Pada tulisan di bawah ini, salah satu Staf Magang IVAA pada periode April-Juni 2024, Wafinatra, mengulas wawancara antara Dwi Rahmanto (Kepala Arsip IVAA) bersama Mary Northmore. Dalam wawancara tersebut, Mary Northmore menceritakan perjalanan hidup dan aktivitas kesenian mendiang suaminya, Abdul Aziz. Arsip seniman Abdul Aziz merupakan salah satu hibah arsip yang kami terima pada tahun 2024. Kini, arsip fisik Abdul Aziz dapat diakses di IVAA, serta materi digital arsip tersebut sedang dipersiapkan untuk tersedia dalam situs web arsip IVAA.
Rubrik Sorotan Magang IVAA berisi tulisan-tulisan oleh Staf Magang IVAA. Tulisan-tulisan ini merupakan keluaran dari proses belajar pemagang bersama IVAA, di mana mereka berkesempatan mengeksplor isu-isu terkait arsip seni rupa Indonesia dan mengasah beragam minat di dalamnya.
Penulis Wafinatra
Penyunting Widya R. Salsabila
Pada 18 Maret 2024, IVAA menerima sejumlah arsip dan buku dari Mary Northmore, istri dari mendiang seniman Abdul Aziz. Arsip yang diserahkan oleh Northmore kepada IVAA tersebut memuat kehidupan dan kesenian Abdul Aziz. Sebagai seorang seniman senior, Aziz memiliki berbagai cerita hidup dan laku kesenian yang menarik untuk ditelisik. Berkaitan dengan arsip yang diterima, di tanggal yang sama IVAA mewawancara Northmore di Rumah IVAA untuk sedikit membedah cerita hidup dan laku kesenian dari Abdul Aziz. Dengan Dwi Rahmanto sebagai pewawancara, Northmore menjabarkan garis besar kisah hidup Abdul Aziz, dari lingkup pribadi hingga perihal kekaryaan sang seniman. Wawancara ini direkam dalam format video yang telah tersedia pada kanal YouTube kami.
Memulai ceritanya dengan karakter Abdul Aziz, Northmore mendeskripsikan Aziz sebagai individu yang polos, jujur, dan patriotik. Di samping patriotismenya, Aziz juga memiliki wawasan yang luas, terutama dalam konteks internasionalisme. Hal tersebut salah satunya terwujud pada penguasaan Aziz terhadap berbagai bahasa selain bahasa Indonesia, seperti bahasa Jawa, bahasa Jepang, bahasa Belanda, bahasa Inggris, bahasa Italia, bahasa Prancis, dan bahasa Cina.
Abdul Aziz telah memiliki ketertarikan pada praktik kesenian sejak masa kanak-kanak. Kekaryaannya dimulai dengan seni gambar dan berkembang ke seni lukis. Namun, ketertarikannya pada seni lukis sempat mengalami kendala oleh lemahnya kondisi ekonomi keluarga Aziz pada saat itu, yang membuat keluarganya tidak mampu menyediakan cat untuk ia gunakan.
Berkecimpungnya Aziz di bidang seni sedari kecil mendorong keluarganya untuk mengamini bakatnya di bidang tersebut. Beranjak dewasa, Aziz sempat mempelajari ilmu sosial dan politik di Universitas Gadjah Mada. Namun, menurut pamannya, Aziz lebih berbakat di bidang seni dibanding ilmu sosial dan politik. Berangkat dari hal tersebut, paman Aziz menyarankan orang tua Aziz untuk mendorong Aziz berpindah kuliah ke Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Sembari berkuliah di ASRI, Aziz sempat mengajar di Taman Siswa pada tahun 1950-an.
Selepas kelulusannya dari ASRI, Aziz kemudian menerima beasiswa untuk berkuliah di Italia. Pada wawancara ini, Northmore menceritakan kehidupan Aziz selama ia tinggal di Italia hingga kepulangannya ke Indonesia. Aziz tinggal di Italia selama kurang lebih 6,5 tahun, sekitar tahun 1959-1965. Satu tahun setelah ia menyelesaikan studinya di Italia, Aziz bekerja untuk KBRI di Italia. Pada masa itu, Presiden Ir. Soekarno cukup sering mengunjungi Italia untuk kepentingan kebudayaan dan Aziz selalu mendampinginya. Saling rindu dengan ibunya, Aziz kemudian meninggalkan Italia dan pulang ke Indonesia. Menurut Northmore, kepulangan Aziz ke Indonesia pada masa itu merupakan keputusan yang tepat, terutama untuk kepentingan keluarga, sebab di Indonesia sedang terjadi perguncangan politik yang berkaitan dengan peristiwa G30S.
Salah satu cerita unik yang disampaikan oleh Northmore adalah tentang kepulangan Aziz dari Italia ke Indonesia. Pada kepulangannya dari Italia, Aziz tidak memiliki uang sepeser pun. Sesampainya di Indonesia, citra Aziz sebagai ahli gambar membuat orang-orang di sekitarnya berbondong-bondong meminta dibuatkan gambar olehnya, dengan upah sesuka hati.
Setelah meniti karir di Italia, Aziz kemudian berkecimpung di kancah seni Bali. Pada masa itu, seni Bali sudah cukup populer dan Aziz tertarik untuk mengenalinya. Di Bali, Aziz membangun sebuah studio kecil dan meniti karir sebagai seorang dosen selama kurang lebih dua belas tahun. Northmore menyampaikan bahwa selama Aziz mengajar, ia tidak pernah menerima gaji yang diberikan oleh kampus.
Salah satu hal yang khas dari laku penciptaan Aziz di seni lukis adalah pelibatan bingkai sebagai bagian integral dari karyanya. Alih-alih hanya menggunakannya sebagai penunjang presentasi, Aziz memanfaatkan bingkai untuk menciptakan sebuah ilusi pada karyanya. Pada teknik ini, Aziz mengolah pencahayaan serta penggambaran anatomi dan objek pada lukisannya sedemikian rupa sehingga seolah-olah subjek lukisnya keluar dari bingkai. Teknik lukis tersebut Aziz pelajari saat ia tinggal di Italia, dimana ia terinspirasi oleh lukisan Michelangelo pada langit-langit Kapel Sistina.
Northmore menyampaikan bahwa Aziz banyak mengambil inspirasi untuk lukisannya dari figur feminin. Selain itu, dalam lukisannya, Aziz banyak merepresentasikan budaya Jawa. Northmore juga menyampaikan bahwa Aziz dianugerahi dengan penglihatan dan ingatan yang tajam, sehingga Aziz tidak pernah menggunakan model dalam penciptaan karyanya. Pada rentang waktu 1970 hingga 1980-an, permintaan untuk lukisan Aziz semakin meningkat, terutama dari masyarakat kalangan elit dan para pejabat, seiring dengan berkembang pesatnya dunia seni rupa di Indonesia pada masa itu.
Aziz memiliki ketertarikan yang beragam dalam konteks keseniannya. Selain melukis, Aziz aktif bermusik saat tinggal di Bali, dari sekadar bermain alat musik hingga melakukan rekaman musik. Dalam laku keseniannya selaku perupa, Aziz tidak ingin terikat dengan galeri. Menurut Northmore, hal tersebut salah satunya disebabkan oleh ketertarikan Aziz yang sempat lebih condong pada seni musik daripada seni lukis. Northmore juga menjelaskan bahwa kontribusi Aziz dalam dunia seni rupa selama di Bali terbatas pada perhelatan Bali Art Festival dan sebuah pameran di Jakarta. Hal tersebut lagi-lagi disebabkan oleh kecondongan Aziz pada musik, alih-alih seni rupa. Aziz seringkali menggunakan aktivitas bermusik sebagai cara untuk menyegarkan diri saat ia merasa suntuk karena melukis.
Untuk menunjukan betapa cintanya Aziz pada musik, pada wawancara ini Northmore menceritakan bahwa Aziz memiliki sebuah ruangan yang dipenuhi dengan alat musik. Selain itu, ia juga memiliki ratusan koleksi kaset. Kerap memainkan musik di studionya, ada masanya dimana studio Aziz di Ubud menjelma menjadi tempat bagi para pemuda bercengkrama atau nongkrong, sembari menikmati alunan musik dari Aziz dan menggunakan aliran listrik yang tersedia di sana.
Tidak berhenti di seni rupa dan seni musik, laku kesenian Aziz juga merambah seni media rekam, khususnya fotografi dan videografi. Pada saat ia menjadi staf di ASRI, Aziz pernah membuat maket dan mengambil foto untuk sebuah proyek dalam rangka Puputan. Selain itu Aziz juga aktif membuat karya dalam format video saat tinggal di Bali.
Laku kesenian Abdul Aziz sebagai pelukis senior sekaligus seniman interdisipliner tidak dapat terlepas dari berbagai latar belakangnya dan domain-domain kehidupan di luar laku keseniannya. Mary Northmore memberikan penjelasan yang cukup lengkap dan runtut mengenai hal tersebut dalam wawancara yang dilakukan IVAA ini. Detail-detail tersebut tidak banyak diketahui publik, dan pada wawancara beserta arsip yang diberikan oleh Northmore kepada IVAA detail-detail kehidupan Aziz yang seringkali luput dari mata publik tersebut terungkap, membuka potensi-potensi baru dalam konteks produksi pengetahuan hingga hari ini, khususnya di bidang seni dan bidang-bidang di sekelilingnya.