7 Aprl 2015
7 Aprl 2015
Disalin dari : Agraria
08 Maret 2015
UU KEISTIMEWAAN DIY DAN HAK RAKYAT ATAS TANAH YANG DIJAMIN UUPA
oleh Gerakan Masyarakat Penerus Amanat Sultan HB IX
Hak rakyat atas tanah dijamin oleh UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) dan aturan pelaksanaannya, tidak terkecuali di DIY. Menurut UUPA, agraria meliputi bumi, air, dan udara; sehingga urusan pertanahan dan tata ruang tidak dapat dipisahkan. Penguasaan tanah akan menentukan penataan ruang. Artinya, penentuan suatu proyek di daerah tertentu akan lebih mudah jika penguasaan tanah di daerah tersebut kuat secara hukum, apalagi jika suatu daerah dimiliki oleh satu pihak saja.
Terkait tata ruang, penguasaan tanah di DIY diubah agar sesuai dengan kepentingan modal besar, yaitu megraproyek MP3EI. Di mana-mana, megaproyek ini dipromosikan sebagai pembangunan, meskipun hakikatnya adalah penjajahan ekonomi oleh sistem kapitalisme. Di manapun, MP3EI telah menimbulkan konflik sosial dan merusak lingkungan hidup, karena MP3EI menyasaratkan pengambilalihan ruang hidup rakyat demi pertambangan; industri berat; jalan tol; bandara internasional atau fasilitas jasa pertemuan; penginapan; dan wisata. MP3EI menyebut perputaran modal di bidang jasa ini sebagai proyek MICE: Meeting, Incentive, Convention,Exhibition (Yanuardy dkk, 2014). DIY adalah salah satu sasaran MICE, lebih-lebih dengan merk barunya: Jogja Istimewa.
Semenjak UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY (UUK) disahkan, telah terjadi perubahan yang mendasar dalam hal penguasaan tanah di seluruh DIY. Melalui UUK, Kasultanan/Pakualaman menjadi badan hukum khusus sehingga dapat memiliki tanah. Badan hukum ini bernama Badan Hukum Warisan Budaya dan bersifat swasta. Dalam praktiknya, penguasaan tanah di DIY mengarah pada penetapan Kasultanan/Pakualaman sebagai pemilik tunggal (monopoli) dari seluruh tanah di DIY. Upaya monopoli pemilikan tanah itu dilakukan dengan cara menghidupkan kembali Rijksblad No 16 dan No 18 tahun 1918 yang berbunyi: “Sakabehing bumi kang ora ana tanda yektine kadarbe ing liyan mawa wewenang eigendom, dadi bumi kagungane keraton ingsun”, artinya, “semua tanah yang tidak ada bukti kepemilikan menurut hak eigendom (hak milik, menurut UU Agraria 1870), maka tanah itu adalah milik kerajaanku”.
Kedua Rijksblad itu sudah dihapus oleh Sri Sultan HB IX bersama DPRD melalui Perda DIY No 3 Tahun 1984 sebagai pelaksanaan Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 dan Diktum IV UU No 5 Tahun 1960 (UUPA). Bahkan, Pasal 1 Perjanjian Giyanti 1755 menyebutkan bahwa wilayah Mataram Kasultanan Yogyakarta adalah tanah pinjaman dari VOC. Demikian pula, Perjanjian Politik HB IX dengan Belanda 1940 menyatakan bahwa Kasultanan merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda dan karenanya berada di bawah kedaulatan Baginda Ratu Belanda yang diwakili Gubernur Jenderal (Pasal 1); bendera Kasultanan dan penduduk Kasultanan adalah bendera negeri Belanda (Pasal 12).
Tulisan ini hendak menunjukkan (1) bagaimana situasi pertanahan di DIY setelah UUK disahkan? (2) bagaimana dengan hak rakyat atas tanah di DIY? (3) bagaimana cara mempertahankan hak yang dijamin UUPA?
A. Situasi Pertanahan di DIY
Beberapa kebijakan telah dilakukan oleh Pemerintah DIY dengan mengatasnamakan pelaksanaan UUK atau keberadaan tanah milik Kasultanan (Sultanaat Grond/SG) dan tanah milik Pakualaman (Pakualamanaat Grond/PAG), antara lain:
Saat ini dilakukan pendataan dan pendaftaran tanah-tanah negara (tanah yang belum bersertifikat) di seluruh DIY untuk dijadikan milik Kasultanan/Pakualaman sebagai badan hukum swasta menggunakan dana APBN (Dana Istimewa), meliputi hutan; pantai; wedi kengser; dan tanah desa. Bahkan, Kepala Kanwil BPN DIY siap melakukan pemeriksaan kembali asal-usul tanah yang telah menjadi Hak Milik masyarakat menurut Rijksblad No 16 dan No 18 Tahun 1918, jika terbukti pada 1918 sebidang tanah tidak bersertifikat hak milik (eigendom) maka tanah itu akan beralih kepemilikan; dari Hak Milik masyarakat menjadi Hak Milik Kasultanan/Pakualaman (Kedaulatan Rakyat, 2 Oktober 2013, judul: BPN DIY Siap Sertifikat Tanah SG dan PAG).
UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Gubernur DIY No 65 Tahun 2013 mengamanatkan tanah kas desa adalah kekayaan desa yang harus disertifikatkan menjadi hak milik desa sebagai badan hukum. Namun, Gubernur tidak menghendaki tanah desa menjadi milik desa.Sehingga, Gubernur menerbitkan Peraturan Gubernur No 112 Tahun 2014 yang memerintahkan Pemerintah Desa melalui Bupati/Walikota untuk melakukan permohonan balik nama terhadap sertifikat tanah desa yang sudah diterbitkan dari Hak Milik Pemerintah Desa menjadi Hak Milik Badan Hukum Warisan Budaya Kasultanan/Kadipaten (Pakualaman) (Radar Jogja, 23 Januari 2015)
Segera setelah UUK disahkan, Gubernur mengirim surat no 593/4811 (12 Nopember 2012) dan surat no 593/0708 (15 Februari 2013) kepada Kepala BPN DIY, isinya: agar Kepala BPN Kanwil DIY mengendalikan setiap permohonan perpanjangan Hak Pakai, HGB, Peningkatan Hak, serta Pengalihan Hak atas tanah negara yang dikuasai Pemda DIY, perorangan, yayasan, lembaga negara, dan lembaga swasta dan bahwa setiap permohonan harus memperoleh ijin dari Gubernur DIY (Sultan HB X) sebagai bentuk implementasi UUK. Akibat surat ini, seluruh proses administrasi pertanahan dihentikan, baik itu perpanjangan HGB dan Hak Pakai, pengalihan hak (balik nama karena jual beli dan waris), dan peningkatan hak, hingga seluruh Tanah Negara menjadi Hak Milik Kasultanan/Pakualaman.
Dalam Rancangan Perdais Pertanahan, Pengertian Tanah Kasultanan/Kadipaten adalah tanah-tanah yang sejak semula dimiliki dan dikuasai oleh Kasultanan/Kadipaten, disebut sebagai Sultan Grond/Pakualaman Grond yang tunduk pada Rijksblad. SG/PAG termasuk Tanah Keprabon (yang digunakan upacara) dan Tanah Non Keprabon (pantai, hutan, wedi kengser, tanah tanpa alas hak dan dengan hak). Tanah Non Keprabon yang dimiliki atau dimanfaatkan masyarakat akan diperiksa riwayat asal-usulnya: SG/PAG atau hak eigendom (pasal 14), jika terbukti SG/PAG maka kepemilikannya akan beralih kepada Badan Hukum Warisan Budaya Kasultanan/Kadipaten. Kedudukan masyarakat sebagai pemanfaat, bukan pemilik. Peningkatan hak hanya berupa HGB dan Hak Pakai. Sertifikasi terhadap tanah-tanah yang diklaim sebagai SG/PAG sudah berjalan menggunakan APBN (dana istimewa), baik tanah negara (tanpa hak, HGB, Hak Pakai) atau tanah hak milik desa. Raperdais Pertanahan akan disahkan dalam waktu dekat.
Terlepas dari upaya penghidupan kembali Rijksblad 1918, di DIY juga terjadi diskriminasi rasial/etnis dalam hak atas tanah. Instruksi Kepala Daerah No K 898/I/A/1975 menghapuskan kesempatan setiap WNI secara turun-temurun untuk mempunyai hak milik atas tanah karena kewarganegaraannya dikategorikan sebagai WNI NON PRIBUMI. Hak atas tanah dibatasi berdasarkan pertimbangan etnis/ras, bukan kelas sosial atau kekuatan modal. Kebijakan ini dikukuhkan dengan: 1) Surat Pemda Propinsi DIY No 593/00531/RO I/2012 (8 Mei 2012); 2) Surat Gubernur No 430/3703 (15 Nopember 2010); 3) Surat Plt Kepala Kanwil BPN DIY No 287/300-34/BPN/2010; 4) Surat Kepala Kanwil BPN DIY No 640.05/24.99/BPN/2000 (26 Oktober 2000); dan 5) Surat Kepala kantor BPN Kabupaten Bantul No 640/922/2000 (9 Nopember 2000). Terkait diskriminasi rasial/etnis ini telah terbit Surat Rekomendasi KOMNAS HAM No 037/R/Mediasi/ VIII/2014 tertanggal 11 Agustus 2014 yang isinya seruan kepada Gubernur DIY untuk mencabut/menyatakan tidak berlaku lagi Instruksi Kepala Daerah 1975. Rekomendasi ini tidak ditanggapi oleh Gubernur.
B. Hak Rakyat atas Tanah di DIY
UUPA adalah satu-satunya peraturan tentang agraria dan berlaku di NKRI, termasuk di DIY. Sementara, pasal 1 UUK DIY menyatakan bahwa UUK adalah aturan khusus dari UU Pemerintahan Daerah, bukan aturan khusus dari UUPA. UUK tidak berlaku surut ke belakang karena pengakuan atas hak asal-usul yang dimaksud UUK adalah bentuk penghargaan dan penghormatan negara atas pernyataan berintegrasinya Kasultanan dan Kadipaten ke dalam NKRI untuk menjadi bagian wilayah setingkat provinsi dengan status istimewa (Pasal 4 huruf a). Artinya, klaim atas tanah-tanah SG dan PAG tidak mempunyai dasar hukum yang sah, karena SG/PAG termasuk tanah swapraja (feudal) yang sudah dihapuskan oleh Diktum IV UUPA. UUK juga melarang penghidupan kembali feodalisme (Pasal 4) dan penyalahgunaan wewenang oleh Gubernur (Pasal 16). Sehingga, UUPA sebagai aturan khusus dari UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) adalah dasar hukum yang mengatur pertanahan di DIY saat ini. Bahkan, pemberlakuan kembali Rijksblad 1918 (aturan pemerintah kolonial) dalam tata hukum NKRI adalah perbuatan makar. Siapapun yang terlibat dalam perbuatan makar diancam dengan Pasal 106 dan 110 KUHP. SG/PAG sudah dihapuskan oleh HB IX, PA VIII, beserta DPRD melalui Perda DIY No 3 Tahun 1984 yang merupakan pelaksanaan dari Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 dan UUPA.
C. Cara-cara mempertahankan hak atas tanah
a. Masyarakat harus menyadari bahwa dirinya mempunyai Hak atas Tanah dan hak itu dijamin UUPA. Adapun cara memperjuangkan/mempertahankan hak di tingkat perorangan dan kelompok sebagai berikut:
1) Bagi masyarakat yang menempati tanah turun-temurun dan belum memperoleh hak milik tidak perlu mengurus surat ijin (serat kekancingan) ke Panitikismo untuk mendapatkan hak menempati/memanfaatkan baik itu bernama magersari, ngindhung, anggadhuh, dan angganggo. Mengurus magersari dan sebagainya berarti mengakui SG/PAG berdasarkan Rijksblad 1918 yang telah dihapuskan sejak 1984, sehingga masyarakat sama saja kehilangan hak atas tanah. Sebaliknya, masyarakat justru perlu melakukan pendaftaran tanah yang telah ditempatinya turun-temurun tersebut ke BPN agar mempunyai hak milik, bukan sekedar hak pakai/hak guna bangunan. Jika maka menjadi kewajiban pemerintah unutk memberikan hak milik sebagaimana amanat TAP MPR RI No 9 tahun 2001 dan UUPA beserta aturan pelaksanaannya..
2) Bagi masyarakat yang sudah memliki sertifikat hak milik tidak perlu menyerahkan sertifikat hak miliknya kepada tim ajudikasi pertanahan Keraton/Pemerintah Daerah/Pemerintah Desa meskipun alasannya untuk diperbaharui, karena akan status hak milik dapat diubah menjadi hak pakai jika asal-usul tanah yang dimilikinya dianggap sebagai SG/PAG.
3) Bagi masyarakat yang mempunyai Hak Guna Bangunan/Hak Pakai agar memperpanjang haknya dengan status tetap di atas tanah negara atau meningkatkan haknya menjadi hak milik. Apabila terjadi perubahan status dari HGB di atas tanah negara menjadi HGB di atas tanah SG/PAG, maka masyarakat perlu menyadari bahwa itu merupakan pelanggaran hukum.
4) Masyarakat sebagai pemilik sah dari tanah desa (tanah komunal) harus mempertahankan tanah desa tetap menjadi milik desa sebagai badan hukum publik sebagaimana amanat UU Desa, bukan membiarkan tanah desa dikuasai oleh badan hukum swasta.
b. Masyarakat perlu menyebarkan pengetahuan tentang hak atas tanah tersebut kepada masyarakat lainnya, baik yang sudah maupun yang belum menjadi korban pengambilalihan hak. Bahwa: UUPA dan aturan pelaksanaannya tetap berlaku di Indonesia, termasuk DIY.
c. Masyarakat perlu menggalang persatuan dengan sesama korban untuk menempuh upaya hukum dan non hukum agar hak atas tanah yang dijamin UUPA tidak dihilangkan oleh pihak manapun, karena hak atas tanah adalah hak atas ruang hidup.