Perdebatan kami dimulai ketika tiba saatnya mengkelompokkan beberapa dokumen yang IVAA miliki ke dalam kategori performance art (seni rupa pertunjukkan). Dimulai dari pertanyaan apakah ada ‘panggung’ pada performance art? Lalu apa yang membedakan performance art dengan teater yang mencoba melepaskan diri dari mediumnya jika kesadaran akan ‘panggung’ itu juga ada pada performance art? Hal apa sajakah yang perlu kita ketahui untuk bisa menyebut karya sebagai performance art? Walaupun tentu saja dalam satu karya bisa memuat keseluruhan kategori itu. Tapi bagaimana caranya menghadapi kebingungan kami mengolah tumpukan dokumen dengan minimnya kajian mengenai performance art di Indonesia?
Pendekatan kemudian kami lakukan dengan melihat medium performance art itu sendiri. Ini kami pilih karena medium adalah hal yang paling mudah diamati di tengah minim kajian mengenai performance art di Indonesia. Informasi kami dapatkan dari diskusi yang diselenggarakan tahun 2002 oleh Jurnal Karbon dan ruangrupa yang menyampaikan beberapa refleksi dari para penggiat performance art, seperti Pius Sigit Kuncoro yang mengungkapkan bahwa karya Geber Modus Operandi yang saat itu digolongan ke dalam performance art, hadir dari sebuah perlawan terhadap disiplin ilmu mereka masing-masing. Mereka menyadari bahwa keberadaan pelaku – yang ditonton dan menonton – serta waktu, adalah elemen dari performance art. Pada Korban yang Terbakar (1998), kesadaran FX. Harsono akan publik dan ruangnya terlihat dari keinginannya mempertontonkan proses penciptaannya yang dilakukan dengan kegiatan ‘merusak’. Sama halnya dengan Arahmaiani yang melibatkan publik dalam karya His-story (2000) dengan mengundang mereka untuk menulis atau menggambar sesuatu pada tubuhnya.
Dari situ lalu kata kunci kami dapatkan, bahwa relasi tubuh performer dengan penonton, ruang, serta waktu adalah kesatuan medium yang dimiliki performance art. Pengalaman dirasakan bersama-sama pada ruang dan waktu yang spesifik, sehingga ketiganya tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu memungkinkan bagi orang di luar seniman – yang memiliki ide – untuk merespon sesuai keinginannya, terlibat aktif pada momen tersebut. Dari situlah kemudian ia disebut sebagai happening art.
Menjadi menarik ketika kami harus membaca koleksi dokumen kami yang berupa video karena membutuhkan kejelian untuk memahami dan menjelaskan kembali perbedaan video yang merekam performance art dengan video yang disebut sebagai video performance itu sendiri. Dalam perkembangannya, performance art bereksplorasi dengan melepaskan tubuh yang secara fisik hadir menjadi tubuh yang maya melalui video. Interaksi terjadi antara individu-individu yang hadir dengan sosok dalam video tersebut, dari sinilah performance art kemudian disebut sebagai video performance. Namun ada juga tubuh-tubuh yang digantikan dengan robot-robot atau media lain, yang kemudian disebut sebagai multimedia performance.
Metode pengkategorian menggunakan medium adalah hal paling dasar dalam seni rupa sehingga apa yang kami bagikan ini lebih cocok disebut sebagai “tutorial pembacaan performance art untuk pemula”. Semoga saja setalah ini akan ada diskursus performance art yang akan membantu IVAA memberi hashtag spesifik mengenai performance art pada perkembangan seni rupa di Indonesia.
Tiatira Saputri, Yogyakarta, 2016