oleh Lisistrata Lusandiana
Sejarah adalah Hari Ini!
Setelah menutup lembar terakhir buku Nusa Jawa Silang Budaya bagian pertama dengan judul Batas Batas Pembaratan, saya menemukan alasan kenapa Denys Lombard menyajikan kurun peristiwa ini diletakkan di depan sebagai buku pertama. Karena setelah bagian ini, bagian selanjutnya justru mundur ke belakang. Kronologinya seperti dibalik. Sepertinya itu sengaja dilakukan untuk membuat sejarah sedekat mungkin dengan kehidupan kita hari Ini. Dengan cara seperti itu ia seperti menegaskan bahwa sejarah adalah hari ini.
Seperti judulnya, bagian ini menggarisbawahi jejak pembaratan yang sebagian masih membekas, serta sebagian lainnya yang masih berlangsung dalam wajahnya yang beragam hingga hari ini. Sejujurnya, ini kali kedua saya membaca buku ini, setelah yang pertama saya lakukan dengan dorongan mencari data di sekitar politik waktu luang, perjalanan dengan berbagai motif terutama wisata dan nostalgia. Betul, memang cukup lumayan data yang didapat dari pembacaan pertama. Dari pembacaan yang pertama itupun, satu hal bisa diidentifikasi, soal keragaman sumber yang digunakan, dari kisah yang ditorehkan di prasasti hingga brosur-brosur wisata yang nampak remeh-temeh dan digolongkan sebagai ephemera, bukan arsip dalam artian formal.
Di pembacaan kedua ini, ternyata hal-hal yang saya garis bawahi tidak sebatas pada jejak wisata jaman kolonial, namun lebih dari itu, beberapa hal diantaranya yang ingin saya ingat secara khusus akan saya tuangkan di paragraf-paragraf berikut.
Geohistoris sebagai Pendekatan
Sebagai pendekatan dalam menyingkap dan mengungkap data sejarah dari suatu wilayah yang disebut Jawa tidaklah mudah. Kompleksitas dan saling-silang berbagai peristiwa dan kepentingan membuat proses penulisan sebagai urusan pengambilan keputusan dan freezing the moment menjadi kian menantang. Jika alur kisah dan peristiwa yang coba ditelusuri, di bagian-bagian awal kita perlu mengencangkan konsentrasi. Lombard seperti menegaskan bahwa cara yang dipakai ialah to show, alih-alih to tell. Meski tiap bagian dari tulisannya, tidak luput ditutup dengan kesimpulan yang kuat dengan nuansa opini.
Dari geohistoris kita seperti diingatkan bahwa kebudayaan terbentuk dari ribuan lapis peristiwa, persilangan, pertemuan dan perjalanan, yang tidak jarang melibatkan unsur penaklukan dan manipulasi, yang kemudian mengendap dan terlipat. Sejarah juga tidak selalu ditentukan dan digerakkan oleh hal-hal yang sifatnya rasional. Kadang ia digerakkan oleh sekeping takdir geologis. Di sisi lain, pendekatan ini juga mengingatkan kita bahwa ketika membicarakan kebudayaan, maka harus berpijak pada tanah. Kebudayaan tidak semata datang dari kebiasaan kawula elit, ia juga digerakkan oleh kawula alit. Tidak hanya itu, geohistoris juga menebalkan faktor alam sebagai salah salah satu faktor yang menggerakkan kisah demi kisah manusia menyusun jalannya kebudayaan. “Alam takambang jadi guru” menurut pepatah Minangkabau.
Dengan landasan kepercayaan seperti di atas, bab demi bab disusun, mulai dari membahas kondisi alam, bumi dan tanahnya, lalu disusul dengan membincangkan manusia-manusianya. Setelah itu dibahas hal-hal konseptual beserta kompleksitasnya, yang di dalamnya mencakup berbagai bentuk kebudayaan dan estetika.
Sejarah Kelas Menengah
Selain faktor alam dan teknologi yang memungkinkan adanya pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat yang lain, proses pembaratan juga diperluas oleh keberadaan empat kalangan masyarakat, yang kemudian digolongkan sebagai kelas menengah, yakni komunitas-komunitas Kristen, bangsawan, tentara dan akademisi. Kehadiran komunitas Kristen tidak dapat dipisahkan dari masuknya orang-orang Eropa membawa kebudayaannya ke Hindia-Belanda, meski hubungannya tidak sesederhana itu. Kristenisasi juga perjalanannya tidak rata di semua daerah di Indonesia. Yang jelas, masuknya agama Kristen satu periode dengan masuknya orang-orang Eropa ke Indonesia, setelah periode Hindu dan Islam.
Kemudian ada golongan bangsawan, yang sejak zaman kerajaan telah menempatkan posisinya sebagai penghubung antara raja dan rakyatnya. Golongan ini juga tidak homogen. “Golongan itu mempunyai susunan hirarki yang rumit dan sikap setiap jenjang dalam hirarki itu terhadap dunia barat, dari tingkat yang tertinggi hingga terendah, tentu tidak sama.” Dalam beberapa hal, golongan ini juga mengambil keuntungan dari keberadaan pemerintah kolonial. Selain bahwa golongan ini juga dirangkul dan dieropakan secara kultural. Dengan kata lain, golongan yang tidak homogen ini ditaklukkan dengan cara-cara kultural. Dari sinilah, perannya sebagai agen penyebar kebudayaan barat kian menguat. Meski gerakan pembebasan nasional yang tercatat hingga kini dimunculkan oleh beberapa nama yang juga merupakan kaum ningrat, kesan bahwa golongan ini juga oportunis tidak bisa hilang.
Selanjutnya terdapat akademisi dan tentara yang digolongkan oleh Lombard sebagai agen pembawa dan penyebar mentalitas barat. Dua golongan; tentara dan akademisi ini dimasukkan ke dalam satu kategori, karena dilahirkan dari struktur-struktur impor. Di bagian ini, kita mendapatkan catatan sejarah dari dwi-fungsi TNI. Ternyata memang sejak dulu, tentara memiliki peran ganda, di bidang pertahanan keamanan dan bidang politik. Tidak kaget jika sampai hari ini bidang politik banyak diisi oleh tentara. Jika bukan tentara masuk politik, maka kita akan menemui sipil yang bermental tentara (mungkin yang terakhir ini butuh pembahasan di tempat lain..hihihi)
Kehadiran pasukan bersenjata di Indonesia memang tergolong lambat. Itu dikarenakan keengganan pemerintah Hindia mempersenjatai para pribumi. Bahkan inti TNI juga sesungguhnya tidak terdidik secara Eropa. Kesatuan ini terdiri dari kesatuan kecil tentara PETA yang dilatih Jepang sejak 1943. Beda cerita setelah kemerdekaan, angkatan bersenjata kemudian dijadikan lebih homogen dan dididik secara barat lengkap dengan kecakapan administratifnya.
Jika dibahasakan dengan cara lain, salah satu poin yang dimaksud dalam politik etis adalah munculnya kebutuhan tenaga kerja di bidang pemerintahan. Kelompok intelektual memang lahir dari kebutuhan itu. Walaupun kelak, beberapa orang pelopor revolusi nasional yang terpenting juga datang dari kalangan ini.
Di bagian ini juga diceritakan sekelumit sejarah universitas kita, yang memang relatif muda. Penamaan unit-unit dalam universitas ini juga meminjam bahasa latin. Menurut Lombard, universitas mewakili praktik impor yang sempurna, mulai dari impor istilah hingga logika pendidikan tinggi. Tidak heran jika sampai hari ini bisa kuliah di luar negeri masih saja dianggap sebagai prestasi dan pencapaian oleh sebagian besar masyarakat kita, sekalipun para akademisi ilmu sosial-humaniora yang melek dengan kajian poskolonial.
Keberadaan golongan-golongan inilah yang kemudian ditempatkan di setting tahun 1970/80-an bersamaan dengan serangkaian perubahan wajah kota, yang kian metropolis, terbuka pada modal-modal besar dan tergila-gila pada pembangunan fisik. Kelas menengah di konteks urban menjadi bahasan di akhir bab ini, beserta dinamika kelompok kirinya yang juga diisi oleh kelompok kelas menengah.
Dari pembahasan yang dituangkan bab ke bab, kita semakin diingatkan bahwa penjajahan membawa kerugian luar biasa, kerugian nyawa dan harta, juga meninggalkan kompleksitas budaya, inferioritas budaya yang tidak jarang hadir dengan wajah yang tulus.
Sekilas tentang Tradisi Dokumentasi
“Karena tidak mengenal lagi pengertian pusaka, orang Eropa, terutama sejak awal abad ke-19, memasukkan konsepsi mereka sendiri mengenai benda budaya, atas dasar pertimbangan usia, ditambah kriteria kehalusan. Maka orang Belanda mengirimkan koleksi arca Indonesia yang pertama ke Eropa, dan pada saat yang sama memperkenalkan pengertian museum di Hindia. Sejak abad ke-17, kapak perunggu dari zaman protosejarah dipajang di Ruang Benda Langka (Rariteitkamer) di Museum Rumphius di Ambon, dan pada tahun 1733 Coyett telah memboyong beberapa arca dari Jawa Tengah yang dipajangnya di kediamannya di Batavia. Namun yang terpenting adalah usaha Bataviaasch Genootschap, yang didirikan pada tahun 1778, dan segera mulai mengumpulkan koleksi arkeologis, mata uang dan naskah. Setelah diperkaya selama abad ke-19 dan ke-20, dan ditambah dengan ruang etnografi, berbagai koleksi itu kini merupakan khazanah Museum Nasional Jakarta, museum yang terkaya di seluruh Asia Tenggara. Pada tahun 1901, dibentuk sebuah Dinas Arkeologi yang menangani kajian dan pemugaran candi-candi di Jawa, dan memupuk minat akan arca-arca dan benda perunggu dari zaman dahulu kala. Akhirnya, setelah Perang Dunia I, gerakan permuseuman dimulai kembali secara sistematis, dan dalam beberapa tahun dapat disaksikan berdirinya serangkaian museum daerah di berbagai provinsi: Sonobudoyo di Yogya, Radyopustoko di Surakarta, Museum Denpasar di Bali, Museum Kota Raja Pematang Siantar, Bukittinggi, dan Palembang di Sumatra, Museum Makassar di Sulsel, dsb.” (Nusa Jawa hlmn 212-213).
Kemunculan lembaga-lembaga pelestari seperti yang kini kita kenal sebagai museum itu, menurut Lombard, sesungguhnya jalannya bertentangan dengan sikap-sikap kuno. Lombard menulis “Lembaga pelestari ‘tak bernama’ itu, yang menyimpan benda-benda tanpa pemilik dan memamerkannya ke mata sembarang orang, hanya memuaskan kelompok kecil yang tersentuh oleh gagasan-gagasan baru. Sekilas memang museum disebut sebagai sistem impor, yang membawa prosedur penataan kronologis dan estetik pengetahuan barat. Jika memang demikian yang terjadi hingga kini, tidak heran kalau obrolan di sekitar museum dan upaya pelestarian sering diisi keluhan dan diskusi sepi. Barangkali memang kita perlu menyentuh landasan dasar praktik-praktik pelestarian. Sudahkah dilandasi dengan semangat yang berpijak di atas bumi yang merdeka?
CAPTION FOTO:
Foto disalin dari koleksi milik Candra Wahyu Jatmiko, Tjahya Arum Education and Tour Management, yang ditampilkan melalui: https://tjahyaarum.wordpress.com/2020/02/05/ziarah-c-l-coolen/
Dengan menampilkan foto di atas, catatan baca ini ingin menggarisbawahi seorang tokoh bernama Coenrad Laurens Coolen. Ia adalah sosok yang ada di balik keberadaan Komunitas Kristen pertama di Jawa Timur, yakni di Desa Ngoro. Di desa ini pula, kemudian Coolen menetap dan dikubur. Coolen dikenal sebagai penyebar Kristen Kejawen yang mampu menggabungkan dua nilai, kekristenan dan nilai-nilai setempat, yang bisa ia praktikkan dalam hidup sehari-hari, seperti praktik ritual jelang bercocok tanam dan ritual syukur pasca panen. Ia mendekatkan Kristen agar lebih berpijak pada tanah. Nampaknya metode tersebut lahir dari latar belakangnya yang juga seorang ahli gambar dan kartograf. Semoga kelak kita juga bisa menemukan karya-karya dari Coenrad Laurens Coolen, yang memiliki kegemaran untuk jalan-jalan dan ‘blusukan’ ini.