RumahIVAA
RumahIVAA
Akhir bulan kedelapan dalam almanak masehi belum purna, namun semangat kolega magang IVAA dalam berkarya belum padam. Di dalam ruang kecil di sudut lantai dua rumah IVAA, pameran temporer bertajuk BERENAM digaungkan. 25 Agustus 2023 ditunjuk sebagai angka keberuntungan kami untuk membuka pameran yang masih satu suasana dengan rangkaian acara Gelar Griya IVAA 2023. Instalasi-instalasi semi permanen ditegakkan dengan berbagai macam materi pengarsipan, lengkap dengan piranti Mac sebagai gawai pendukungnya. Pameran berjalan sesuai dengan jam operasional kerja IVAA dan akan berakhir di tanggal 1 September 2022.
Kami, sebagai bentuk jamak dari enam anggota magang IVAA kala itu (Saiadin Akhsana, Dhiyah Istina, M. Yusuf Habib, Diah Ayu, Ardhias Nauvaly, dan Faisal Chan), saling menuturkan selayang pandang mengenai hal yang paling dekat dengan kami saat itu yaitu perkembangan dinamika seni. Berangkat dari latar belakang dan ketertarikan yang bermacam-macam, kami mengeluarkan pandangan kami mengenai perjalanan seni.
Sebagai individu yang menggeluti ilmu pustaka dalam pendidikan pascasarjana, Diah Ayu berpendapat dinamika seni dapat dibelah menjadi dua kata dasar: berubah dan berkembang. Dua kata yang mencerminkan bagaimana perkembangan dinamika seni dari dulu hingga sekarang. Melalui berbagai medium, seni mampu mengekspresikan kreativitas dan emosi diri manusia. Memahami perkembangan seni dari waktu ke waktu dapat ditengok dari adanya arsip seni yang telah digaungkan pegiatnya. Arsip seni berperan sebagai jendela ke masa lalu, mengungkapkan visi seniman, perubahan masyarakat, dan dinamika budaya. Dengan arsip, kita dapat menelusuri evolusi seni dan mengidentifikasi titik balik penting dalam perkembangannya.
Faisal Chan berangkat dari studi ilmu komunikasi dan memiliki ketertarikan terhadap isu. Menurutnya, dinamika seni bertumbuh selaras dengan dinamika media yang berubah secara masif. Ia mengatakan, “Sebagai individu yang lahir dan besar diantara era media massa televisi dan new media, aku pun ikut merasakan dinamika seni berubah secara radikal. Dinamika seni dalam era televisi yang bersifat satu arah terbatas oleh kendala komersial, regulasi, dan adanya pembatasan dalam kebebasan berekspresi. Di sisi lain, new media menawarkan kebebasan ekspresi lebih besar kepada seniman, interaksi dua arah dengan audiens, keragaman konten, dan distribusi mandiri melalui platform-platform yang disediakan oleh internet. Tentu dengan majunya teknologi sebagai penanda era new media, dinamika seni mengalami bauran yang lebih kompleks, adanya alat perekam visual sebagai pencetak ekspresi menciptakan ruang gerak yang lebih fluid bagi seniman untuk berkarya”.
Sebagai seorang yang memiliki ketertarikan dan keterikatan dengan penggiat seni di Jogja, Menurut Dhias, dinamika seni dapat dilihat dari bagaimana ia memandang sejarah seni di Indonesia. Tuturnya, “Sejarah seni rupa Indonesia adalah sejarah yang melompat. Modernisme–teguh mengeksplor bentuk dan bahasa–hadir tanpa didahului ketegangan publik luas terhadap kepersisan yang dibawa fotografi. Lalu kontemporer datang—sebagian bilang, “modern saja belum”. Padahal, modern dan kontemporer bukanlah jalur drag. Ini bukan lompatan; ini jalan memutar yang kadang bisa membawa bentuk dan materi tradisional-modern. Wayang di ruang pamer, instalasi kinetik di balai desa. Pendeknya, kontemporer adalah cara pikir kontekstual—tergantung ruang dan waktu“.
Bagi Yusuf yang saat ini sedang menyelesaikan pendidikan D4 AP Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi, manifestasi dari dinamika seni terlihat dari bagaimana pandangannya terhadap studi pengarsipan. “Berbicara tentang ‘arsip’ dan ‘seni’, aku ingin membawa sudut pandangku dalam perjalanannya menjalani hidup. Keduanya membawaku pada sebuah pemikiran yang terbuka, penerimaan terhadap segala pemikiran yang kebanyakan lahir dari keseharian. Kehidupan adalah arsip dan seni. Nafas, gerak-gerik tubuh, dan imaji pemikiran yang lahir dari keseharian adalah seni. Semua terekam jelas pada tiap individu yang menghasilkan kebudayaan. Tiap-tiap manusia punya pendapatnya dan bebas mengutarakannya. Seni dibentuk tidak untuk menjatuhkan, tapi untuk membangun kebudayaan.” ucap Yusuf.
Lain halnya dengan Ian yang memiliki minat di bidang perfilman. Menurutnya, dinamika seni beririsan dengan perkembangan antropologi sekitar. Seni telah melalui banyak perubahan dalam peradaban kehidupan manusia. Perubahan yang terjadi selalu diiringi dengan segelintir orang yang berani melakukan sesuatu hal yang berbeda pada masanya. Perkembangan seni mempengaruhi perilaku tatanan masyarakat pada setiap era kehidupan. Pada hakekatnya, seni selalu berkaitan dengan kata “indah” yang tak luput dari setiap hal yang dilakukan individu. Seni pada era sekarang masih belum mencapai puncak tertinggi dalam keindahannya dan akan terus berkembang selaras dengan tumbuhnya ide dan kreativitas pada manusia itu sendiri. Ian melanjutkan, “Perihal perkembangan seni, arsip selalu berperan penting sebagai ruang untuk meninjau meninjau masa lampau. Tidak jauh berbeda dengan sejarah, perkembangan seni juga dapat kita lihat dan rasakan di setiap masanya. Itu semua hanyalah bagian dari perputaran trend yang akan terjadi berulang kali. Ketika berbicara dengan arsiparis, besar kemungkinan anda tau seni seperti apa yang terbilang “hebat” di masa depan”.
Dhina yang lahir dan besar di keluarga penggiat seni berpendapat bahwa perkembangan seni akan terus mengalami perkembangan media selaras dengan pengalamannya melihat seni berkembang. “Kadang terkandung dari siapa lawan bicara, kadang dari proses melihat bagaimana sikap masyarakat menanggapi isu, atau bahkan dari apa yang saya pikirkan saja. Mungkin dinamika perubahan organik itu juga terjadi pada setiap orang dan akhirnya mempengaruhi bentuk karyanya” ucapnya. Lebih lanjut lagi, Ia menuturkan bahwa bagaimana ia menikmati seni ketika kecil tidaklah sama ketika sudah beranjak dewasa. “Atau kembali ketika saya kecil dulu, seni ya seni saja. Tanpa mengotakkan seni ke dalam kluster tertentu. Seni ya seni. Tapi kini dari kebiasaan antara satu jenis ke jenis lainnya yang semakin mempengaruhi, mungkin besok bisa saja terjadi (berubah). Mungkin”. Akhir kata, Dhina mengajak semua untuk bijak dalam menikmati seni dan mendiskusikannya secara hangat, sesuai dengan caranya menikmati dan memandang seni.
Keenam pandangan tersebut kami ramu ke dalam sebuah pameran pengarsipan yang bersifat sementara. Hasil dari ramuan tersebut berbentuk kolektif bagaikan mixtape yang berisi cuplikan-cuplikan kegiatan seni yang berhasil ditangkap secara visual dari masa ke masa. Perihal era yang diangkat memiliki kisaran tahun antara tahun 90-an hingga tahun 2000-an. Kami berenam sangat berterimakasih kepada IVAA karena sudah memfasilitasi kami dalam menyediakan material yang dibutuhkan. Besar harapan kami dengan adanya pameran BERENAM dapat menarik ingatan kembali tentang seni yang terekam di masa lalu, menikmati kegiatan seni yang terjadi saat ini, dan berharap sesuatu yang baru ataupun lebih kontemporer pada perkembangan seni di masa yang akan datang.