RumahIVAA
RumahIVAA
Setelah melewati banyak proses kurasi dan seleksi, Dekjall (koreografer dari Aceh) dinyatakan lolos untuk terlibat dalam program Ephemera#3 dengan mengangkat kebudayaan asal daerahnya yang diberi nama Tarekat Kopi. Program dilaksanakan mulai dari tanggal 17 Juli – 17 Agustus 2023. Tarekat Kopi terdiri dari beberapa sesi, mulai dari diskusi kopi dan budaya ngopi di Aceh hingga lecture performance tarekat yang disuguhkan langsung oleh Dekjall diiringi sesi tanya jawab oleh para penonton.
Minggu, 16 Juli 2023, saya bersama dengan teman-teman magang lainnya diminta Mas Dwe (Dwi Rachmanto) untuk membantu menata tempat yang akan digunakan untuk pameran Tarekat Kopi. Beberapa staff IVAA seperti Mas Santoso dan Mas Edi turut hadir membantu di hari itu. Sebagai orang yang pertama kali terlibat dalam sebuah pameran seni, saya diminta Mas Edi untuk membantu hal yang bisa dibilang sederhana. Beberapa tempat yang biasa saya tempati bersama teman-teman magang menjadi tempat display pameran. Saya membantu memindahkan kursi dan meja. Selain itu, saya juga menyiapkan dan menata letak pigura yang akan ditampilkan selama pameran. Tugas itu saya laksanakan dan selesai saat petang tiba.
Keesokan harinya, pameran dibuka dengan sesi diskusi tentang kopi dan bagaimana budaya ngopi di daerah Aceh. Sesi diskusi dilaksanakan pada hari Senin, 17 Juli 2023, pukul 13.00-17.00 WIB. Kali ini diskusi juga ditemani dua narasumber dari Aceh yang bernama Iskandar Tungang dan A. Semali. Antusias masyarakat cukup tinggi. Hal itu bisa dilihat dengan ramainya penonton yang datang ke ivaa. Pengunjung yang hadir juga dari berbagai kalangan. Mulai dari pelaku kesenian hingga masyarakat sekitar IVAA. Para pengunjung duduk melingkari narasumber di dalam ruang tengah atau yang biasa disebut ampiteater IVAA.
Selama sesi diskusi, saya ditugaskan untuk mendokumentasikan rangkaian peristiwa yang terjadi siang itu. Mas Dwe berpesan agar mengambil gambar yang informatif atau bisa dibilang narasumbernya terlihat jelas, dengan latar belakang dan suasana penonton yang terjadi pada saat itu. Rolling tugas sering saya lakukan dengan teman saya bernama Chan. Saat itu dia mendapatkan tugas merekam video selama sesi diskusi berlangsung. Ada satu lagi teman saya bernama Yusuf. Tugasnya merekam suara obrolan diskusi. Selama menjalankan tugas, dia bergantian dengan satu teman saya lagi yang bernama Dhina.
Acara berlangsung meriah dan ramai pengunjung. Suasana yang saya dapatkan sangat berbeda pada hari biasa di IVAA. Saya dapat bertemu banyak seniman dan tokoh-tokoh kebudayaan saat itu. Tidak lupa saya menyimak dan memperhatikan obrolan dan pertanyaan yang keluar dari mulut narasumber dan para audiens. Dari situ saya tahu pemikiran-pemikiran orang yang mendalami dan aktif dalam dunia kesenian dan kebudayaan. Salah satunya yaitu keterkaitan kopi dengan budaya dan kebiasaan orang Aceh.
Di Aceh, budaya ngopi tidak bisa luput dari berbagai kalangan. Mulai dari anak muda, wanita, pekerja kantoran, hingga orang-orang tua yang sudah bisa dibilang lansia. Hal ini terjadi karena Aceh salah satu penghasil biji kopi terbesar di Indonesia. Salah satu fakta unik yang saya dapatkan yaitu shaf solat di warung kopi lebih ramai daripada di masjid. Fakta ini membuktikan bahwa saking ramai dan seringnya pengunjung di warung kopi, mereka lebih nyaman untuk beribadah di tempat yang telah disediakan warung kopi. Bahkan, tidak sedikit juga orang yang bermalam di warung kopi yang buka selama 24 jam.
Pada pagi hari seusai sholat subuh, warung kopi didominasi orang-orang tua dengan berbagai profesi dan latar belakang yang berbeda. Setelah orang-orang tua pergi, isi warung kopi berganti dengan anak-anak muda hingga waktu menunjukkan malam hari. Ada banyak alasan mengapa masyarakat sangat antusias untuk selalu datang ke warung kopi, salah satunya adalah masyarakat Aceh harus beradaptasi dan menjalin relasi seluas-luasnya agar bisa mendapatkan akses dana-dana daerah. Kesadaran anak-anak muda Aceh sangat tinggi dalam pengelolaan dana daerah. Semua itu dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan pemerintah menggunakan dana daerah.
Diskusi terus berlanjut sampai hari kedua sampai karya presentasi Dekjall di hari ketiga pada hari Kamis, 20 Juli 2023 di IVAA. Seperti biasa, hari itu saya ditugaskan untuk mendokumentasikan foto selama pertunjukan berlangsung. Malam itu Dekjall mempersembahkan lecture performance yang disuguhkan mulai dari pukul 19.30-22.00 WIB. Selama melakukan pertunjukan, Dekjall juga menjawab beberapa pertanyaan yang dilontarkan dari beberapa penonton. Hal ini dilakukan untuk menjawab rasa penasaran para penonton tentunya.
Bagi saya, tarekat adalah sesuatu hal yang baru sepanjang perjalanan kehidupan saya. Dengan latar belakang yang berbeda, tentunya menimbulkan banyak sekali pertanyaan dalam pikiran saya. Beberapa pertanyaan sudah diwakili oleh para penonton lainnya. Salah satu pertanyaan yang berhasil terlontarkan yaitu “Mengapa masyarakat Aceh melakukan tarekat tari, bahkan ada yang melakukannya secara ekstrim?” Dekjall lantas menjawab, bahwa untuk dapat melaksanakan Tarekat di Aceh dibutuhkan sebuah kepercayaan yang kuat.
Saya teringat ketika saya membantu mendisplay pameran Dekjall, semua barang-barang yang ditampilkan selama pameran tidak boleh dipotret dengan alasan dapat membahayakan atau menjadi malapetaka bagi yang memotretnya. Hal itu tentunya merupakan bagian dari sebuah kepercayaan yang harus diterapkan. Sebagai orang yang baru mengenal budaya semacam itu tentunya membuat saya kagum dengan mayoritas masyarakat Aceh yang dapat memegang kepercayaan dan warisan dari leluhur.
Menurut saya, selain budaya tarekat yang unik dan baru bagi saya, sosok seniman Dekjall juga berhasil membuat saya terpukau. Mendengar cerita langsung darinya, dapat membuat seolah-olah saya merasakan lika-liku perjuangan dia dalam mengenalkan budaya tanah kelahirannya. Dalam hati saya berkata, “Ternyata menjadi seorang seniman tidak bisa cuman memiliki bekal ilmu pengetahuan yang cukup, melainkan harus diimbangi dengan tekad dan biaya yang kuat tentunya”.