Rumah IVAA
16 Februari - 20 Maret 2017
Rumah IVAA
16 Februari - 20 Maret 2017
Sudut Perpustakaan IVAA kini menjadi ruang kecil untuk Archive Showcase. Di tempat ini kami menyediakan sebuah komputer berisi dokumentasi foto, video, makalah & kliping digital, sepilihan katalog & buku, serta poster yang terbuka aksesnya bagi pengunjung untuk sejenak menelusuri koleksi tsb. Archive Showcase ini serupa miniatur pameran arsip karena ini merupakan hasil kurasi kami terhadap dokumentasi IVAA dalam bingkai tema tertentu yang secara rutin kami ganti. Penentuan tema Archive Showcase biasanya tersulut oleh gejala yang baru tumbuh di kancah seni rupa dan kebudayaan pada umumnya; yang kemudian menggelitik kami untuk menggalinya lebih dalam melalui bukti-bukti yang ada di penyimpanan arsip IVAA. Sejak akhir tahun 2016 kami mengamati bermunculannya pelbagai pameran yang diselenggarakan oleh para perupa asal Bali, bahkan pameran yang mengusung tajuk yang mengedepankan “Bali”. Selain menjadi tema Archive Showcase kali ini, lebih lanjut tema seni dan Bali ini juga kami rangkai dengan diskusi publik pada 16 & 17 Februari lalu, serta disusul dengan terbitnya Buletin Dwi Bulanan Edisi Jan-Feb 2017.
Archive Showcase
Melihat Identitas Etnis dalam Seni Rupa
“Seperti berdiri di antara …, apa?”
16 Februari – 20 Maret 2017
di Rumah IVAA
Pengantar oleh: Tiatira Saputri
Akhir-akhir ini beberapa pameran diselenggarakan dengan latar ‘Kebalian’. Lalu saya sendiri bertanya, kenapa ya? Tapi kemudian saya berpikir ulang. Karena pertanyaan ‘kenapa’ ini mengarah pada kondisi di mana saya (mungkin juga publik) merasa seakan berdiri di antara ‘Bali’ dan ‘bukan Bali’. Ini bisa juga terjadi pada pameran berlatar identitas etnis lainnya. Lalu jika menggunakan identitas etnis dalam seni rupa beresiko mengkotak-kotakan, maka pertanyaannya, mengapa ia dihadirkan? Tapi apakah identitas etnis ini benar-benar hadir? Dari sini saya mencoba melihat apa yang dibicarakan oleh seni rupa mengenai identitas etnis. Apakah identitas etnis ini dalam seni rupa melulu dihadirkan oleh sekelompok perupa dari daerah yang sama? Saya berkata demikian karena melihat kecenderungan pameran berlatar identitas etnis berasal dari kelompok-kelompok dengan semangat kedaerahan. Seperti Sanggar Dewata Indonesia (SDI), Kelompok Seni Rupa Jendela, Sanggar Sakato, Sanggar Bidar Sriwijaya, Pasuruhan, dsb. Lalu apa yang dibicarakan pameran kelompok etnis ini mengenai identitas?
Ada yang bicara mengenai eksekusi obyek berdasar pada laku yang selama ini dijalankan. Seperti pengantar kuratorial Enin Supriyanto pada pameran “Cilukba!” Jendela (2007). Ia mengatakan bahwa alusi, moda komunikasi masyarakat Minang dalam bentuk kiasan mempengaruhi cara perupa Jendela (Yunizar, Handiwirman, Yusra Martunus, Jumaldi Alfi, dan Rudi Mantofani) dalam memaparkan obyeknya. Atau sebaliknya, karakter visual ini ditampilkan dari pemberontakan terhadap tradisi yang sudah mapan. Seperti yang saya dapati pada tulisan Suwarno Wisetrotomo untuk pameran “Sebelas Pelukis” SDI (1996). Bahwa gaya abstrak ekspresionis perupa Bali merupakan upaya untuk menerobos tradisi melukis dengan teknik tinggi seperti gaya Ubud, dsb. Ada pula yang berbicara mengenai filosofi melalui tema karya atau pameran. Seperti misalnya konsep BAKABA (berkabar) kelompok Sakato. Berdasar dari kaba (kabar), tradisi berkabar masyarakat Minang melalui musik, gerak tubuh, gestur, pakaian, dsb. Atau konsep makro-mikro kosmos yang tersirat pada tema-tema ekologi karya perupa-perupa Bali.
Tapi apakah identitas etnis dalam seni rupa selalu berkaitan dengan nilai lokal atau tradisi perupa dari daerah atau kelompok yang bersangkutan? Kita mengetahui bahwa di tahun 1990-an Sanggar Dewata Indonesia membuka diri untuk perupa yang tidak berasal dari Bali, begitu juga dengan Sanggar Sakato. Dialog dengan perupa dari berbagai latar belakang disadari sebagai upaya untuk berkembang. Sehingga saya rasa hari ini kurang tepat jika melihat identitas etnis dalam seni rupa sebagai gerakan primordialis. Contohnya, sekarang Kebalian pun hadir pada karya-karya perupa yang tidak punya hubungan kesejarahan atau bahkan darah dengan keturunan Bali. Itu artinya dalam seni rupa ada lebih banyak keleluasaan untuk siapa dan bagaimana merepresentasikan identitas etnis. Oleh sebab itu pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan seni berlatar identitas etnis selalu layak untuk diajukan kembali. Saya pikir kondisi demikian menjadi celah subur bagi produksi pengetahuan. Dan berangkat dari situ kami mulai mengumpulkan arsip serta pustaka yang berkaitan dengan identitas etnis dalam seni rupa.
Artikel ini merupakan rubrik Agenda RumahIVAA dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Januari-Februari 2017.