oleh Krisnawan Wisnu Adi
Dalam runtutan detik, hari, bulan, dan tahun, atau singkatnya, waktu, yang terus berjalan maju, apakah kita sudah menandai sela demi selanya? Jika besok itu tahun baru, apakah semua hal yang telah kita pikir dan lakukan sampai saat ini benar-benar tunai?
Di Sorotan Arsip kali ini, Nasirun hadir di hadapan kita. Ini memang video lama. Waktu itu, pada 2007, tim IVAA sedang berkunjung ke rumah beliau untuk melihat-lihat koleksi karya, artefak, hingga arsip yang ia kumpulkan. Direkam oleh Dwi Rahmanto dan Edy Soeharto, obrolan antara Pitra Hutomo dan Ikun SK bersama Nasirun berlangsung di rumahnya. Mengapa video ini muncul sebagai sajian? Selain karena intuitif, obrolan ini mungkin bisa menjadi pemantik bagi kita untuk berterima kasih pada tanda-tanda yang terus bergulir dalam perubahan jaman.
Selain gaya tertawa dan pilinan jenggotnya yang khas, satu hal lain yang bisa kita tandai dari seorang Nasirun adalah kelekatannya dengan kejawaan sebagai identitasnya. Selain nampak dari karya lukisan-lukisannya, seperti Rebut Dupa, Jatilan, Wewayangan Zaman Edan, dll, kelekatan itu juga muncul dari cara berpikir hingga pemaknaannya atas diri dan sekitar. Seniman asal Cilacap ini konsisten seperti itu sampai sekarang.
Setidaknya nuansa macam ini juga diyakini oleh G. Budi Subanar dalam tulisannya berjudul “Potret Perupa Yogyakarta: Dari Kepurbaan Nasirun sampai Mimpi Samuel” di Kompas, 1 Februari 2009. Berkonteks gelaran seni pergantian tahun 2008 dengan tajuk “Seniku Tak Berhenti Lama”, Subanar menandai Nasirun demikian: Kepolosan Nasirun mampu menghadirkan kiat holding the global locally, promoting the local (archaic) globally. Medan globalnya mungkin bisa kita lihat dari era-era itu, ketika berbagai ajang kompetisi seni lukis maupun antusiasme lelang di level nasional, regional, hingga internasional sedang tumbuh subur. Taufik Nur Rachman dalam tulisannya berjudul “Menelusuri Wajah Yogyakarta di Panggung Philip Morris Indonesia Art Awards (1994-2000)” membagikan tatapan historis soal itu dengan cukup detail. Kita bisa tahu kalau karya Nasirun berjudul Festival Rampogan yang dibuat pada 2004 terjual senilai $34,866 USD di balai lelang Sotheby’s Hongkong.
Apakah sepak terjang itu merupakan niat Nasirun untuk membuat tradisi atau kelekatannya dengan kejawaan sebagai representasi universalisasi lokalitas? Atau, apakah ini adalah sebentuk strategi jitu untuk berkelana di pasar seni global? Teman-teman bisa menonton video ini untuk memilih jawabannya. Yang jelas, kalau merujuk dari pernyataan-pernyataannya dalam video, mungkin itu adalah hasil dari proses Nasirun dalam menandai tanda-tanda dalam perubahan jaman. Bahwa suatu tanda akan bermakna justru ketika ada pergeseran. Menandai Punakawan yang hadir di dua epos menjadi salah satu contoh bagaimana ia memaknai keberadaan sesuatu dalam pergeseran itu. Keberadaan carangan bukan sekedar pelengkap, tapi sebagai babon, sebagai pamomong wiji ratu. Dan seni rupa kebetulan menjadi bahasa yang ternyaman bagi seorang Nasirun untuk mengutarakannya.
Seni rupa Nasirun adalah seni rupa menghanyutkan diri bersama dengan segala warisan kedirian dari masa lampau, mengikuti arus tanpa berhenti untuk berinterpretasi. Setidaknya, prinsip ini bisa jadi opsi dari sekian banyak prinsip bagi kita untuk menandai sela-sela atau jeda di setiap pergeseran waktu. Bisa dalam konteks jagad seni rupa ataupun keseharian kita.