Oleh: Tiatira Saputri
Akhir-akhir ini saya melihat ada beberapa pameran seni rupa kelompok yang diselenggarakan di Yogyakarta berangkat dengan latar Bali. Di bulan Oktober dan Desember tahun lalu ada Pameran “Benang Merah” yang diselenggarakan di Bentara Budaya Yogyakarta dan “Contemporary Art from Bali” di Langeng Art Foundation. Lalu di bulan Februari tahun ini ada Pameran “Arus Bawah” di Jogja Contemporary. Kenapa ya? Kenapa pameran-pameran tersebut menggunakan “Bali” sebagai latar pameran kelompok? Apakah karena peserta pameran kelompok itu perupa Bali? Tapi bagaimana parameter perupa Bali itu? Bagaimana selama ini kita (yang berada di Yogyakarta) mengenali perupa Bali? Jadi apa sebenarnya Bali itu?
Bicara mengenai Bali, ada dua cerita yang menarik untuk direfleksikan. Pertama cerita dari Nyoman S. Pendit pada tulisan berjudul “Menuju Kampung Halaman”. Di situ dia bercerita tentang pejalanannya dari Jakarta menuju ke Bali sekitar tahun 1970-an. Sepanjang perjalanan dia mengamati perubahan yang terjadi di sekitarnya selama beberapa tahun terakhir. Seperti tentang transportasi Mutiara (dari kereta sampai bus) yang ia tumpangi, tentang perempuan Surabaya yang berdandan menor, merokok, dan berkelakar tanpa perduli orang-orang di sekitarnya. Dan di saat bersamaan Nyoman meresahkan upacara mesesegeh untuknya. Lalu kembali dia memperhatikan perubahan (kali ini kotanya sendiri) Tabanan dengan hadirnya bank, kantor PU, dan PLN. Sampai-sampai dia tidak sadar bahwa kopernya tertukar saat turun dari bus. Tapi sedikit pun dia tidak merasa khawatir karena dia tahu barang-barangnya akan aman walaupun dia tidak tahu bagaimana caranya untuk mendapatkan kopernya kembali. Itu karena dia meyakini masyarakat Bali tidak ada yang punya pikiran licik untuk mencuri atau merampok. Rasa amannya itu memang terbukti benar, dengan dibantu pemuda Bali di sekitarnya, ia mendapatkan kopernya kembali. Dan upacara mesesegeh, upacara penyucian untuk orang yang sudah lama pergi dari rumah atau baru saja tertimpa musibah itu tetap diselenggarakan walaupun tengah malam. Cerita itu sederhana dan hanya mendeskripsikan apa yang Nyoman lihat serta rasakan saat itu. Tapi yang ia bagikan menggambarkan bagaimana pembangunan dan kehidupan modern di Jawa mengubah laku masyarakatnya sementara di Bali, pembangunan juga tampak dan mengubah tampilan fisiknya, tapi tidak dengan tradisi di Bali. Tradisi itulah yang membuat Nyoman S. Pendit bisa membedakan Jawa dengan Bali. Oleh sebab itu Bali bukan hanya dlihat sebagai rumah atau tempat asal untuk Nyoman S. Pendit, tapi juga tradisi.
Cerita yang lainnya lagi dari Miguel Covarrubias pada tulisannya “Manusia dan Seniman”. Pada tahun 1930-an Covarrubias mengamati adanya fenomena patung a la Brancusi (patung berbentuk cacing berdiri tegak). Dalam beberapa minggu patung dengan model serupa banyak diproduksi setelah model aslinya muncul. Yang ingin ditekankan disini adalah bagaimana budaya masyarakat Bali yang komunal itu mempengaruhi iklim berkeseniannya. Karya tidak dilihat dari autentisitasnya, tapi lebih kepada teknik dan keterampilannya. Dikuatkan dengan ceritanya tentang seorang teman ketika dipameri patung dengan pahatan indah, ia kemudian mengomentari kesalahan pada lekukan rambutnya. Ini dikarenakan patung serupa diproduksi bersamaan di satu tempat yang sama. Sebenarnya orang Bali memiliki kebebasan dalam bereksplorasi, namun semuanya itu harus sesuai dengan ketentuan lokal. Seperti misalnya watak dalam karakter pewayangan bukan berdasarkan ciri fisiknya tapi berdasarkan kostum yang menyimpan simbol-simbol ajaran Hindu-Bali. Seperti kesatria sebagai penjaga keseimbangan harus menggunakan pakaian dalam poleng (motif hitam putih papan catur sebagai simbol keseimbangan). Dan karena karya-karya lekat dengan ajaran Hindu-Bali, sulit untuk seseorang yang berada di Bali melihat sesuatu yang khas. Tapi ketika kita berada di luar Bali, karya-karya tersebut menjadi corak yang khas Bali. Dari situ saya memahami bagaimana Bali bisa juga dipahami sebagai corak.
Lalu apakah daerah asal, tradisi, maupun corak inilah yang digunakan untuk mengidentifikasi? Bagaimana identifikasi ini berlangsung di Yogyakarta? Bagaimana seni rupa Bali diwacanakan di Yogyakarta?
Bicara mengenai perupa Bali di Yogyakarta, saya langsung teringat Sanggar Dewata Indonesia (SDI). Sanggar ini adalah sanggar pertama yang mewadahi perupa dari daerah Bali yang sedang atau selesai belajar di ISI Yogyakarta sejak tahun 1970-an. Itu artinya Sanggar Dewata sudah merekam dinamika perupa Bali dari generasi ke generasi selama lebih dari 40 tahun. Jadi saya pikir relevan jika saya mencoba membaca bagaimana identifikasi perupa Bali ini melalui jejak SDI. Kemudian dari membaca tulisan I Made Bakti Wiyasa berjudul “43 Tahun Sanggar Dewata Indonesia Menembus Batas”, saya menemukan satu kata kunci. Bahwa perupa Bali yang berada di Yogyakarta adalah orang Bali yang secara geografis terlepas dari Bali. Ini mengarah pada beberapa hal. Pertama, perupa terlepas secara geografis artinya terlepas dari kehidupan berbanjar. Semangat berkelompok yang membentuk iklim berkesenian dan ekspresi karya homogen, tidak dirasakan oleh perupa Bali ketika di Yogyakarta. Dalam perkuliahan mereka justru belajar mengenai autentisitas. Kondisi berjarak memberi kesempatan pada perupa perantau untuk menilik kembali hal-hal yang selama ini disepakati dalam kelompok. Hal serupa terbaca pada cerita I Wayan Upadana mengenai karyanya saat kami wawancarai. Barong dalam bathup (yang kita tidak tahu dia adalah coklat meleleh atau sedang berendam coklat) pada karya berjudul “Euphoria Globalisasi” berangkat dari pertanyaan Upadana mengenai kesakralan sebuah benda. Banyak sekali benda yang menjadi simbol-simbol kepercayaan masyarakat Hindu-Bali disakralkan. Padahal benda-benda ini buatan manusia. Dari situ ia mencoba merubah sakral menjadi hal yang lebih profan. Mengajak, bukan saja masyarakat Bali tapi juga pada kita untuk merenungi kembali makna sakral itu sendiri. Contoh yang lain lagi, bisa kita lihat pada generasi pertama Sanggar Dewata, seperti misalnya I Wayan Sika. Dengan gaya abstrak dia bukan saja berusaha untuk melepaskan diri dari corak-corak yang selama ini disepakati sebagai kekhasan kelompok seperti gaya lukis Ubud, Batuan, dsb. Tapi juga berusaha merombak citraan yang selama ini menjadi simbol-simbol kepercayaan. Seperti misalnya bagaimana Wayan Sika merubah apa yang selama ini kita bayangkan mengenai poleng dengan goresan-goresan hitam putih yang spontan dan abstrak. Sehingga kalau kita lihat, berjarak dengan kelompok juga memberi ruang pada perupa Bali untuk berjarak dengan ritual. Dengan berjarak ini memunculkan upaya-upaya untuk membongkar simbol-simbol dalam kepercayaan Hindu-Bali yang selama ini menjadi pakem.
Kedua, kondisi terlepas secara geografis dari Bali mendorong mereka untuk membangun semangat membanjar di dalam tubuh Sanggar Dewata. Semangat berkelompok menumbuhkan eksplorasi yang cenderung homogen. Banyak perupa memilih melanjutkan eksplorasi atau keberhasilan generasi terdahulu. Mungkin ini juga alasan mengapa pada periode 90-an terjadi boom lukisan abstrak ekspresionis pada perupa Bali. Karena seperti yang dibicarakan Jean Couteau bahwa sebenarnya abstrak ekspresionisme yang diangkat oleh perupa Bali bukanlah sebuah abstraksi yang diperkenalkan oleh Jackson Pollock:
Sesungguhnya yang tampaknya dicari oleh pelukis muda ini bukanlah “abstraksi” tetapi suatu cara untuk meneruskan simbolisme tanpa kekangan pola-pola yang membayangi tradisi mereka dan tanpa formalisme “surrealism” yang menghantui Surrealisme Yogya. Kita jauh dari American Abstrack Expressionism. (Couteau: 1997)
Hal yang juga menarik pada periode 90-an adalah bahwa SDI terbuka untuk perupa yang bukan datang dari Bali, seperti misalnya Eddi Hara, Heri Dono, dan Ivan Sagito. Karya-karya yang dihasilkan seniman-seniman tersebut bersama SDI memperluas perspektif mengenai seni rupa Bali di Yogyakarta. Seni rupa Bali bukan hanya mengenai karya yang diciptakan oleh perupa dari Bali, tapi juga oleh perupa yang mengangkat Bali sebagai konten karyanya. Tapi apakah konten Bali ini sesuatu yang tetap hingga bisa dijadikan parameter bahwa sebuah karya berkonten Bali? Saya bertanya demikian karena teringat pada perbincangan antara Sita Magfira dengan perupa-perupa yang terlibat dalam pameran “Arus Bawah”. Mereka bercerita bahwa sekarang sesajen bisa saja berupa beer atau jus dalam kemasan. Perubahan material sesajen ini menjadi penanda bahwa budaya ‘siap saji’ merubah ritual masyarakat Hindu-Bali. Dan kita sendiri pun mengenal akulturasi budaya. Segala sesuatu yang diciptakan oleh manusia, nantinya pun akan mengalami perubahan oleh pengaruh manusia juga. Akulturasi yang spesifik terjadi pada seni-budaya Bali juga sudah dibahas oleh Mikke Susanto melalui pendekatan hibriditas pada pengantar kuratorial pameran “Bali Art Now: Hibridity” (2008). Disitu dipaparkan bagaimana seni rupa Bali sejak awal, bahkan sejak dikenal sebagai seni lukis Bali klasik, ia merupakan perkembangan dari percampuran budaya Hindu-Buddis (Majapahit, Cina dan Asia Tenggara). Jadi kalau kebudayaan berubah dan dari sana identitas tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang tetap, bagaimana kita bisa memastikan bahwa sebuah kegiatan dilatari identitas? Pun jika tidak, lalu ‘Bali’ pada kegiatan yang akhir-akhir ini berlangsung dilihat sebagai apa? Mengapa marak sekali perhelatan seni berlatar ‘Bali’?
Kebetulan Bali akhir-akhir ini marak ditampilkan, makannya kemudian Bali menjadi satu contoh pembahasan. Karena sebenarnya pertanyaan ini berlaku juga untuk kegiatan seni yang dilatari identitas etnis apapun. Mengapa kemudian Bali, Minang, Jawa atau identitas etnis yang lainnya itu digunakan sebagai latar sebuah perhelatan seni? Apakah ia diselenggarakan hanya untuk memfasilitasi semangat solidaritas yang terbangun dalam sebuah kelompok, yang kebetulan berada di Yogyakarta? Jika demikian, lalu apakah yang bisa dipelajari oleh publik dari semangat kelompok ini hingga ia ditampilkan dalam bentuk pameran?
Saya teringat wawancara kami dengan I Gede Arya Sucitra. Dikatakan bahwa untuk masyarakat Hindu-Bali, mereka punya tradisi ngayah. Dimana kesenian merupakan bagian dari ibadah, dilakukan dengan tulus sebagai persembahan kepada Pura dan Puri. Sehigga aktualisasi manusia dalam imannya selesai ketika karya itu selesai dikerjakan. Sementara dalam seni rupa aktualisasi tidak cukup hanya dengan membuat karya. Hasil cipta ini harus bertemu dengan publik untuk mencapai aktualisasi sepenuhnya. Tapi tentu saja aktualisasi ini tidak berhenti hanya pada eksistensi. Dalam artian ketika publik mengetahui karya itu ada, maka perupa itu pun ada. Tapi lebih kepada pengetahuan yang dibagikan kepada publik dalam bentuk estetik inilah yang menjadikan perupa itu ada. Sebagai contoh, kebijakan laku manusia terhadap lingkungan dalam konsep desa-kala-patra hanya bisa kita rasakan dari refleksi perupa Bali dalam karyanya. Dan di saat itu lah kita menyadari kehadiran perupa atas apa yang ia bagikan kepada kita.
Oleh sebab itu saya berpikir tentang seberapa jauh agen-agen kesenian bisa berperan. Apakah sebuah perhelatan seni berlatarkan identitas etnis ini akan dihidupkan sebagai ladang pengetahuan atau tidak? Karena dari situ bukan hanya kehidupan perupa yang akan terpengaruhi, tapi juga bagaimana publik memahami apa itu seni, apalagi seni rupa Bali.
Artikel ini merupakan rubrik Baca Arsip dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Januari-Februari 2017.