Oleh: Pitra Hutomo dan Tiatira Saputri
Dalam artikel Pulang Retret di Tirtodipuran muncul dua istilah yang mengganti penyebutan ‘residensi seniman’, yakni mondok dan retret. Keduanya merujuk pada fakta bahwa seniman visual yang mengikuti Program Residensi Rumah Seni Cemeti bermukim sementara di venue untuk berkarya lalu berpameran. Program residensi periodik berjudul Landing Soon (2006-2009) ini menyediakan tiga bulan “untuk sepenuhnya konsentrasi bekerja dan melakukan uji coba dan interaksi dengan sesama seniman, profesional, maupun komunitas tertentu”.
Residensi adalah salah satu istilah yang melekat pada praktik sehingga telah menjadi modus operandi seni visual Indonesia. Berbagai pihak senantiasa mereproduksi makna residensi sambil membongkar pasang teknik penggarapannya. Residensi seni bisa jadi serupa dengan mondok, retret, live-in, karena ia bermaksud menciptakan atmosfer spesifik untuk kerja-kerja seni. Setidaknya sejak satu dekade terakhir, residensi seni (kontemporer) merambah ranah kerja pengelolaan melalui penyelenggaraan program untuk manajer pameran dan kurator. Kosa kata yang kerap dibubuhkan menyertai paparan residensi antara lain uji coba, belajar, pertukaran, eksplorasi, keragaman, dan idiom lain yang mengamplifikasi kebutuhan atas proses.
RRREC Fest in The Valley menghadirkan kegiatan yang berupaya untuk mengintegrasikan seni dan ilmu pengetahuan alam secara komprehensif melalui Program Residensi Seniman. Program ini memberikan kesempatan bagi seniman untuk melakukan penelitian, kolaborasi, presentasi dan juga produksi dengan menggunakan sumber daya di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).
Makna bermukim sementara bagi seniman (Indonesia) akan lekat pada kondisi masyarakat di mana mereka berasal. Tanpa menutup mata pada kultur masyarakat adat yang mewajarkan perjalanan dan mobilitas fisik, Indonesia bukan negara yang terkenal handal menyediakan moda transportasi publik. Sehingga, menempuh perjalanan darat, laut, dan udara di dalam Indonesia hampir sama sulitnya dengan ke luar negeri. Proyek desentralisasi yang menyangkut jaminan akses apalagi pemerataan kualitas hidup masih tertatih-tatih. Pusat seni Indonesia berada di Jawa bagi banyak penduduk luar Jawa, sedangkan pusat seni dunia berada di negara maju bagi banyak pekerja seni Indonesia. Hubungan global dan lokal mensyaratkan kontak antara pusat dan pinggiran. Sehingga mobilitas gagasan dan transaksi pengetahuan dibayangkan berlangsung simultan di kawasan pusat-pinggiran (peripheral centres) dengan seni kontemporer sebagai salah satu kursnya.
Catatan tentang seniman Indonesia yang menempuh studi ke luar negeri kerap dimulai sejak Raden Saleh. Residensi, betapapun terstrukturnya tidak serta merta diklasifikasikan sebagai pendidikan formal seni. Namun memperoleh (beasiswa) residensi mampu mendatangkan prestise dan terutama akses pada pusat maupun pusat-pinggiran seni. Keberadaan fisik yang terikat pada lokasi geografis akan berkorespondensi dengan kecenderungan sosial-antropologisnya. Lebih luas lagi, relasi kuasa yang hinggap pada ruang-ruang liminal akan patuh pada intensi politik ekonomi. Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, analisis praktik residensi seni perlu berangkat dari kesadaran atas ruang dan transaksi kepentingan di dalamnya.
Pada tahun 1940-an hingga pasca kemerdekaan, semangat nasionalisme menuntun seniman pada gagasan perwujudan identitas. Kebijakan budaya pemerintahan Soekarno seolah mendambakan agenda-agenda kesenian pada perwujudan identitas ke-Indonesia-an yang berdiri di atas keragaman (etnis), di mana tidak ada dikotomi Barat-Timur ataupun komunis anti-komunis pada tubuh Indonesia.
Namun bukankah menjelang kup yang dilakukan Orde Baru, Soekarno justru menunjukkan kuatnya relasi kebudayaan Indonesia dengan negara-negara sosialis-komunis? Apalagi dengan berdirinya LEKRA yang semakin mengukuhkan keinginan mengidentifikasi kebudayaan nasional sebagai laku kerakyatan. Karena itulah ketika jejak kebudayaan di dua dekade awal kemerdekaan RI selalu penting untuk dikaji ulang. Keterbatasan bahan rujukan menunjukkan bahwa masa itu sengaja dibumihanguskan oleh rezim pemerintahan selanjutnya, dan belum pernah secara resmi dijadikan bagian sejarah kebudayaan nasional hingga hari ini.
Anggota Ensembel “Gembira” pentas di Beijing, 1963 untuk merayakan Hari Nasional RRC tanggal 1 Oktober. Sumber: “LEKRA and ensembles: Tracing the Indonesian musical stage” oleh Rhoma Dwi Aria Yuliantri dalam “Heirs to World Culture”, KITLV, 2012.
Rancangan kebudayaan nasional yang dipublikasikan dalam Majalah Budaya Maret 1954/Tahun ke III oleh Mr. Muh. Yamin berjudul Hubungan Internasional dilapangan Pengadjaran dan Kebudajaan, menunjukkan tiga ragam persetujuan khusus yang perlu dibuat dalam hubungan persahabatan dan pelaksanaan politik bebas aktif. Persetujuan terkait pengajaran dan kebudayaan dianggap tidak mungkin dijalankan serentak sehingga perlu dipisahkan, namun kerja diplomatis ini berlangsung di atas suatu persetujuan kembar yang pencetusannya serempak. Negara-negara yang dianggap cukup strategis untuk model perjanjian khusus ini antara lain Mesir, Syria, Pakistan, India – Barat, dan RR Tiongkok.
Yamin memaparkan bahwa Indonesia tidak hanya menerima fellowship ataupun scholarship dari negara lain, tetapi juga memberikan bantuan kepada pelajar dari undeveloped countries. Beberapa seniman seperti Affandi, Trubus, dan Henk Ngantung turut mewakili Indonesia untuk misi tersebut. Istilah undeveloped/underdeveloped countries yang terjemahan langsungnya negara belum berkembang, merujuk pada kriteria tertentu dalam hal perkembangan kesejahteraan manusia di suatu negara. Dari tulisan Yamin kita mengetahui bahwa pemerintah Indonesia menetapkan strategi diplomasi kebudayaan melalui: (1) Tuntutan pengembalian artefak, arsip, dan catatan fisik tentang kebudayaan Indonesia di Belanda, (2) Pemberian beasiswa belajar ke luar negeri, (3) Penempatan 8 orang atase kebudayaan di Eropa, Amerika, Mesir, New Delhi, Bangkok, Peking, dan (4) Melakukan lobi pada Sekretaris Jenderal UNESCO untuk menempatkan wakilnya di Badan Pekerja di Paris.
Kembali ke artikel di awal tulisan, Rumah Seni Cemeti adalah perintis hubungan-hubungan kebudayaan antar negara di bidang seni kontemporer, khususnya seni rupa. Theodora Agni yang ditunjuk sebagai manajer residensi, mengafirmasi bahwa program yang dia kelola berangkat dari keinginan menyediakan prasyarat penciptaan gagasan di tengah hiruk pikuk seni global. Dapat dikatakan bahwa seniman, kurator, atau peneliti yang mondok di Rumah Seni Cemeti mendapat beasiswa belajar kebudayaan di Yogyakarta. Sedangkan ujian atas kesempatan tersebut diletakkan di penghujung proses melalui event yang jamaknya berbentuk pameran dan artist talk.
Mengapa seniman membutuhkan dinamika ruang hidup untuk mendukung penciptaan? Menurut Ari Bayuaji, peserta residensi di Redbase Contemporary Yogyakarta, setelah 11 tahun menetap di Montreal, Kanada, selalu ada kebutuhan menengok lagi (apa yang berlangsung di) Indonesia. Keputusan Ari untuk hidup di tempat yang memudahkannya menjangkau pusat-pusat seni, menunjukkan bahwa keputusan individulah yang berperan membentuk lintasan karir seniman. Namun, ketika dia memilih untuk residensi di Yogyakarta sebagai pusat seni di Jawa/Indonesia, persinggungan budaya yang berlangsung sepanjang masa mukim sementara inilah penentu gagasan penciptaannya.
Mungkinkah berlangsung hubungan kebudayaan antara Indonesia dan Kanada melalui keinginan individu seperti Ari Bayuaji? Tentu kemungkinan ini tidak hanya perlu ditelusuri dari kebutuhan praktis seperti biaya dan kepesertaan. Visi hubungan diplomatis kedua negara yang tersirat dalam kebijakan kebudayaan nasional pasti mempengaruhi karakter penyelenggaraan program.
Setelah jenuh dengan penyempitan makna misi kebudayaan ala Orde Baru, para pekerja seni memanfaatkan pergeseran agenda negara pasca Reformasi terkait desentralisasi dengan menumpang di atas perjanjian-perjanjian ekonomi politik tingkat regional. Ranah seni visual mengalami gejolak pasar karya dan sumber daya manusia menjelang penghujung dekade awal milenium kedua. Dinamika ini telah mempercepat gerak kebudayaan Indonesia dengan mengalihkan sejenak dominasi Jawa dan menggiring publik seni pada cara-cara apresiasi baru.
Di sinilah perbedaan pendidikan formal seni dengan residensi. Bagi pekerja seni di Jawa, berpindah-pindah adalah kesempatan yang belakangan relatif mudah didapat. Meskipun pekerja seni di luar Jawa saat ini masih cenderung menunggu inisiatif pemerintah daerah atau ‘orang-orang Jawa’ untuk membangun di daerahnya, keinginan mendobrak batas-batas geografi-ekonomi-sosial-politik telah nampak melalui operasi pertukaran yang difasilitasi event skala besar yang periodik seperti Festival Kebudayaan dan Biennale.
Asialink adalah salah satu penyelenggara residensi seniman Australia ke Indonesia yang beroperasi sejak penghujung 90-an.
Residensi seni, studi banding, mondok, atau retret adalah pengalaman meruang yang mewadahi kontestasi gagasan di luar modus operandi standard seperti pameran atau pertunjukan. Tantangan terbesar bagi para pekerja seni adalah bagaimana ruang-ruang ini mampu mendobrak kemapanan cara kerja seni sekaligus memperkaya nilai interaksi hajat seni dengan publiknya.
Hal terpenting, program residensi seni perlu digugat jika tidak dimanfaatkan melampaui fungsinya hari ini, yakni sebagai titian karir atau pembuktian profesionalisme pekerja seni.