Tulisan ini adalah refleksi dari dua pertemuan yang dilakukan di Jogja-NETPAC Asian Film Fesival (JAFF) Archive bersama Anggun Priambodo, anggota Lab Laba-Laba. Di pertemuan pertama, kami membahas film “Si Titik Kembali” yang ditemukan oleh Lab Laba-Laba di tahun 2014. Yang kedua, saya kembali membentangkan “Si Titik” bersama sejumlah karya seni yang membahas soal Papua dan bagaimana catatan sejarah serta “fiksi” yang dihadirkan oleh para seniman menjadi menarik sebagai kritik terhadap teks sejarah yang diproduksi oleh rezim yang berkuasa. Bagaimana seni memaknai Papua hari ini?
Pada kesempatan presentasi di JAFF Archive pada Program Openthesis 2023, kami berbagi pengalaman personal bagaimana menemukan dan merawat “Si Titik”. Hari ini kita bisa menemukan dan mengakses arsip film dan audio tersebut di ANRI. Kita tidak memiliki pengalaman menonton “Si Titik” lewat televisi. Ketika ia dihadirkan sekarang, ia telah selesai diproduksi di eranya, kita hanya bisa membandingkan pengalaman menontonnya dengan menonton Si Unyil — itu pun jika kita punya memori yang sama atasnya.
“Si Titik” adalah satu dari banyak rol film produksi Perusahaan Film Negara (PFN) yang hampir semuanya dalam kondisi rusak akibat tidak adanya perawatan, dan pengabaian yang berkepanjangan (Lab Laba-Laba, 2016). Si Titik adalah film seri boneka yang ditemukan di tumpukan arsip di sebuah gedung yang nampak tidak terurus, terbengkalai, dan berdebu.
Lab laba-Laba dibentuk sebagai sebuah kelompok kerja kolaboratif yang fokus pada proses pembelajaran dan apresiasi film melalui medium film analog. Kelompok ini memulainya dengan menempati ruang di gedung laboratorium film terbesar di Indonesia milik PFN.
Gedung laboratorium PFN ini pernah mati dan tidak berfungsi. Suatu hari Lab Laba-Laba berkunjung dan menemukan sejumlah besar gulungan film tua. Dengan izin PFN, kemudian mereka secara rutin mengunjungi laboratorium PFN untuk merestorasi, melestarikan, dan mengarsipkan film seluloid yang dimilikinya serta mesin dan metode pengembangannya. (Ken Jenie, 2015)
Di Tulungagung, saya menambahkan penelusuran karya Lab Laba-Laba dengan tiga seniman lain; Moelyono, Veronika Kusumaryati, dan Roy Villevoye yang menggunakan dokumen berupa foto, audio-visual, dan ingatan untuk memperoleh gambaran sekaligus pemaknaan tentang proses konstruksi identitas politik berdasarkan keberpihakan pada ide pembebasan.
Moelyono dan anak-anak di Keerom –Kabupaten di Jayapura yang berada di perbatasan dengan Papua Nugini– menggambarkan suasana yang dialami dan dihidupi dengan medium gambar. Hari ini, 18 tahun setelah gambar-gambar itu dibuat, ia menjadi tumpukan memori yang hangat, memanggil kita pada kenyataan apa yang dilihat dan dirasakan oleh anak-anak Keerom.
Di sela-sela kegiatan menggambar, Pak Moel mengajak anak-anak dengan membuat gambar lingkaran. Dari lingkaran menjadi gambar wajah, dengan leluasa mereka menggambarkan situasi lingkungan mereka dan diberi cerita apa cita citanya kelak jika sudah besar nanti.
Cerita yang muncul, objek atau benda adalah ingatan dari yang mereka lihat dan berkesan. Sebagai seorang dewasa, kita mungkin bisa langsung mengenali “tentara”, “senapan”, “bendera bintang kejora”. Media dan militer menggambarkan tindakan pembebasan dan kedaulatan di Papua Barat sebagai yang jika dihadirkan atau berada di dunia kita sekarang, menjadi image yang erat dengan kekerasan, separatism, dan harus diamankan.
Apapun yang terjadi di Papua Barat, anak-anak masih memiliki harapan untuk mewujudkan cita-cita mereka ketika besar nanti; jadi dokter, tentara, polisi, guru. Bahkan suster dan pastor. Papua merupakan identitas politik yang dikonstruksi oleh Jakarta, oleh pusat dan para elit intelektual yang berperan di dalamnya.
Dalam karya Veronika Kumaryati, ia menggunakan footage arsip audio-visual dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), potongan video yang diambil di diorama Penentuan Pendapat Rakyat Irian Barat 1969 di Monumen Nasional, dan wawancara soal penyerahan Irian Barat kepada Indonesia. Keputusan melalui musyawarah melanggengkan bahwa Indonesia mencaplok Papua Barat tanpa persetujuan, sejak itu konflik bersenjata terus berlanjut dan berada di bawah pendudukan militer yang berat hingga saat ini.
Berpusat pada warisan penjajahan, kolonialisme yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari di West Papua, karya Veronika menghadirkan suara yang menggelegar. Suara pertama dari sang proklamator, suara sejarah besar yang mengomando untuk menggagalkan pembentukan negara Papua dan mengibarkan Sang Merah Putih di Irian Jaya. Yang kedua suara kesaksian, si penyintas konsekuensi dari sejarah yang harus diluruskan. Wajah suara kedua tidak pernah tampak di layar. Vero mengajak kita untuk menjadi pendengar yang telaten. Dengan dialek yang partikular, suara Ones Nesta Suhuniap menyebutkan dua peristiwa penting di mana bangsa Papua tidak dilibatkan dalam dua perhelatan internasional yang jadi kunci untuk status politik sekarang.
Pada tahun 2023, beberapa karya yang tadi saya sebutkan dipresentasikan di Ljubljana dengan kerangka kuratorial yang mengetengahkan imaji tentang ‘pembebasan’ di tanah Papua. “Si Titik”, salah satunya ditempatkan sebagai arsip yang dibaca sebagai propaganda orde baru, bagaimana Jawa menatap Papua. “Si Titik” dibedah untuk menelusuri pertanyaan seputar bagaimana arsip film bisa mengeksplorasi ingatan kolektif, kekuatan gambar yang persuasif atas sebuah tempat ‘yang jauh’ atau secara politis bisa dibaca sebagai bukti opresif kekuatan kolonial pada sebuah kelompok ‘yang liar, yang harus diamankan’.
Apakah kita bisa membaca gambar bergerak sebagai kritik terhadap opresi dan dominasi penjajahan untuk menginterogasi relasi kekuasaan? Proses kritis yang seperti apa yang muncul dari pembacaan arsip dan membangun sejarah yang tidak pernah terbaca keberpihakannya hari ini?
Saya akan mengutip Veronika Kusumaryati
“Sejarah di Indonesia penuh dengan suara-suara keras. Suara laki-laki. Suara orang Jawa. Suara-suara optimis. Suara anti-penjajahan. Suara-suara tanpa keraguan. Arsip nasional, monumen-monumen, diorama-diorama, buku-buku pelajaran, stiker-stiker NKRI harga mati, dan tentara. Semua bicara tentang sejarah yang agung, yang maju, yang suci. Tidak ada darah, tidak ada luka, tidak ada keragu-raguan, tidak ada perlawanan”