oleh Krisnawan Wisnu Adi
Hari kedua diskusi panel pameran tunggal Suvi Wahyudianto kali ini diisi dengan dua diskusi panel dengan tema besar “Praktik Seni sebagai Praktik Pemberdayaan Diri dan Masyarakat”. Sebelumnya, sama seperti di hari pertama, dua diskusi panel tersebut dibuka dengan pidato kunci. Melalui pidatonya, Alia Swastika menyampaikan bahwa apa yang dilakukan Suvi merupakan sebuah strategi untuk merawat ingatan dan membangun imajinasi visual dari ingatan atas identitas sosial; sebuah strategi yang bisa menjadi langkah produktif untuk pemberdayaan diri dan sosial. Masih senada dengan panel diskusi pertama di hari sebelumnya yang dibawakan oleh Anne Shakka, Alia juga menekankan peran metode autobiografi dan auto-etnografi sebagai upaya perbincangan diri dengan konteks di luar diri yang lebih besar. Salah satunya adalah sejarah. Praktik artistik yang melepaskan kisah-kisah personalnya, selain memunculkan ketegangan antara ruang privat dan publik, juga memberi kemungkinan sejarah dari bawah.
Sekilas menarik ke belakang, Alia mengatakan bahwa pada era Renaisans dan Modern, karya-karya bernuansa autobiografi muncul dalam bentuk potret diri hingga yang lebih menekankan memori di level personal. Karya-karya Rembrandt dan Van Gogh menjadi dua dari sekian banyak karya di wilayah itu. Alia juga mencontohkan kekaryaan dari Frida Kahlo yang mengupayakan kemungkinan-kemungkinan personalitas perempuan dalam sejarah seni. Lalu di dalam seni kontemporer, peran wajah dan tubuh mulai tergantikan oleh sejarah diri yang direpresentasikan melalui kehadiran benda-benda yang mempertanyakan kembali ingatan-ingatan beserta materialnya; mengajukan beragam pertanyaan-pertanyaan sembari mencari kemungkinan lain pasca ingatan.
Poin personalitas dalam singgungannya dengan konteks yang lebih luas di dalam pidato Alia mengantarkan partisipan ke diskusi panel kedua yang bertajuk “Melihat Arah Praktik Berkesenian Perupa Muda Hari Ini”, yang dimoderatori oleh Umi Lestari. Sigit Pius, sebagai pembicara, berangkat dari fenomena ‘sobat ambyar (sebutan untuk kawula muda yang akhir-akhir ini menggandrungi lagu-lagu Didi Kempot)’ yang sedang marak. Bagi Pius, seolah-olah sekarang ini kita hidup dalam satu ambiens; kita diminta untuk bersama-sama mengumpulkan air mata mewadahi penderitaan. Persis seperti apa yang para ‘sobat ambyar’ lakukan.
Ia menambahkan bahwa situasi semacam ini hanya mungkin terjadi ketika suatu kekuasaan memaksakan kehendaknya dan selalu mencari peluang melanggengkan pengaruh di tingkatan vertikal. Sementara di lapisan bawah, mereka berkumpul menangis menghimpun penderitaan. Begitu berbeda dengan jaman 1990-an. Karya-karya yang muncul cenderung bernuansa marah.
Aspek personalitas yang begitu kuat, seperti apa yang Pius utarakan tersebut, cukup senada dengan ungkapan Suvi, bahwa seluruh dimensi material dalam karya-karyanya memang menjadi medium refleksi perasaan. Meski demikian, Anton Rais agak kurang sepakat jika seolah nelangsa menjadi kecenderungan kekaryaan perupa muda saat ini. Ia lebih melihat bahwa mereka juga tidak jarang bersinggungan dengan isu-isu lingkungan, feminisme, dll.
Selain mengulas singkat soal kecenderungan praktik perupa muda, tim Cemeti juga menggelar diskusi panel ketiga dengan tajuk “Seni Berbasis Riset” – Penelitian Artistik dan Praktik Seni Lukis di Mata Perupa Muda, yang dimoderatori oleh Manshur Zikri. Ayos Purwoaji dan Arham Rahman hadir sebagai pembicara.
Bukankah seni itu selalu berbasis riset? Ini adalah pertanyaan yang membuka diskusi. Ayos juga menekankan hal sama, ketika praktik riset dalam kerja artistik sudah dilakukan oleh para seniman terdahulu. Soedjojono (seni lukis sebagai alat observasi sosial), Affandi (observasi di sebuah café di Perancis untuk bahan melukis), Dullah (sewaktu revolusi, menyuruh anak-anak didiknya melukis apa yang terjadi), seniman-seniman Lekra (metode TURBA), Moelyono (seni rupa penyadaran), dan di wilayah kampus (residensi atau observasi dulu untuk kemudian membuat karya).
Selain menekankan bahwa praktik riset dalam kerja artistik bukanlah hal baru, Ayos juga mengatakan bahwa wacana ini juga dekat dengan etnografi. Seperti halnya kedekatan Koentjaraningrat dengan lukisan. Di samping diakuinya beliau sebagai bapak antropologi Indonesia, ternyata Koentjaraningrat sedari kecil gemar melukis dan pernah beberapa kali berpameran. Tetapi apakah lukisan-lukisannya termasuk ke dalam lukisan/ gambar etnografis? Belum tentu.
Apakah riset artistik selalu, bahkan hanya, berhubungan dengan etnografi? Agaknya Arham menjawab tidak. Ia dengan tegas membedakan antara riset artistik dengan seni berbasis riset. Yang terakhir itu merupakan praktik yang sering dilakukan oleh seniman-seniman kontemporer. Di sisi lain, riset artistik adalah penelitian berbasis praktik. Bukan seniman mengkaji subjek lain, melainkan dirinya sendiri; mengkaji praktik artistiknya. Si seniman mensimulasikan kegiatan dalam jangka panjang, bukan memanggil kembali ingatan-ingatan masa lalu yang dikawinkan dengan fenomena sekarang.
Arham menambahkan 3 poin penting, bahwa riset artistik harus (1) eksperimental, (2) self-reflective & self-critical, dan (3) metodologis, yang sebenarnya poin ketiga ini belum mencapai kesepakatan pendapat. Alih-alih membicarakan bagaimana riset artistik dilakukan di skena kesenian kita, Arham justru mengatakan bahwa lebih baik riset artistik tidak masuk dulu, karena kita masih belum matang dengan banyak hal.
Diskusi ini setidaknya dapat memberi penjelasan ketika banyak kawan-kawan yang menggunakan istilah riset artistik dan seni berbasis riset dalam pengertian sama. Kecenderungan semacam itu justru menebalkan pengaruh elemen akademis/ riset/ logis-konseptual di dalam praktik seni kontemporer. Sementara, karya-karya seni dengan pendekatan demikian bisa juga disebut, meminjam perkataan Ayos, karya seni kuasi-antropologis (etnografis).
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Januari-Februari 2020.