Oleh: Melisa Angela
Dalam sebuah periode residensi, seorang seniman diharapkan mengalami dimensi keruangan yang berbeda dari kesehariannya di tempat asal. Ini adalah tujuan utama dari program residensi. Demikianlah sehingga di dalam program residensi meski terdapat agenda-agenda yang sudah ditentukan oleh pihak penyelenggara, harapan akan hasil akhir sebuah program residensi seyogyanya dibuat sangat terbuka terhadap segala kemungkinan. Maka dari itu tak tertutup pula bila seorang seniman residensi “tidak mampu” menyelesaikan karyanya di akhir masa residensinya. Inilah yang dialami beberapa seniman residensi Rumah Seni Cemeti, salah satunya Eva Olthof, seniman residensi Pasang Air #1 asal negeri Belanda. Dalam program residensi yang berlangsung di tahun 2015 ini Eva Olthof tertarik dengan fenomena relokasi warga sekitar Gunung Merapi. Sebuah desa secara administratif dihapuskan oleh pemerintah karena menjadi lokasi bencana erupsi di tahun 1960-an. Tapi setelah direlokasi dengan cara dipaksa mengikuti program transmigrasi, para warga pada akhirnya tetap berpulangan ke tempat asalnya di lereng Merapi. Fenomena ini memicu imaji Olthof terhadap simbol-simbol kewenangan yang terhubung dengan gunung berapi pada tingkatan ilmiah, spiritual, dan politis. Selama proses studi kasus relokasi warga Merapi ini, Olthof mengumpulkan sejumlah materi yang akan membantunya menggali memori tentang kasus ini.
Tiba saat presentasi di akhir masa residensi Pasang Air #1, di ruang pamer Rumah Seni Cemeti, Olthof nyatanya belum selesai mengeksekusi rencana-rencananya. Sehingga untuk berinteraksi dengan publik yang hadir di malam pembukaan Olthof melakukan bincang performatif dengan pengunjung mengenai gagasan-gagasannya. Memamerkan karya yang masih dalam proses atau dengan kata lain belum selesai tentunya dihindari oleh semua penyelenggara program residensi, dalam hal ini Rumah Seni Cemeti. Namun demikian kemungkinan ini tentu tidak terhindarkan. Sekalipun begitu, terlewatnya tenggat waktu dari agenda-agenda yang telah disusun rapi dalam sebuah residensi lantas diartikan sebuah kegagalan, kita pun tidak bisa serta-merta menganggap seniman tersebut tidak profesional, karena toh memang bukan itu yang dicari. Sekali lagi hakikat dari mengikuti sebuah program residensi adalah ‘mengalami’, dan pengalaman baru inilah yang akan membuka perspektif seniman dari hal-hal yang tidak dia lihat ataupun sadari sebelumnya di tempat asal. Proses pembaruan cara pandang ini tidak selamanya berlangsung di sepanjang periode residensi, bisa saja proses itu berlangsung setelah, atau bahkan bertahun-tahun sesudahnya.