Ditulis oleh Katherine Bruhn, diterjemahkan oleh Pitra Hutomo, sebagai bagian dari rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin Dwi Bulanan edisi November-Desember 2016.
Biennale Sumatra Ketiga diadakan 19-22 November 2016 di Taman Budaya Jambi, menampilkan karya-karya 60 seniman yang membawa identitas kedaerahan dari 10 propinsi di Sumatra. Perhelatan ini sekaligus menunjukkan bahwa seniman-seniman di Sumatra senantiasa berupaya memantapkan keberadaan dan pertumbuhan mereka kepada kalangan seni Indonesia yang kompetitif dan Jawasentris. Walaupun perhelatan ini semestinya mengerahkan seluruh daya dan upaya untuk memamerkan karya-karya seniman peserta dan gambaran pertumbuhan seni rupa di Sumatra, acara pembukaan dan penyelenggaraannya justru mengesankan sebaliknya; karakter “biennale” nyaris tak nampak di perhelatan ini. Hadir di pembukaan membuat saya bertanya-tanya tentang peran pemerintah dalam pengembangan seni di daerah, kemudian bagaimanakah makna istilah “biennale” saat diterapkan pada pameran lukisan yang sedikit lebih megah dari biasanya?
Pameran tahun ini menandai ketiga kalinya penyelenggaraan Biennale Sumatra dan untuk pertama kalinya pameran diselenggarakan di Jambi. Sebelumnya pada 2012 dan 2014, Sumatra Barat (Padang) menjadi tuan rumah Biennale Sumatra sekaligus “Pra Biennale” tahun 2011. Dengan membawa perhelatan ini ke Jambi dan selanjutnya ke daerah-daerah lain di Sumatra sesuai rencana, para seniman yang terlibat mengharapkan Biennale Sumatra menjadi serupa daya dorong yang dibutuhkan untuk mengembangkan seni rupa di Sumatra – hasrat yang jamak ditemui dan semakin menguat setelah penyelenggaraan Pameran Lukisan dan Dialog Perupa Se-Sumatra tahun 1993 (PLDPS). Bagaimanapun, Biennale Sumatra Ketiga menunjukkan bahwa upaya mengerahkan daya dorong pun masih terbentur keterbatasan infrastruktur dan utamanya ketersediaan sumber daya manusia, yakni massa kritis yang mampu menyikapi isu-isu dalam wacana seni kontemporer.
Setibanya ke Taman Budaya Jambi, saya terheran-heran mengetahui bahwa bunga papan sebagai penghargaan atas dibukanya Biennale Sumatra Ketiga juga bertuliskan selamat atas dibukanya Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera XIX (PPSS). PPSS yang diadakan bergiliran di Taman-taman Budaya Propinsi di Sumatra setiap tahun sejak 1997, ditujukan untuk memamerkan seni rupa sekaligus mempertunjukkan seni tradisi. Di Jambi, kombinasi dua perhelatan ini sangat kentara saat acara pembukaan yang berlangsung Sabtu malam. Sembari menyaksikan peresmian acara dengan pidato para pejabat pemerintahan antara lain Kepala Taman Budaya Jambi, Anggota Komisi X DPR, dan Gubernur Jambi, di dalam ruang pertunjukan yang penuh sesak, hadirin menyaksikan tarian tradisional dan “fashion show” pakaian adat dari tiap propinsi di Sumatra. Kurator Biennale Sumatra, Suwarno Wisetrotomo maupun seniman peserta pameran tidak menyampaikan pidato. Bahkan hadirin baru bisa memasuki ruang pamer untuk Biennale Sumatra setelah jam 10 malam. Bisa dibayangkan pada jam tersebut sebagian hadirin memilih untuk pulang daripada menonton pameran. Baru belakangan saya tahu bahwa kedua perhelatan ini, Biennale Sumatra Ketiga dan PPSS, digabungkan untuk menarik animo pengunjung Taman Budaya Jambi, terlebih karena mereka tidak menempatkan pegawai khusus untuk mengelola audiens seni kontemporer di Jambi.
Betapapun politisnya, Biennale Sumatra Ketiga layak mendapatkan selamat karena telah berhasil mendatangkan karya-karya dari seniman yang mewakili keragaman propinsi-propinsi di Sumatra. Dalam esai kuratorialnya, Suwarno Wisetrotomo menyatakan bahwa umumnya identitas suatu Biennale terfokus pada kota saja, misalnya di Venezia atau di kota-kota di Indonesia seperti Yogyakarta, Jakarta, dan Makassar. Sehingga keinginan merepresentasikan suatu pulau yang terdiri dari beragam kelompok etnis atau suatu kewilayahan di dalamnya seperti Jawa Timur atau yang baru saja berlangsung, di Jawa Tengah, memiliki tantangan tersendiri. Barangkali pertanyaan awal yang harus diajukan adalah seberapa besar kemungkinan untuk menyelenggarakan pameran yang mampu menghadirkan konsep, atau bahkan identitas “Sumatra”?
Pameran tahun ini diselenggarakan dengan menyeleksi karya dari pendaftaran terbuka sekaligus karya-karya yang mewakili seniman visual (pelukis) senior Jambi yang dianggap berperan maupun berpengaruh dalam pengembangan seni rupa di propinsi tersebut. Menurut Suwarno Wisetrotomo para seniman yang melalui proses seleksi dari pendaftaran terbuka adalah generasi muda Sumatra yang akan menentukan arah perkembangan seni kontemporer di Sumatra. Dengan menghadirkan seniman junior yang saat ini aktif bersamaan dengan seniman senior yang sebagian telah meninggal dunia, para hadirin mendapat kesempatan untuk melihat langsung bagaimana estetika seni modern dan kontemporer telah berkembang, khususnya di lingkup Propinsi Jambi. Menarik juga untuk mengamati bagaimana aspek biennale ini dilanjutkan di Biennale 2018 yang akan kembali diselenggarakan di Padang; suatu keputusan yang diambil dalam salah satu “parallel events”, yakni suatu diskusi antar seniman yang diselenggarakan sebagai perpaduan acara biennale dengan PPSS.
Dalam diskusi tersebut para seniman juga diajak mengunjungi kompleks kuil Buddha di kawasan Muaro Jambi, sebagai bagian dari kegiatan sketsa sehari on-the-spot. Di hari yang sama diselenggarakan pula lokakarya untuk guru-guru tentang sejarah seni Indonesia dan apresiasi seni di Taman Budaya Jambi. Lokakarya diampu oleh Tubagus Andre Sukmana, Kepala Galeri Nasional Indonesia dan Suwarno Wisetrotomo. Saya yang mengamati acara-acara ini perlu memuji panitia penyelenggara secara khusus, karena walaupun singkat, acara-acara ini telah memberikan kesempatan untuk para seniman dari penjuru Sumatra untuk tahu lebih banyak tentang kehidupan prasejarah dan kebudayaan tradisional di Jambi. Lokakarya pun telah memberikan pengenalan tentang sejarah seni secara partisipatoris untuk para guru. Acara-acara inilah yang bagi saya menunjukkan perbedaan Biennale Sumatra/PPSS dengan pameran lukisan skala besar lain di Sumatra.
Akhir kata, meskipun penyelenggaraan biennale di Indonesia senantiasa menimbulkan pertanyaan tentang kualitas dan tujuan, acara ini adalah pameran seni rupa (terutama lukisan) yang solid dan diselenggarakan oleh seniman asal Sumatra yang terutama aktif di Sumatra. Kenyataan ini saja merupakan fakta yang butuh dicermati. Selanjutnya, bagaimanakah sumber daya manusia di Sumatra Barat menyelenggarakan Biennale berikut dua tahun mendatang? Bagaimana mereka akan menyelenggarakan suatu acara yang diadakan selaras dengan biennale-biennale lain di Indonesia, untuk senantiasa menunjukkan keberadaan seni rupa di Sumatra sebagai hal yang unik jika dibandingkan dengan seni kontemporer yang ada di Yogyakarta maupun Bandung?
[Gambar 1 – Fashion Show pakaian adat dari 10 propinsi di Sumatra dalam Pembukaan c]
[Gambar 2 – Para pejabat pemerintahan meresmikan dibukanya Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera XIX]
[Gambar 3 – Sketsa on the spot di Kompleks Kuil Buddha Muaro Jambi]
[Gambar 4 – Menyusul kunjungan ke Kompleks Kuil Muaro Jambi, para seniman makan siang setelah disiapkan oleh Komunitas Mahligai, suatu komunitas asal kawasan Muaro Jambi yang bekerja untuk mengelola kebudayaan tradisional. Dalam gambar ini adalah para anggota Komunitas Mahligai yang menyambut para seniman]
[Gambar 5 – Lokakarya melukis untuk guru-guru sekolah di Jambi, presentasi oleh kurator Biennale Sumatra ke Tiga Suwarno Wisetrotomo tentang sejarah seni Indonesia]
[Gambar 6 – Suasana pameran Biennale Sumatra ke Tiga di Taman Budaya Jambi]
[Gambar 7 – Suasana pameran Biennale Sumatra ke Tiga di Taman Budaya Jambi]
[Gambar 8 – Suasana pameran Biennale Sumatra ke Tiga di Taman Budaya Jambi]
[Gambar 9 – Suasana pameran Biennale Sumatra ke Tiga di Taman Budaya Jambi]
Kembali ke Buletin IVAA edisi Nov/Des 2016.