RumahIVAA
22 Juli 2023
RumahIVAA
22 Juli 2023
Jika kamu membaca tulisan ini di sela-sela waktu produktif, apalagi di siang hari yang terik seperti beberapa pekan belakangan, semoga di sela-sela waktu yang lain kita bisa bercakap-cakap langsung. Sebelum waktu itu datang, aku ingin menyampaikan kesan dan ingatanku selama beberapa jam di IVAA, tepatnya Sabtu, 22 Juli 2023.
Sore itu kulitku masih merasakan sengatan matahari. Samar-samar kucoba mengingat keraguan saat merancang acara pekan lalu, apakah acara kami akan dihadiri banyak orang jika dilaksanakan pada akhir pekan dan sore begini? Mungkin kamu bertanya, mengapa harus dihadiri banyak orang? Ada beberapa alasan, tapi utamanya kami ingin acara tersebut menghubungkan antar pekerja seni, tapi bukan demi memajukan karir. Ah, tapi adakah karir untuk pekerja seni, pekerja event, pekerja serabutan yang jarang tercatat keberadaannya?
Satu-satunya hal yang menjamin penghidupanku dalam pergaulan seni adalah modal sosial, yang mana juga sulit kukembangkan karena berkaitan erat dengan budaya nongkrong. Jadi, apakah modal sosialku sama labilnya seperti uang yang kuterima dari setiap pemberi kerja? Tentu saja sore itu obrolan tetap menyinggung soal uang dan perbandingannya. Misalnya, honor dibandingkan dengan cakupan kerja; kompensasi dibandingkan dengan kemampuan dan alat kerja; jaminan kesehatan dan keselamatan dibandingkan dengan durasi mengerjakan sesuatu. Apapun mekanisme dan istilahnya sampai sejumlah uang kita terima, pada akhirnya ke pelimbahan juga. Bertanya berapa yang didapatkan, apalagi membandingkannya dengan kebutuhan hidup rata-rata, menjadi begitu menantang bahkan hampir mengerikan. Begitulah sari diskusi sepekan sebelumnya mengenai rendahnya upah minimum di Jogja.
Diskusi di IVAA memang membawa masalah yang setelah diuraikan terasa semakin menekan. Uraian mengenai rendahnya upah minimum di Jogja, menunjukkan jamaknya penyiasatan individu, mulai dari menurunkan kualitas asupan hingga pengalaman terjerat pinjaman online. Sambat atau mengeluh adalah warisan antargenerasi yang tak lagi bisa menjembatani upaya saling dukung. Orang tua kita yang merasa berdosa karena tidak bisa mewariskan tanah dan properti, rupanya masih harus menghadapi akibat penggusuran di masa lanjut usianya. Lantas, bagaimana dengan orang-orang muda yang di atas kertas tak mungkin memiliki rumah layak semasa hidupnya? Apakah keputusan pindah ke pinggiran dan menyewa gubuk sebagai tempat tinggal bersama orang tua yang sudah sakit-sakitan bisa kita sebut keadaan sementara?
Sependek pergaulanku, lapisan masalah yang menghambat terwujudnya kesejahteraan di Jogja jarang kutemukan dalam karya atau kegiatan seni budaya. Konon, orang-orang yang mencari makan melalui kesenian minim kesadaran kelas, atau justru tidak memiliki akses dan kesempatan untuk menuntut hak mereka sebagai pekerja. Tapi, pernyataan seni di Jogja bukan bagian dari industri kreatif sepertinya sudah luntur, seiring banyaknya pelamar untuk Dana Keistimewaan atau dana abadi yang berangsur-angsur digelontorkan. Bisakah kita memandang akses menuju sumber dana sebagai kesempatan memperbaiki situasi ketenagakerjaan dalam lingkup seni?
Kurasa bisa, pikirku sambil menyingkirkan kekhawatiran sedikitnya peserta diskusi sore itu. Entah terbahas atau tidak perihal sumber dana yang membutuhkan modal sosial dan kapasitas merancang projek atau proposalnya, aku lega melihat IVAA dipenuhi berbagai pekerja seni, mengingat akhir pekan sering menjadi waktu produktif untuk acara-acara seni.
Para narasumber Arsita Iswardhani, Brigitta Isabella, dan Christine Natalia bergantian bicara mengenai lika-liku pekerjaan masing-masing. Dari paparan mereka, ada soal besar menentukan nilai suatu kerja dan karya. Anggapan penyelenggaraan event bersponsor dan punya skema pendanaan akan menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja segera gugur, karena yang beroperasi adalah penekanan biaya produksi demi mewujudkan suatu hajat. Sumber dana selalu terbatas, sehingga sumber daya paling penting adalah keuletan dan kegigihan orang-orang yang menggerakkannya. Sikap ulet dan gigih yang bukan penjamin upah setidaknya mengakumulasi modal sosial, dan menyertainya adalah posisi, reputasi, dan kuasa. Seorang pekerja seni mungkin tak punya tabungan tapi bisa tersohor. Ia akan lebih dipercaya mengajak orang lain bekerja dengannya, padanya, untuknya, maka ia bisa menjadi pemberi kerja. Hubungan yang dibina bukan atasan-bawahan, melainkan pertemanan atau persaudaraan, sedangkan kuasanya mungkin tetap sulit diusik.
Tumbuhnya ekosistem seni dalam lingkup berkarya; membuat benda artistik; menyelenggarakan pameran dan pertunjukan; menelusuri sejarah seni; mengembangkan infrastruktur dan sumber daya manusia, dan lain-lain, menunjukkan perlunya upaya lebih dalam menyertakan kerja seni untuk tujuan industrialisasi estetika. Barangkali mekanisme kompensasi yang kita butuhkan bukan menerapkan upah minimum atau pagu indikatif. Bukan pula menentukan durasi kerja layak dan jenjang karir.
Mungkin yang kita butuhkan adalah jaminan sosial yang tidak menempatkan orang yang bertahan hidup dengan kerja seni, semata-mata sebagai statistik. Mungkin, pekerja seni perlu menjadi sekumpulan individu yang tak jera berserikat, yang ingin mewujudkan keadilan dalam bermasyarakat. Dan mungkin, pekerja senilah yang saat ini punya beragam cara pandang untuk mengujicobakan pembaruan cara-cara basi dalam menyelenggarakan komunitas, bahkan negara.
Refleksi ini ditulis oleh moderator forum Sorrow Slow Living, Lika-liku Pekerja Kreatif dan Mimpi Hidup Santai di Daerah (Berupah) Istimewa. Forum kedua ini adalah bagian dari tiga forum yang diselenggarakan Panitia Persiapan SINDIKASI (Serikat Pekerja Kreatif dan Media untuk Demokrasi) Jogja. Pada 17 September 2023, SINDIKASI Jogja telah terbentuk atas dukungan segenap kawan individu, kolektif, komunitas, serikat, dan organisasi.