ilustrasi : Hendra ‘Blankon’ Priyadhani
Oleh: Tiatira
Tulisan ini berangkat dengan mengutip paragraf pertama tulisan Sanento Yuliman pada Koran Pikiran Rakyat Bandung bulan Juli, 1990, berjudul Ke Mana Seni Lukis Kita? Boom Seni Lukis: Kemelut, demikian:
“Boom seni lukis yang ramai dibicarakan orang itu bersangkut-paut dengan berbagai pihak atau unsur yang sedikit atau banyak, langsung atau tidak, berperan di dalamnya – mempengaruhi dan dipengaruhi olehnya. Kita telah menyebutkan beberapa diantaranya: pelukis, galeri, sponsor, dan ‘pembutuh’ (yaitu pihak yang membutuhkan atau timbul kebutuhannya akan) lukisan, baik orang maupun badan, kolektor maupun bukan. Tentu masih ada pihak atau unsur lain”
Di situ dikatakan bahwa peran dalam kesenian bukan hanya seniman. Kata peran sendiri menunjuk pada fungsi khas individu dalam dunia seni rupa, yang bisa dilihat dari kesamaan praktik dan lahan atau bidangnya. Dan setiap peran saling mempengaruhi secara langsung ataupun tidak langsung. Tetapi mengingat hari ini kita mengenal banyak sekali peran baik dari Diksirupa (seperti kolekdol, kolektor, kritikus, kurator) atau pun dari artikel seni rupa (seperti art dealer, art broker), sebenarnya peran apa saja yang fungsinya terlihat jelas pada medan seni rupa Indonesia? Dari sini kita akan mencoba melihat persepsi terhadap peran dengan menelusuri jejak kemunculannya melalui kondisi yang melatari serta pengaruhnya pada medan seni rupa melalui keberlangsungan fungsi dari kumpulan arsip IVAA tahun 1960 hingga hari ini.
Di tahun 1960-an, segala bentuk penulisan seni rupa seperti esai, berita, atau pun kritik dikenal dengan sebutan jurnalisme seni rupa, contohnya tulisan Oesman Effendi ataupun Sanento Yuliman mengenai seni lukis Indonesia. Informasi berbentuk pembacaan praktik seni rupa melalui berbagai sudut pandang pada saat itu merupakan bentuk paling sering ditemukan sebelum tahun 1970-an kritik seni rupa mendominasi media massa. Yang oleh Sanento Yuliman pada tahun 1990-an dibahas sebagai satu keutuhan jurnalisme seni rupa, dimana tidak boleh hanya kritik seni saja yang disoroti, khususnya pada media massa, karena akan terjadi kepincangan informasi pada medan seni rupa berikutnya. Hal tersebut memperlihatkan bahwa konteks penulisan sebagai sumber informasi kepada masyarakat saat itu lebih banyak mengeluarkan evaluasi kritis dari suatu objek.
Bicara mengenai kritik dari kritikus seni, sebutan yang juga melekat pada Sanento Yuliman sendiri hadir sejak kritik terhadap lukisan mooi indie muncul di era 40-an. Walaupun sudah ada kritik pada tahun 1937 ketika Sudjojono mengkritisi pameran koleksi PA. Regnault, tapi kritik seni pertama kali dituliskan oleh Sudjojono berjudul Seni Loekis, Kesenian dan Seniman, pada Penerbit Indonesia Sekarang tahun 1946. Setelah itu kritik terhadap kesenian semakin marak di media massa, ditulis oleh Trisno Sumardjo, Basuki Resobowo, Oesman Effendi, dsb dengan benang merah corak kesenian Indonesia.
Sudjojono sendiri di tahun yang sama, secara khusus menulis bahwa ternyata persebaran seni menjadi lebih cepat dengan adanya kritikus dalam membahasakan seni kepada publik dan mampu mempengaruhi arah perkembangan seni. Ideologi bulat para kritikus saat itu bisa dirasakan melalui semangat yang melahirkan Seni Rupa Modern Indonesia, sehingga posisi kritikus dalam hidup kesenian saat itu menjadi dipertimbangkan. Tapi kemudian muncul kekhawatiran bahwa arah kesenian Indonesia bisa jadi terbawa pada satu ideologi kritik yang paling kuat. Yang sejak awal pun Sudjojono sudah berpesan bahwa kritikus harus bersikap objektif, ia harus berdiri lepas dari golongan apapun[i].
Di era 60-an akhirnya muncul kritik terhadap kritikus yang tidak objektif. Pada saat itu, Sanento menyebut dengan istilah “kritik atas nama”, kritik yang muncul dari suatu pemahaman sempit mengenai sikap kritikus dan ideologi kritiknya pada surat kabar Sinar Harapan pada tahun 1969:
“Lebih dari sebagai antjaman artistik dan moril, kritik-atas-nama kerapkali merupakan antjaman sosial dan fisik bagi seniman2 kita. Orang2 Indonesia mempunjai kehidupan spiritual jang sungguh sangat tinggi: mereka mudah sekali membabi-buta dalam spirit kebentjian jang memuntjak”
Kutipan tersebut memperlihatkan bahwa lingkungan seni saat itu belum terbiasa dengan kritik. Model kritik berupa sanjungan tanpa ada evaluasi merupakan bentuk permakluman lingkungan yang belum mempunyai budaya kritik, sehingga subjektivitas kritikus saat itu justru memunculkan kondisi di mana kritik melahirkan kritik baru kepada dirinya sendiri. Salah satu contohnya adalah kritik Kusnadi terhadap tulisan Mara Karma mengenai pameran karya-karya Nashar, dengan menyinggung tentang pedoman penulisan seni rupa, mempertanyakan lalu menjawabnya dengan dugaan-dugaan sendiri tentang pentingnya memaparkan realita yang berdasarkan pada teknis kerja seni, dan bukan hanya sanjungan belaka[ii]. Perbincangan mengenai acuan kritik seni pun bergulir di era 70-an hingga awal 80-an yang dituliskan oleh Sudarmaji, Kusnadi, Dan Suwaryono. Di tahun 1983 untuk pertama kalinya diadakan diskusi mengenai penulisan seni rupa yang secara umum memberikan gambaran besar mengenai perkembangan dan posisi penulisan seni rupa saat itu dari respon seniman serta kajian sejarah seni rupa Indonesia. Pedoman kritik seni rupa pada tahun 1997 dibukukan dalam Beberapa Pandangan Kritik Seni Rupa berisi tentang empat azas kritik yang garis besarnya memaparkan pokok kritik seni rupa sebagai apresiasi kritis berupa interpretasi yang mampu menggambarkan realitas sebuah karya berdasarkan kriteria yang digunakan kritikus dalam menganalisa, di mana harus ada keterbukaan mengenai pengetahuan dan informasi yang dimiliki dan dibagikan sehingga evaluasi mengenai seni rupa yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan sebagai nilai mutu sebuah karya.
Namun sepertinya nilai yang diberikan oleh sebuah kritik seni pada era 80-90-an kalah kuat dengan kehadiran kolektor. Memang pengaruhnya bukan pada idealisme seni rupa tapi lebih pada tingkat produksi seni, khususnya seni lukis. Bung Karno adalah kolektor pertama yang mengoleksi lukisan pada tahun 1942 di masa pengasingan dan yang pertama kali memperkenalkan budaya mengoleksi lukisan pada publik melalui “Pameran Lukisan Koleksi Enam Kolektor Djakarta” tahun 1952 . Pada saat itu pembelian karya adalah bentuk apresiasi terhadap teknik ataupun gagasan seorang seniman. Beda halnya dengan kondisi setelah tahun 1990-an di mana krisis menyebabkan harga rupiah turun. Seperti aji mumpung untuk kolektor manca negara, mereka berlomba-lomba berburu lukisan Indonesia baik sebagai gaya hidup atau pun investasi. Selain itu kemunculan kolektor mancanegara juga disebabkan oleh banyaknya balai lelang internasional beroperasi di Indonesia pada tahun 1993 dan memberikan wacana internasional mengenai seni lukis Indonesia. Di tahun 1994, secara khusus lelang lukisan mengenai dan dari Indonesia diadakan di Singapura. Hal ini menjadikan seni lukis Indonesia sebagai primadona yang mendominasi balai lelang Asia. Sanento Yuliman dalam tulisan boom seni lukisnya bukan hanya mengkritik tendensi komersial sebuah fenomena boom seni lukis tapi juga memperlihatkan bagaimana wajah medan seni saat itu[iii], di mana kolektor berada di jalur utama dan menjadi barometer baru setelah kritikus.
Hal tersebut dibicarakan pula pada diskusi Forum Seni Rupa mengenai Lukisan Biennale pada tahun 1989 yang mengkritisi penilaian sebuah karya pada era 80-an dengan menyebutkan tiga poin penilaian sebuah karya yaitu dilihat dari hitungan nominal atau harga jual, tingkat popularitas seniman, dan nama-nama kolektor yang pernah mengoleksi karya-karya seniman tersebut. Jika dilihat dari runutan sebab-akibat, sebenarnya tiga poin tersebut seluruhnya terikat pada poin terakhir. Bahwa popularitas seniman sesungguhnya bergantung pada nilai jual karya yang terbeli oleh kolektor. Di tahun 2000-an, keinginan untuk mempublikasikan dan memamerkan koleksinya membuat banyak kolektor mencetak daftar koleksi menjadi buku atau membuka ruang-ruang seperti museum pribadi atau rumah seni atas koleksinya. Sehingga pada saat itu kolektor bukan hanya menentukan nilai sebuah karya tetapi juga berkontribusi terhadap wacana seni rupa Indonesia. Dari situ muncul harapan ideal mengenai figur kolektor di tengah era industri kesenian, yang dipaparkan oleh Rizki A. Zaelani pada majalah Visual Art edisi Januari 2008. Dalam kerangka seni rupa, kolektor adalah individu yang memiliki pengetahuan seni rupa dan naluri estetik dalam aktivitas mengoleksi dan menyadari historiografi seniman sehingga pada suatu masa, harapannya, koleksinya memberi kontribusi signifikan pada dunia seni rupa.
Kemudian, salah satu peran yang kehadirannya pada tahun 90-an layak diperhitungkan ialah kurator. Pada awal tahun 90-an memang kurator cenderung diposisikan sebagai alat pembuka peluang pasar oleh kepentingan komersial galeri. Kehadirannya sebagai mediator kreasi-apresiasi pada galeri antara seniman dengan kolektor tidak jauh berbeda dengan kehadiran art dealer sebagai mediator jual beli pada bursa seni. Sehingga pada saat itu persepsi seniman terhadap kurator memang seperti melihat seorang event organizer. Sekitar tahun 2005 beberapa kurator seperti Kuss Indarto, Jim Supangkat, dan Enin Supriyanto berusaha meluruskan peranan kurator dalam medan seni. Pada Harian Umum Kedaulatan Rakyat tahun 2005 Kuss Indarto memaparkan sistem kerja kurator menjadi dua tipe. Yang pertama ialah dengan mengolah gagasan, berangkat dari riset mengenai suatu soal untuk dijadikan pedoman dalam memilih karya atau seniman sesuai konteks gagasan. Yang kedua ialah, dengan cara membaca kembali dan membongkar pemaknaan kumpulan artefak karya yang sudah ada. Dan di tahun yang sama lokakarya Multi-Faceted Curator membuka wawasan kurator mengenai peran dan identitas kurator dari refleksi kurator-kurator Internasional. Dari inisiasi-inisiasi yang sudah terlaksana, kemapanan peran kurator semakin terlihat.
Pada tahun-tahun berikutnya gagasan kurator selalu hadir di hampir setiap pameran, baik pada agenda berskala kecil atau pun agenda tahunan. Maraknya pameran yang diselenggarakan dengan minimnya jumlah kurator seakan menguras kemampuan kognitif kurator untuk mencerap permasalahan di sekitarnya, baik mengenai seniman ataupun publik seni. Sehingga semakin sedikit wacana baru yang diproduksi oleh kurator kala itu. Hal tersebut dikritisi oleh Agung Kurniawan di tahun 2008 pada koran Tempo. Dalam tulisannya ia memposisikan diri sebagai praktisi seni rupa yang melihat kondisi medan seni rupa. Menurutnya tidak ada wacana seni rupa baru di tengah maraknya agenda besar seni rupa saat itu. Seakan skala besar pada agenda-agenda kesenian tersebut hanya berlaku pada skala ruang, bukan ideologinya. Minimnya kurator yang membawa gagasan baru mengakibatkan seni rupa Indonesia hanya berhasil menembus art fair ketika orientasinya adalah go internasional. Tuntutan bahwa kurator harus memberikan wacana baru memperlihatkan bahwa fungsi dan kualitas kurator sudah diakui saat itu. Hanya saja distribusi wacana saat itu memang berporos pada ruang-ruang independen dan kolektif seniman. Kerja kolektif memang menjadi satu bentuk baru yang hadir di tahun 2000 ke atas seperti Jogja Biennale: Hacking Conflict. Sehingga kurator berada di posisi sebagai kolaborator proses penciptaan dan pengembangan gagasan dilakukan kolektif seniman bersama-sama menginisiasi satu proyek atau bahkan membangun satu sistem seni.
Lahan kurator dalam penulisan seni rupa sendiri memiliki ruang yang berbeda dengan jurnalis atau pun kritikus seni. Kendati semuanya merupakan mediator seniman dan masyarakat, namun posisi kurator tidak bisa disamakan dengan posisi penulis seni rupa lainnya. Jika dikembalikan pada pembahasan awal bahwa jurnalisme seni rupa terdominasi oleh kritik seni di tahun 1980-an, hari ini kita tidak bisa menudingkan tuduhan serupa pada kurator mengenai tenggelamnya kritikus seni hari ini karena kuratorial tidak memakan lahan kritikus sebagai apresiator kritis dalam media massa dan tidak juga menggantikan posisi kritikus dalam bagan jurnalisme seni rupa sebagai sumber informasi kritis suatu objek atau agenda seni.
Sampai di situ pembacaan atas berbagai macam peran yang berkelindan dalam medan seni rupa hingga hari ini. Baik kritikus, kolektor, maupun kurator sama-sama menyokong struktur kesenian. Hanya saja belum ada rumusan yang tepat mengenai bagaimana peran-peran tersebut bergerak secara seimbang pada medan seni rupa.
[i] Sudjojono S. 1946. Seni Lukis, Kesenian, dan Seniman. Yogyakarta: Indonesia Sekarang.
[ii] Kusnadi. 1971. Penilaian Seni untuk Menjandjung Memang “Quo Vadis”. 22 Desember.
[iii] Yuliman, Sanento. 1990. Medan Seni Lukis Kita: Permasalahan. Media Indonesia. 20 Januari.