidaklah inosens, ia politis dan berada dalam tegangan: mengarahkan dan diarahkan. Data beserta interaktivitas kita di dunia digital bisa menjadi amunisi untuk proyek besar rekayasa perilaku sosial oleh raksasa pemegang big data, baik atas nama ekonomi, politik maupun kebudayaan. Meski demikian, karena sifatnya yang politis, warga dunia digital tidak bisa begitu saja diasumsikan pasif dan manut mengikuti jalur peta, mereka memiliki kuasa memutuskan arah mana yang hendak mereka tuju hingga bagaimana ia ingin diarahkan.
Jalinan pola relasi keseharian yang sambung menyambung secara intens dalam dunia digital membentuk identitas dan citra diri yang sangat memungkinkan terefleksi dalam kehidupan sehari-hari. Dan jika citra diri aktif dikonstruksi melalui berbagai kepentingan dan rekayasa, How I Did Get Here bisa jadi sebuah pertanyaan sekaligus pernyataan.
Presentasi Faida Rachma adalah eksposure atas citra diri yang ia bangun di dunia digital dan yang kemudian mampu mempengaruhi cara pandang orang lain atas dirinya. Ia juga menggaris bawahi busana dalam dimensi produksi dan pemaknaan atasnya. Sebagai peta, proses produksi dan konstruksi atas identitasnya tidak berhenti pada satu tujuan melainkan terus membuka peluang jelajah, terus bergerak, dan memproduksi. Melalui model busana beserta aksesorisnya, Faida juga merentangkan ragam interpretasi atas bentang identitas dan citra dirinya yang kemudian dinegasi oleh penggunaan barcode sebagai prasyarat. Negasi menjadi penting, karena alih-alih hanya memaknai secara mata telanjang peta data identitas yang tersaji, terbuka kesempatan untuk interaktivitas dan pertukaran pengetahuan subjektif lain yang tidak bisa diakomodir oleh motif-motif kode bar atau barcode dan kode bilangan program.
Ketidakpastian dalam Laku Pengarsipan
Oleh: Faida Rachma
Saya sendiri tidak terlalu ingat apa pemicunya, namun sejak bulan Mei silam, saya mengarsipkan jejak digital saya dalam sebuah akun Instagram @daytoday.codegram. Pada akun ini, saya mengurasi dan mengunggah QR Code berisi konten digital yang saya konsumsi hari itu, berikut catatan pendek yang saya tuliskan sebagai caption. Proyek ini yang kemudian saya daftarkan pada aplikasi mini-residensi Ephemera#2.
Dalam serangkaian lokakarya Ephemera#2, banyak pemahaman baru mengenai arsip yang saya dapatkan. Beberapa di antaranya adalah mengenai kemungkinan lain bentuk-bentuk arsip dan relasi arsip dengan pengarsipnya. Sudut pandang baru mengenai laku mengarsipkan ini bagi saya terasa seperti menunggu kapan gaji naik, penuh ketidakpastian. Bedanya ketidakpastian dalam proses pengarsipan (upaya untuk memberi makna dan pembacaan baru) yang baru saya kenal ini, alih-alih mengesalkan, malah terasa begitu melankolis.
Sembari membayangkan hal-hal yang besar dan jauh seperti datakrasi dan kemungkinan-kemungkinan lainnya (seperti membayangkan kerja-kerja yang bisa digantikan mesin, peniadaan relasi upah, Krisdayanti bergaji UMR, dsb.), saya dirundung keraguan ketika melakukan usaha mengarsipkan jejak digital ini. Bagaimana tidak, selain tujuannya belum jelas, saya juga bukan orang yang cukup punya peran sosial, apalagi pengaruh dalam masyarakat. Hanya mbak-mbak tanggung yang kebanyakan nonton Youtube dan variety show Korea.
Pun ditarik ke dalam konsep kapital manusia, di mana hidup dipandang sebagai karir, kehidupan sehari-hari saya nyatanya juga kelewat datar untuk bisa dinilai sebagai investasi.
Satu-satunya alasan mengapa proyek ini tetap saya lanjutkan hanyalah karena saya takut lupa. Saya takut melupakan momen-momen yang lewat sekelebat. Takut melupakan hal-hal yang membuat saya tertawa sendirian di malam hari atau hal-hal yang saya pikirkan di perjalanan menuju lokasi kerja. Dan utamanya, saya takut lupa ke mana waktu-waktu dalam hidup ini saya habiskan. Sisanya, saya hanya dikuatkan kata-kata “Ragu adalah bentuk iman tertinggi.”
Hal lain juga baru saya sadari ketika mencoba mengolah arsip jejak digital saya dalam bentuk karya visual. Saya tidak menyangka menulis ulang caption-caption dari akun Instagram @daytoday.codegram bisa membuat emosi saya campur aduk. Malu, panik, dan sedikit bangga. Selain karena konten tulisan yang kebanyakan berupa racauan, kesadaran bahwa teks yang saya tuliskan akan meninggalkan bekas dan belum akan dihapus kecuali ada keperluan khusus, membuat saya harus menerima fakta bahwa tulisan berisi pengalaman pribadi ini mungkin akan dibaca lebih banyak orang dari yang saya kira.
Beberapa teman yang berkunjung juga sempat berasumsi, seberapa acak konten-caption yang saya pamerkan, saya tetap dapat membuka kemungkinan untuk menarik benang merah dari sana. Entah ketertarikan, kecenderungan pola pikir, keberpihakan, dan sebagainya. Tapi keraguan justru kembali hadir. Apakah betul saya bisa mendapat kesimpulan tentang diri saya dari konten-konten yang saya konsumsi sehari-hari? Apakah saya benar-benar perlu membuat kesimpulan tentang dan untuk diri saya, atau proses mengarsipkan jejak digital ini sendiri memang tidak pernah perlu disimpulkan.
Sejauh saya mengerjakan proyek ini, saya kira saya dapat mengenali diri saya lebih lanjut. Nyatanya tidak. Klaim pengetahuan-diri (self-knowledge) ternyata tak berhasil saya buktikan bahkan ketika saya dengan rajin mencatat kelindan jejak digital dan keseharian saya.
Saya masih tidak bisa melabeli diri saya sendiri, tidak bisa mengerucutkan hal-hal yang saya sukai, juga tidak bisa mengasumsikan kebutuhan saya sendiri. Hidup saya masih tetap acak saja seperti biasa, dan anehnya saya justru menjadi tidak keberatan dengan itu semua. Hal-hal ini justru menguatkan asumsi dan kecurigaan saya bahwa manusia memang tidak bisa benar-benar mengenali dirinya sendiri secara utuh, tidak mampu mengenali kepentingan dasarnya sendiri. Sehingga saya semakin merasa bahwa AI sebagai alat bantu untuk mengenali diri semakin diperlukan untuk memahami kondisi-kondisi tertentu.
Implikasinya pada proses pengerjaan karya, saya jadi lebih fleksibel dalam proses produksi presentasi akhir karena memutuskan untuk pasrah dengan ketidakpastian-ketidakpastian ini. Dari segi bentuk dan jumlah, karya saya juga melewati begitu banyak negosiasi. Apalagi ketika waktu pembukaan dimajukan beberapa hari. Saya pikir saya akan panik, ternyata tidak juga. Proses belajar membuat jaket, celana, dan sebagainya juga bisa saya lakukan dengan lebih santai.
Akhirnya, gagasan mengenai datakrasi sebagai tatanan politik dan sebagai titik tolak proyek ini sedikit terkesampingkan. Saya menyadari betul bahwa gagasan utopis ini, kalaupun betul terwujud, belum akan terjadi dalam waktu dekat. Sehingga dalam proses ini, gagasan mengenai datakrasi lebih berperan sebagai thought exercise. Banyak hal yang sifatnya lebih personal kemudian mengambil alih dan beradu dalam pemikiran saya mengenai arsip diri.
Barangkali hingga saat ini, arsip saya masih belum akan memiliki nilai. Kalaupun ada, paling hanya sebatas memuaskan nafsu saya untuk berbagi konten-konten hiburan yang saya nikmati. Tapi pun di masa depan nanti saya mati dengan tidak meninggalkan cukup banyak manfaat, sehingga arsip-arsip ini masih tidak memiliki nilai lebih, rasanya saya tidak akan terlalu keberatan juga. Saya ternyata sudah cukup senang bisa membawa hal-hal yang membuat saya excited selama ini untuk menjadi bagian dari karya saya. How Did I Get Here? bagi saya adalah bentuk apresiasi terhadap pencipta konten yang saya konsumsi dan rekan-rekan Ephemera #2. Terakhir, saya sendiri cukup berbahagia bisa membuat karya dari bekuan momen-momen yang ingin saya simpan di ingatan.