7 April 2015
7 April 2015
Disalin dari : Ginanjar Julian Azizi
Hukum Tanah Swapraja adalah keseluruhan peraturan tentang pertanahan yang khusus berlaku di daerah swapraja, seperti Kesultanan Yogyakarta. Hukum Tanah Swapraja ini pada dasarnya adalah hukum tanah adat yang diciptakan oleh Pemerintah Swapraja dan sebagian diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Landasan hukumnya adalah antara lain Koninlijk Besluit yang diundangkan dalam Staatsblad No. 474 tahun 1915 yang intinya memberi wewenang pada penguasa swapraja untuk memberikan tanahnya dengan hak-hak barat serta Rijksblad Kesultanan 1918 No.16 jo 1925 No.23, serta Rijksblad 1918 No.18 jo Rijksblad 1925 No.25 dimana hak milik atas tanah tidak diberikan kepada warga negara Indonesia non-pribumi. Jadi hanya orang pribumi saja yang dapat diberikan.
DI Yogyakarta, Sultan merupakan pemilik tanah yang merupakan tanah Keraton. Rakyat hanya punya hak sewa atau hak pakai dan biasa disebut magersari. Jika Sultan menghendaki, sewaktu-waktu ia dapat mencabutnya kembali. Menurut sejarahnya, hukum tanah diatur bersama-sama, baik dengan tanah kas desa, tanah penduduk, maupun tanah Keraton itu sendiri.
Tanah kas desa di DIY merupakan pemberian dari pihak Keraton Yogyakarta. Karenanya, berbagai permasalahan yang berkaitan dengan tanah kas desa dapat diselesaikan dengan cara musyawarah sehingga pemanfaatan tanah tersebut dapat dilakukan secara optimal. Sedangkan Tanah Keraton adalah tanah yang belum diberikan haknya kepada penduduk maupun kepada pemerintah desa, masih merupakan milik Keraton sehingga siapapun yang akan menggunakannya harus meminta ijin kepada pihak Keraton.
Di DIY pada awalnya tidak pernah ada tanah negara pada. Semua tanah negara di DIY adalah tanah Sultanat, yang sejak kemerdekaan diberikan kepada pemerintah daerah. Selain itu, ada tanah milik Keraton Yogyakarta (Sultan Ground), dan tanah milik Puro Paku Alam (Paku Alam Ground), yang sebagian saat ini digunakan oleh masyarakat untuk bermukim atau berbudidaya dengan kekancing atau sertifikat hak pakai dari Keraton dan Puro, tetapi bukan hak milik. Karena bersifat istimewa, pertanahan DIY dengan demikian seharusnya juga tidak cukup diatur dengan UUPA, melainkan harus dijabarkan dalam Peraturan Daerah (Perda).
Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan bahwa status tanah Sultan Ground dan Paku Alam Ground adalah tanah ulayat (Tanah Adat) dan tidak dijamin oleh UUPA, sampai sekarang status kepemilikannya dibuktikan surat yang dikeluarkan keraton, oleh karena itu pemerintah pusat harus memperjelas kepastian hukum status tanah milik keraton dan Paku Alam melalui sebuah Undang-Undang.
Terdapat pembabakan pengaturan pertanahan di DIY menurut kronologi sejarah yang intinya adalah sebagai berikut:
Berlangsung hingga tahun 1918, yakni saat dimulainya reorganisasi keagrariaan. Pada masa kabekelan/apanage ini berlaku asas bahwa tanah adalah milik raja; sebagian diantaranya diberikan kepada kerabat dan pejabat keraton sebagai tanah lungguh, sedang rakyat hanya mempunyai wewenang anggadhuh (meminjam). Dalam hal ini rakyat tidak memiliki hak hukum atas sebidang tanah, tetapi hanya sekedar menggarapnya. Oleh karenanya zaman ini meru¬pakan zaman penderitaan bagi rakyat kecil, dimana selain diharuskan menyerahkan sebagian hasil tanamnya, rakyat masih diwajibkan bekerja di perusahaan-perusa¬haan pertanian.
Ditandai dengan dilaksanakannya perubahan dalam sistem pemilikan tanah tahun 1918 hingga tahun 1950-an, pada masa ini raja melepaskan hak-haknya atas sebagian terbesar dari tanah yang termasuk wilayahnya, yang kemudian menjadi hak milik pribumi anggota masyarakat desa, dan diadakannya pembagian baru dari persil-persil tanah untuk penduduk desa. Peraturan perundangan yang mengatur tentang proses perubahan sistem pemilikan tanah ini adalah Rijksblad Kasultanan 1918 No. 16 tanggal 8 Agustus 1918, yang beberapa pasalnya berbunyi sebagai berikut:
Sehubungan dengan perkembangan keadaan, maka beberapa ketentuan dalam Perda No. 12 Tahun 1954 ini diubah dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. 184/KPTS/1980. Satu masalah lagi yang perlu dijelaskan dalam periode ketiga ini adalah mengenai peralihan hak andarbe dari kalurahan dan hak pakai turun temurun atas tanah sebagaimana diatur dalam Rijksblad Kasultanan 1918 No. 16, menjadi hak milik perseorangan turun temurun atas tanah sebagaimana diatur dalam Perda No. 5 Tahun 1954. Menurut Perda No. 10 Tahun 1954, peralihan hak seperti ini dilaksa¬nakan oleh pamong kalurahan bersama DPR kalurahan. Apabila peralihan tersebut mengandung suatu perkara, maka dilaksanakan oleh DPR Kalurahan, Ketua, Wakil Ketua, Penulis Majelis Desa dan pamong kalurahan dengan mendengarkan keterangan lisan atau tertulis dari pihak-pihak yang bersangkutan. Dari pasal-pasal yang terdapat pada Peraturan Daerah-Peraturan Daerah di atas dapat difahami bahwa desa mempunyai wewenang yang besar dalam masalah pertanahan, termasuk peralihan hak atas tanah. Dengan demikian dapat dimengerti mengapa sampai dengan tahun 1984 Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di wilayah DIY bisa dikatakan tidak berfungsi.
Terlihat bahwa ada Dualisme penerapan hukum tanah di DIY telah berlangsung sejak diterbitkannya UU No.5/1960 (UUPA) yang mengatur secara detail mengenai ketentuan hukum agraria secara nasional. Bagi Yogyakarta, UU tersebut awalnya harus dikecualikan dan penerapannya baru berjalan sekitar 24 tahun yang lalu. Namun hingga kini Yogyakarta masih memberlakukan Rijksblad Kesultanan 1918 No.16 jo 1925 No.23, serta Rijksblad 1918 No.18 jo Rijksblad 1925 No.25 dimana hak milik atas tanah tidak diberikan kepada warga negara Indonesia non-pribumi. Dualisme pemberlakuan hukum tanah di Yogyakarta memang bisa dianggap hak istimewa Yogyakarta. Namun bila keistimewaan dapat mengalahkan kewenangan hukum maka hal itu merupakan persoalan serius bagi negara ini.