Rumah IVAA
Senin, 3 Oktober 2016
Pukul 13.00 WIB - selesai
Rumah IVAA
Senin, 3 Oktober 2016
Pukul 13.00 WIB - selesai
Oleh: Krisnawan Wisnu Adi
Sekitar pukul 13.00 WIB pada Senin, 3 Oktober 2016 IVAA kembali menyelenggarakan pemutaran serta diskusi film. “A Short Story of Raden Saleh Syarif Bustaman” adalah film yang kali ini dihadirkan di RumahIVAA. Diskusi ini juga dihadiri langsung oleh sutradara film yakni Subi serta seorang penanggap dari Kunci Cultural Studies Center, Fiky Daulay. Beberapa mahasiswa, pegiat seni, dan kurator pun datang untuk mewarnai diskusi, seperti Wahyudin (kurator independen Yogyakarta) dan Budi Dharmawan (fotografer independen, penulis, dan kurator). Diskusi seusai pemutaran film dimoderatori oleh Lisistrata Lusandiana. Dengan ditemani teh hangat serta cemilan, kehadiran mereka membuat suasana diskusi semakin nikmat.
Film ini mengisahkan perjalanan hidup Raden Saleh, sebagai seorang Jawa yang berdinamika di dunia seni rupa dalam konteks kolonialisme Hindia-Belanda. Sebuah perjalanan Raden Saleh dari lahir, proses formatio-nya di Eropa, hingga kembalinya ia di tanah Jawa. Ada beberapa hal menarik dari film tersebut. Salah satunya adalah pernyataan dari Peter Carey, “Sebagai anak muda, Saleh merupakan orang dengan kecerdasan yang luar biasa dan unik. Dan saya rasa itu merupakan ‘kutukan’ tersendiri. Ia bukan bangsawan yang biasa atau priyayi pada umumnya. Ia tidak bisa menjadi bangsawan normal. Ia juga tidak bisa menjadi orang Jawa biasa karena ia terlahir sebagai bangsawan dan sangat berpendidikan.” Kedirian semacam ini sangat bernuansa dilematis ketika di satu sisi Raden Saleh hidup sebagai orang Jawa di masa kolonialisme, yang memaksa sebagian masyarakat Jawa untuk berperang melawan Belanda, sementara di sisi lain, ia juga banyak bergaul dengan bangsawan Eropa. Seorang antek kolonialiskah Raden Saleh? Atau justru seorang nasionalis yang menggunakan cara lain untuk berperang?
Pada awal penjelasannya, Subi menekankan bahwa film ini dibuat sebagai syarat akademis, untuk menuntaskan kuliahnya di Institut Kesenian Jakarta. Di dalamnya, terdapat narasi yang menyampaikan posisi seorang Raden Saleh dalam dunia seni rupa Indonesia hingga sekarang. Seperti apa yang dikatakan di bagian awal film oleh Suwarno Wisetrotomo, “Betapa kita itu bisa eksotik, bisa penting, bisa berbicara di forum penting di dunia.” Ungkapan dari Suwarno nampaknya dipakai untuk menunjukkan kontribusi Raden Saleh di kancah seni rupa internasional. Meski di sisi yang berbeda juga mengandung soal, jika dikaitkan dengan posisi raden saleh dan cara pandang orang Eropa terhadap Raden Saleh.
Ketika berkesempatan untuk memberi tanggapan, Fiky menjelaskan bahwa ada kelemahan dan kekuatan yang terkandung di dalam film karya Subi ini. Kekuatannya adalah terletak pada momentum yang diambil, yakni suasana pameran di Galeri Nasional. Pameran menjadi konteks tempat dan suasana di awal dan akhir cerita yang membingkai film tersebut. Akan tetapi ia menyayangkan mengapa film ini tidak mengambil persepsi seniman era sekarang dalam melihat sosok Raden Saleh. Bagi dia akan lebih menarik jika Subi memasukkan unsur tersebut. Sependapat dengan Fiky, Budi mengatakan demikian, “…. bagaimana sosok Raden Saleh dalam konteks masanya, dan bagaimana dia juga hadir kembali dalam konteks sekarang.” Tidak sekedar cerita Raden Saleh dari lahir sampai mati, akan tetapi semesta seperti apa yang terbentuk dari dulu hingga sekarang yang akhirnya memungkinkan kita bisa berbicara soal Raden Saleh, ungkap Budi.
Selain Fiky dan Budi, kritik dari Wahyudin juga cukup berarti. Menurutnya film ini belum menyampaikan sikap atau pandangan dari si sutradara. Subi hanya menggarisbawahi pengetahuan tentang Raden Saleh yang sebenarnya sudah diketahui oleh publik. Artinya adalah bahwa Subi belum menawarkan hal baru untuk menjadi bibit diskursus dalam kajian seni video atau sejarah seni rupa. Apalagi dalam keterkaitan profil Raden Saleh dengan konteks sosial politik Hindia-Belanda, tentang posisinya sebagai orang Jawa yang dekat dengan pemerintah kolonial. Bagi Wahyudin akan lebih menarik jika Subi mampu mengambil satu elemen saja yang masih luput dari pandangan publik.
Sebenarnya ada banyak sekali poin menarik dan penting yang muncul dalam diskusi ini. Namun kiranya ada satu hal yang memang perlu menjadi perhatian khalayak, yakni bahwa suatu pernyataan atau sikap atas suatu hal, menjadi sesuatu yang tidak dapat ditawar lagi ketika berbicara soal produksi suatu karya. Tidak terbatas dalam karya film atau tulisan jurnalistik atau seni yang lain. Tanpa adanya statement dari pembuat, suatu karya akan datar dan tawar untuk dinikmati. Diskusi ini ditutup dengan komentar dari Ari Bayuaji perupa Indonesia yang berdomisili di Kanada, yang tengah mengikuti program residensi di Redbase. Menurut Ari, film ini akan sangat bermanfaat bila ditemukan dengan audiens yang tepat. Misalnya bagi pelajar SMA atau mahasiswa non-seni rupa, film ini dapat menjadi pengantar yang tepat untuk mulai mengenal sosok Raden Saleh.