Baledata telah menunjukkan bahwa warga adalah subjek aktif produksi pengetahuan, dan berbagai narasi kecil yang hidup di sekitar sangatlah layak untuk dirayakan!
***
Perkenalan kami singkat. Sesingkat sebuah pesan yang mengajakku untuk diskusi soal pengarsipan budaya, yang tanpa pikir panjang, langsung kusepakati. Tidak banyak babibu dan briefing ini itu. Diskusi daring berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Percakapan mengalir seiring dengan pokok bahasan yang ditawarkan. Seketika ruang zoom ditutup, dalam hati berkata, sepertinya ini undangan untuk ke Lombok, mengenal secara langsung teman-teman Pasir Putih sambil mengapresiasi museum audio-visual dengan tajuk ‘Hikayat Pengarsipan’.
Dari kota kediaman, Jogja, kereta menuju ke arah timur. Singgah beberapa hari di Surabaya, Banyuwangi dan kembali lagi ke Surabaya. Perjalanan ke Lombok berangkat dari situ.
Harus diakui, bepergian di kala pandemi adalah sebuah privilege. Sebuah kesempatan yang tidak semua orang miliki. Sebuah peluang yang tidak semua orang mau tempuh, mengingat resiko perjalanan di tengah pandemi, serta keribetan administrasi dan kerelaan untuk di tes swab berkali-kali.
Singkat cerita, setelah beristirahat dari beberapa pertemuan daring dan perjalanan, di suatu siang yang cerah, kuputuskan untuk sewa motor menuju kecamatan Pemenang, Lombok Utara. Setelah sekitar 45 menit berkendara, menyusuri pinggir pantai Senggigi, tibalah di sebuah masjid megah bernama Masjid Jami’ Nurul Hikmah, di situlah Hikayat Pengarsipan digelar.
Hikayat Pengarsipan merupakan program dari Baledata, satu divisi kerja Yayasan Pasir Putih yang fokus pada kerja pengarsipan. Diambil dari Bale Beleq, yang secara harfiah berarti rumah besar, namun keberadaannya secara fisik tidaklah besar. Yang besar adalah nilainya. Di Bale Beleq ini, warga menyimpan benda-benda peninggalan leluhur. Sehingga, meski secara fisik tidak besar, kehadiran Bale Beleq ini telah menunjukkan kebiasaan mengarsip, mengawetkan nilai dan pengetahuan leluhur yang telah dipraktikkan oleh masyarakat Sasak, Lombok Utara. Setiap Bale Beleq dijaga oleh Pemekel (mangku). Mangku inilah yang bekerja layaknya arsiparis, sosok yang bertanggungjawab untuk merawat, baik keberadaan fisik bale beleq serta menjaga mekanisme akses pengetahuannya, yang terdiri dari ritual dan laku kultural yang telah disepakati bersama. Ritual adat yang berjalan untuk menghormati pengetahuan leluhur ini tidak begitu saja berjalan terus dan lancar jaya. Sebagai bagian dari elemen masyarakat, ritual adat berdinamika dengan ritual keagamaan yang tidak selalu seiring sejalan. Meski hal ini lebih disikapi sebagai dinamika kebudayaan oleh masyarakat terdekat.
Menyusuri sajian demi sajian, rangkaian informasi dan kisah yang dimunculkan di Hikayat Pengarsipan ini secara tidak langsung telah menggarisbawahi peran warga sebagai subjek aktif produksi pengetahuan. Warga Lombok Utara telah memiliki cara serta metode dalam mengawetkan pengetahuan, serta secara konsisten menyelenggarakan prosedur pengawetan pengetahuan yang nampaknya berjalan secara holistik. Pengetahuan yang tidak hanya dipandang dari aspek materialitasnya atau artefaknya semata, tetapi keawetan pengetahuan yang dibarengi dengan sikap serta nilai-nilai yang diwarisi dari para leluhur.
Pada penyusuran di ruang pertama, kita akan disambut dengan sajian-sajian karya yang menggarisbawahi kekuatan warga dengan metodę-metode pengarsipannya yang dibarengi dengan narasi toleransi yang kuat. Di koridor setelahnya, kita diajak untuk mengenal Tari Rudat, lengkap dengan latar yang berwarna-warni, dokumentasi video lawas, rekaman suara latihan rudat yang instruksinya bercampur dengan bahasa belanda, serta tangkapan visual gestur rudat yang disajikan dengan charcoal di atas kertas oleh Hujjatul Islam. Di bagian tari rudat ini, kita diajak untuk menemukenali model pengarsipan yang juga tidak kalah penting, yang hidup di tengah masyarakat, yakni mengarsipkan gerak, gestur, kisah dan irama, yang diawetkan dengan terus dilatihkan. Karena tari rudat ini adalah pengetahuan yang bisa diwariskan tanpa perantara, ia bisa langsung ditransfer dari tubuh ke tubuh, dengan dilatihkan dan diulang. Di sini, kita diingatkan, bahwa repetisi adalah laku dokumentasi itu sendiri.
Di ujung setelahnya, warna-warni kain tenun membuatku tidak sabar untuk segera mendekat. Mengingat kain tenun adalah media bercerita para perempuan. Tenun juga merupakan medium untuk menyimpan kisah serta pengetahuan. Tidak sebatas kisah yang dituangkan melalui pola, tetapi juga etos kerja dan etika untuk merawat alam yang sejalan dengan moda produksi masyarakat untuk mempertahankan keseharian. Tenun tidak bisa dihasilkan dalam situasi terburu-buru yang hanya berorientasi pada hasil. Tenun menjadi pengingat kita, bahwa pekerjaan harus dikerjakan dengan mendengarkan ritme tubuh, dengan ketelitian dan kesabaran. Secara tidak langsung, proses tenun telah mengajarkan kita mekanisme self-care dalam bekerja.
Selain dokumentasi audio-visual, foto-foto dan berbagai memorabilia, juga terdapat lukisan kayu kaligrafi dan patung kayu karya Dadak. Sajian karya yang beragam ini, mengajakku untuk mengambil kesimpulan cepat, bahwa masyarakat Sasak Lombok Utara cukup dekat dengan tradisi visualnya. Karena ekspresi visual tidak sebatas pada lukisan dengan cat minyak di atas kanvas.
Dari tradisi visual, tradisi tutur, teks dan gerak, semua tersaji di Hikayat Pengarsipan. Dan semua bentuk artikulasi tersebut digunakan warga masyarakat untuk menyimpan dan meneruskan pengetahuannya. Dari sekian kisah dan warna yang dimunculkan di aula masjid tersebut, aku masih cukup penasaran dengan jenis pengetahuan yang gagal untuk didokumentasikan. Kegagalan di sini bukan dalam artian yang negatif. Kegagalan disini lahir dari sikap dan watak dari pengetahuan itu sendiri yang menolak untuk didokumentasikan. Ketertarikan ini tidak pada apa saja yang ditampilkan, tapi juga hal-hal yang sulit untuk ditampilkan. Jika Hikayat Pengarsipan diibaratkan sebagai sebuah buku, maka catatan kaki ini tidak kalah menariknya dari tubuh teks di dalamnya.
Rasa penasaran ini sesungguhnya sudah kubawa dari Jogja. Sesaat sebelum keberangkatan ke Lombok, pada saat di Jogja, aku menemani seorang teman yang sedang mengarsipkan pengetahuan neneknya, pengetahuan seorang Paraji, dukun beranak. Dari proses penelusuran Ari pada pengetahuan yang dimiliki oleh neneknya, kami mendapati banyak hal sekaligus pertanyaan. Paraji adalah pengetahuan yang diwariskan dengan dilakoni, tidak dipelajari secara teoritis. Ia diturunkan dari nenek ke ibu, ibu ke anak. Ia pengetahuan perempuan, yang diawali dengan sebuah perjanjian atau ijab qabul. Pada proses transfer ini juga dilantunkan mantra-mantra, yang menurut sang Nenek tidak boleh ditulis. Perjanjian ini juga tidak boleh dituliskan. Ia hanya boleh dilantunkan sebagai niat. Di sinilah kami menemukan, model pengetahuan yang menolak dokumentasi. Itulah yang kumaksud dengan gagal dalam dokumentasi. Bukan kegagalan yang negatif. Barangkali ini adalah bukti dari kekuatan atau otonomi pengetahuan Paraji. Apakah betul demikian? Apakah pengetahuan otonom adalah pengetahuan yang menolak untuk didokumentasikan? Mengingat bahwa tradisi dokumentasi modern hadir bersamaan dengan nalar kolonial?
Itulah satu pertanyaan yang selalu terngiang. Sehingga, percakapan di luar karya-karya yang disajikan di Hikayat Pengarsipan menjadi obrolan yang sama pentingnya dengan pengetahuan yang disajikan di pameran. Semisal kisah dan cerita di sekitar pencarian dan penggalian data, yang melibatkan proses negosiasi ketika mengakses sebuah artefak atau menampilkannya. Perihal menampilkan ini yang bagi sebagian subjek tidaklah sederhana. Menampilkan fragmen pengetahuan yang hidup di Lombok Utara ini juga terdapat elemen kontestatif, yang jika tidak hati-hati bisa menjadi subjek sensitif. Itulah yang sedang dijaga oleh para subjeknya, mengingat bahwa kerukunan antara agama yang berlangsung di Lombok Utara ini adalah kondisi yang perlu dirawat dan dipelihara.
Nampaknya, Hikayat Pengarsipan merupakan salah satu cara teman-teman Pasir Putih untuk menstrukturkan kekayaan pengetahuannya yang selama ini mereka kumpulkan. Melalui cara ini pula, pengetahuan dihadirkan dan didekatkan kembali pada si pemilik pengetahuan, yakni masyarakat Lombok Utara, sambil merayakan narasi-narasi kecil, yang nampak sederhana, tapi sungguh berharga. Belajar dari para leluhur dan pendahulu, sesungguhnya kita juga percaya bahwa sejarah adalah hari ini.
Selebihnya, obrolan ringan, gurauan yang kadang ada garingnya, serta kehangatan teman-teman Pasir Putih adalah oleh-oleh yang kubawa pulang. Semoga kelak, kita tetap bisa menyaksikan generasi setelah kita, dengan penuh semangat dan suka cita, meneruskan pekerjaan yang nampak sederhana ini. Semoga di kemudian hari, kita tetap bisa berbangga pada keragaman bentuk pengetahuan yang tetap berdiri tegak dan berdaulat di hadapan apapun yang datang menghadang. Meski pengetahuan tidak pernah hadir dalam wujudnya yang utuh, semoga kita tetap bisa bersiasat di antara retak-retak pengetahuan yang tidak jarang tetap tegar di hadapan negara yang rapuh. Terima kasih banyak teman-teman Pasir Putih. Matur Tampiasih!
Oleh: Lisistrata Lusandiana