Kampung Dipowinatan
3 Desember 2020
Kampung Dipowinatan
3 Desember 2020
Suasana sekitar kampung yang mulanya dingin sehabis diguyur hujan, menjadi hangat karena teriknya lampu sorot dan warga yang mulai berduyun-duyun kumpul di sebuah rumah. Mereka saling berbincang tentang kenangan di setiap dindingnya yang lebih tua dari usia para penghuni kampung itu.
Adalah Dipowinatan, sebuah kampung di tengah kota Yogyakarta yang padat. Kehidupan warganya yang dinamis menggulung kisah-kisah dengan cepat dan menggantinya dengan kisah yang baru. Paling tidak, itulah yang tersingkap dari gerakan-gerakan yang khusyuk dimainkan oleh Kinanti Sekar Rahina.
Rumah dan kampung itu menjadi situs penting bagi kehidupan perempuan kelahiran 26 Juli 1989 ini. Sebab itulah, tarian Sekar seolah berdialog dengan setiap ruang dan dinding yang ada di rumah itu. Walaupun terlihat lapuk tak berpenghuni dan nyaris roboh, rumah itu memiliki nilai mendalam bagi penari Sekar. Dalam tariannya, Sekar seperti mengalami sebuah pertemuan dengan dirinya di masa lalu, di mana rumah tersebut menyimpan serpihan kenangan masa kecil putri dari pasangan Jemek Supardi dan Threeda Maiyaranti ini.
Tuturan kisah Suwarno Wisetrotomo tentang pengalamannya ketika tinggal di rumah itu mengiringi sepanjang tarian, menambah energi Sekar untuk terus menari selama kurang lebih 15 menit. Tak jarang, pipi Sekar basah oleh air matanya. Rumah itu menunjukkan posisinya sebagai sebuah bangunan yang beralih menjadi arsip yang memuat memori kolektif mengenai sebuah peristiwa.
“Saya sangat bersemangat ikut ke dalam produksi kali ini. Rumah Pak Warno ini banyak menyimpan kenangan masa kecil saya. Dulu, pas SD, aku ingat pernah melakukan pentas di sini. Pokoknya saya merasa sedang pulang dan bertemu diri saya dari masa lalu,” ujar Sekar pada Kamis sore yang basah (02/12), mempertegas judul karya tarinya, “Berangkat Pulang”.
Selaku penanggung jawab produksi, Febrian Hasibuan menyatakan bahwa pertunjukan ini berusaha mengangkat praktik-praktik pengarsipan yang berbasis masyarakat melalui benda-benda yang kerap terpinggirkan dalam dunia kearsipan formal.
“Alasan kami mengajak Sekar dalam produksi kali ini adalah kami berusaha menunjukan bagaimana praktik-praktik pengarsipan beserta aktivasinya tidak harus selalu dikaitkan dengan arsip formal seperti dokumen atau surat,” kata pria berambut pirang itu.
Pertunjukan tari Sekar di rumah tersebut dapat disaksikan di Festival Arsip yang akan diselenggarakan pada 16-22 Desember 2020 di Gedung BPNB D.I. Yogyakarta. Acara ini merupakan rangkaian dari perayaan IVAA yang ke-25 Tahun dengan mengangkat tema “Ephemera”. Tema ini berusaha menghadirkan praktik-praktik pengarsipan warga di kampung Dipowinatan, kelurahan Keparakan, Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta. (Bian)