oleh Prima Abadi Sulistyo
Diskusi Panel: INGATAN BERGEGAS PULANG sebagai satu rangkaian dalam pameran tunggal Suvi Wahyudianto di Cemeti-Institut untuk Seni dan Masyarakat (15/01/20) dimulai saat siang hari, sekitar pukul 14.00 WIB. Tema pertama dalam diskusi panel ini bertajuk “Konteks Seni Rupa di Ranah lainnya” yang dibuka dengan pidato kunci oleh St. Sunardi. Adapun panel 1 mengenai “Seni Rupa, Autoetnografi, dan Rekonsiliasi” dibahas oleh Anne Shakka dan Diah Kusumaningrum. Acara yang dimoderatori Muhammad Abe ini diawali dengan pembacaan puisi dari Suvi Wahyudianto. Pembacaan puisi oleh Suvi kemudian dilanjutkan dengan diskusi.
Melalui pidato kuncinya dengan judul “Membangun Monumen Masa Depan dengan Jejak-jejak Masa Lalu”, Sunardi membicarakan pembacaannya atas karya Suvi. Sunardi menggunakan pendekatan sastra. Kesan Sunardi juga terlihat ketika menjelaskan bagaimana Suvi, melalui judul karyanya, membuat metafora. Yang dimaksud Sunardi sebagai jejak-jejak bukanlah sebagai tanda atau penanda dari diri Suvi. Ia menjelaskan bahwa sebagai sebuah jejak kita tak perlu untuk menafsirkan, memaknai atau mencari maknanya lagi. Dengan berangkat dari gagasan writing degree zero-nya Roland Barthes, Sunardi melihat bahwa karya Suvi ini sebagai image degree zero. Artinya, orang langsung paham dan mafhum, bahwa karya dari Suvi ini otentik tanpa ada embel-embel tafsirannya (sekali lagi bahasa/ gambaran yang mempunyai kekuatan jejak-jejak). Karena berada dalam tataran jejak-jejak, karya Suvi bisa menjadi rumah dan tempat tinggal kita.
Dari karya Suvi ini, Sunardi mempunyai pandangan baru terkait rumah, yang jangan-jangan selama ini rumah adalah bagian dari jejak-jejak yang kita lalui. Rumah adalah kumpulan dari jejak-jejak yang bila ditafsirkan oleh penghuninya, maka mulai menjadi tempat yang tidak nyaman bagi si penghuni itu sendiri. Hal itu kemudian disambungkan dengan bentuk kekaryaan Suvi. Seperti rumah, karya Suvi bisa dilihat sebagai jejak dari si penghuni tanpa ada tafsiran-tafsiran lainnya. Apabila boleh saya tafsirkan, hal ini sebagai bentuk otentik karya Suvi Wahyudianto. Kita tahu bahwa Suvi adalah orang Madura. Bentuk karya-karyanya ini adalah pengalaman hidup seorang Madura yang diejawantahkan ke dalam bentuk lukisan dan seni instalasi (wujud dari pergulatan batin seorang Madura –studi kasus konflik Madura Dayak di Sampit medio 2000-an).
Di dalam pidato kuncinya, Sunardi mengucapkan kalimat kritis nan puitis untuk kekaryaan Suvi: “sepertinya dari pangkalan ini, Suvi mau melawan fatwa dari Adorno”. Sebagai seorang Yahudi yang berlari ke Amerika, Adorno mengatakan bahwa setelah Auschwitz tidak ada lagi puisi. Bagi Sunardi, hal ini tidak berlaku untuk Suvi, karena setelah peristiwa Sambas masih ada puisi dan prosa. Puisi dan prosa Suvi bukan hanya dimaknai sebagai rangkaian kata penuh makna atau hiburan semata. Sunardi menekankan bahwa puisi dan prosa ini dapat dipahami sebagai bangkai-bangkai visual lirik yang menduduki posisi jejak. Melalui jejak kita bisa membangun rumah kembali dan koordinat yang kosong di jagad ini.
Sunardi mencoba membicarakan kembali kejadian di Sambas waktu itu. Beliau mengatakan peristiwa yang terjadi 20 tahun lalu itu adalah peristiwa yang tidak mau diingat oleh kita, baik penyebabnya, kejadiannya, bahkan hal-hal pasca konflik itu. Sunardi menjelaskan melalui karya Suvi Wahyudianto kita mendapatkan kesempatan untuk berhadapan kembali dengan peristiwa yang selama ini tidak ingin kita ingat dan akui. Bukan melalui aspek sensasional maupun kengeriannya, melainkan pengalaman keruangan (diakronik) dalam berbagai suasana. Salah satu karya yang menarik menurut Sunardi adalah karya Suvi yang berjudul “Sapi dan Reruntuhan”. Dari karya itu kita seperti dilihat oleh hal-hal yang sebenarnya tidak ingin kita lihat.
Dalam pidatonya, hal terakhir yang Sunardi ucapkan adalah bahwa sebuah eksplorasi dari masa lalu, yang dari sana bisa terbangunnya monumen masa depan, bukan sebuah masa lalu (sanctuary) yang cengeng. Sunardi menutup pidato kuncinya dengan nukilan perkataan Jacques Derrida: to forgive the unforgivable (mengampuni sesuatu yang tidak bisa kita ampuni).
Panel 1: Seni Rupa, Autoetnografi, dan Rekonsiliasi
Dalam diskusi panel 1 ini, Anne sedikit banyak membahas tentang autoetnografi. Metode Autoetnografi sama halnya dengan etnografi yang di dalamnya terdapat kajian budaya dan keseharian masyarakat tertentu. Ia menerangkan soal sejarah bagaimana cabang ilmu ini muncul, ketika kecenderungan subjektivitas individu mulai dihargai. Meski Anne merasa asing untuk menyoal seni, ia mencoba menggunakan metode autoetnografi untuk memahami karya Suvi. Meski demikian, Anne memang lebih banyak menjelaskan perihal metode ini, seperti kelebihan dan kekurangannya. Implikasinya adalah hubungan metode ini dengan kekaryaan Suvi tidak terlalu nampak. Anne hanya sedikit membahas pengalaman diri Suvi kecil dan proses penelitiannya saat berada di Pontianak dalam rangka mencari materi untuk berkarya. Tetapi poin menariknya adalah bahwa Anne cukup menekankan pentingnya metode ini untuk terapi atas peristiwa masa lalu bagi seorang seniman.
Diskusi lalu dilanjutkan oleh Dian Kusumaningrum yang lebih membahas perihal rekonsiliasi. Ia bercerita tentang pengalamannya saat menangani konflik dan rekonsiliasi di Ambon. Dian mencoba menjelaskan mengapa beberapa kelompok sering terjadi konflik. Salah satu penyebabnya adalah kelangkaan. Dian mengambil contoh konflik agama. Bahwa permasalahan identitas antar agama bukan menjadi faktor utama, tapi lebih ke arah klaim kebenaran dari masing-masing kelompok agama sebagai sesuatu yang langka, dan mengagungkan kebenaran tersebut. Jadi dalam permasalahan konflik tidak saja membahas permasalahan konfliknya tapi juga perilakunya. Dian juga menggambarkan perdamaian sebagai sebuah istilah yang tricky. Banyak unsur peyoratif dalam berbagai kesepakatan damai.
Rekonsiliasi menurut Dian sendiri dibagi menjadi 2 garis besar. Hal pertama adalah soal hubungan dan yang kedua soal keberanjakan dari konflik sebelumnya. Di Afrika Selatan, tempat di mana rekonsiliasi antar kulit hitam dan kulit putih dianggap paling berhasil pun belum sepenuhnya terjadi peleburan (masih terjadi segmentasi pada sebagian warganya). Mengenai keberanjakan dari konflik masa lalu, Dian mencoba menghubungkan tema rekonsiliasi ini dengan karya Suvi “Menjahit Kertas” yang bermaknakan menjahit luka lama, berdamai dengan diri sendiri, dan membuka sebuah lembaran baru dari konflik yang terjadi di masa sebelumnya (metafora kertas yang dijahit oleh Suvi).
Kekerasan atau konflik masa lalu bagi Dian bukan menjadi sesuatu yang dilupakan. Dian menjelaskan bagaimana pada akhirnya kita justru melipat ingatan soal konflik. Dian mengambil contoh konflik di daerah Ambon medio 2000. Pernah suatu ketika ada warga muslim yang ketika bertamu di rumah keluarga Kristen, mereka menghargai hidangan yang disuguhkan. Artinya, meski sedang terjadi konflik besar pun, ketika suatu kelompok atau orang sudah tidak lagi menganggap dirinya sebagai korban (victim), tanda-tanda rekonsiliasi akan terjadi.
Mengenai kekaryaan Suvi Wahyudianto, Dian mengatakan bahwa Suvi telah selesai dengan metode autoetnografinya. Suvi sudah pada tahap membagikan hasil karyanya untuk kita tonton. Maka dari itu, ia tidak lagi memproduksi performans. Melalui proses bertemunya karya dengan publik, karya-karya Suvi telah memunculkan performativitas; ketika ada produksi dan reproduksi makna antara pelaku dan penonton.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Januari-Februari 2020.