Oleh: Lisis dan Santosa
Rubrik Sorotan Pustaka ini akan mengabarkan perkembangan Perpustakaan IVAA sejak buletin yang lalu terbit. Koleksi perpustakaan kini telah bertambah sebanyak 21 katalog, 10 majalah, 13 buku, dan 1 skripsi. Di antara koleksi baru ini, banyak yang berasal dari sumbangsih anggota perpustakaan dan mitra/jaringan kerja IVAA yang telah bermurah hati mengkontribusikan terbitan baru maupun koleksi pustaka mereka.
Ada tiga koleksi baru yang akan kami soroti kali ini, yakni buku berjudul “Post War: Art Between the Pacific and the Atlantic 1945-1965,” sebuah buku yang diterbitkan oleh Prestel Publishing di tahun 2016. Buku ini dikirimkan oleh Dr. Damian Lentini dan Daniel Milnes dari Haus der Kunst, sebuah museum seni non-koleksi di Munich, Jerman. Kedua kurator ini sempat menggunakan arsip IVAA sebagai bahan penulisannya di dalam buku ini. Buku kedua yang kami soroti adalah buku yang kami kira pasti mempesonakan banyak pecinta sejarah, berjudul “Perspektif Baru: Penulisan Sejarah Indonesia,” buku ini ditulis oleh sejumlah penulis sejarah yang diberi kesempatan untuk menggali data di KITLV Leiden, diterbitkan Yayasan Obor di tahun 2013. Sedangkan buku ketiga yang kami tampilkan berjudul “Menjadi Jogja,” terbitan Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, tahun 2016.
1. Post War: Art Between the Pacific and the Atlantic, 1945-1965
846 Halaman
Penerbit: Prestel Publishing
Tahun Terbit: 2016
Bahasa: English
Buku yang apabila judulnya diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “Pascaperang: Seni Antara Pasifik dan Atlantik, 1945-1965” ini mengkaji seni era pascaperang dari berbagai perspektif; timur dan barat, utara dan selatan, penjajah dan terjajah, Pasifik dan Atlantik. Buku ini diterbitkan berbarengan dengan penyelenggaraan sebuah pameran yang diselenggarakan sejak 14 Oktober 2016 lalu dan masih berlangsung hingga 26 Maret 2017 mendatang di Haus der Kunst, Munich, Jerman. Di dalam pameran ini ditampilkan lukisan, patung, instalasi, performance, film, fotografi, otobiografi seniman, dan dokumen-dokumen, total lebih dari 350 karya dari 218 seniman yang berasal dari 65 negara. Baik pameran maupun buku ini memberikan gambaran mengenai periode sejarah setelah berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945, dengan memahami wacana dan sejarah seni yang muncul secara global, mengeksplorasi persepsi individu dan formulasi pada perkembangan seni, struktur politik, pola ekonomi, dan pola kerja institusional di negara-negara Pasifik dan Atlantik yang membentang dari Jerman, Jepang, sampai Amerika Selatan. Buku ini melibatkan 35 kontributor untuk menulis baik itu sejarawan seni, kurator, ataupun akademisi.
2. Perspektif Baru: Penulisan Sejarah Indonesia
446 Halaman
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia
Tahun Terbit: 2013
Bahasa: Indonesia
Seperti judul bab pendahuluannya, buku ini berusaha mengajak kita memikirkan ulang historiografi Indonesia. Telah makin kita yakini bersama bahwa menulis sejarah nasional bukanlah sekedar kegiatan intelektual atau akademis, tetapi juga politis. Sehingga patutlah kita mempertanyakan kembali klaim akan kebenaran (truth-claims) yang kita konsumsi selama ini dari penulisan sejarah di masa lalu khususnya di masa Orde Baru. Pasca tumbangnya Orde Baru, penulisan ulang sejarah mulai diupayakan. Dalam meninjau historiografi Indonesia, buku ini berusaha menghindari narasi-narasi besar (grand naratives) dan membaca narasi-narasi alternatif yang dimunculkan kaum intelektual dan anggota masyarakat yang berada di pinggir kekuasaan. Selain itu buku ini juga mempertimbangkan banyak faktor, seperti menyadari pentingnya masa kini dalam mempelajari masa lalu, serta berupaya kritis terhadap upaya-upaya yang dilakukan sekarang untuk menulis sejarah-sejarah lokal yang bertujuan mendukung otonomi daerah tertentu dan melegitimasi kekuasaan elit lokal.
Sebagian besar penulis di dalam buku ini mendapat kesempatan untuk bekerja di KITLV Leiden dan menikmati segala fasilitas yang ada, baik perpustakaan, arsip, maupun koleksi foto lembaga. Pada bagian pendahuluan dikemukakan perlunya dekolonisasi historiografi Indonesia. Bagian kedua menyoroti berbagai arti yang diberikan kepada waktu sejarah (historical time), peristiwa, dan pelaku sejarah. Bagian ketiga membahas persoalan narasi sejarah dan peranan ingatan, baik ingatan kolektif maupun ingatan perorangan dalam membentuk narasi sejarah tersebut. Berkaitan dengan ini, maka bagian keempat membahas relevansi sejarah populer, kehidupan sehari-hari, dan bagaimana sejarawan menghadapi fenomena yang tampaknya sulit ditangkap ini. Sedangkan bagian kelima melihat berbagai genre penulisan sejarah, interpretasi sejarah, peranan film, dan fotografi dalam historiografi.
3. Menjadi Jogja: Memahami Jatidiri Dan Transformasi Yogyakarta
377 Halaman
Penerbit Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta
Tahun Terbit: 2016
Bahasa: Indonesia
Buku dengan sampul tebal dengan nuansa klasik ini mendedahkan berbagai aspek sejarah yang menjadi bagian dari bangunan narasi bernama Jogja. Diterbitkan dalam rangka ulang tahun ke 250 Kota Yogyakarta, buku ini disusun oleh Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta yang bekerjasama dengan Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada.
Dibuka dengan beberapa prolog yang memperkuat narasi keistimewaan Yogyakarta, buku ini menuliskan Jogja dari awal mula berdirinya, yang terkait dengan dinamika kerajaan Mataram hingga perjanjian Giyanti tahun 1755, yang membagi Mataram menjadi dua kedudukan, di Surakarta dan di Yogyakarta.
Gambaran pada masa sebelum kemerdekaan juga terdapat dalam buku ini. Masa ketika banyak tumbuh organisasi-organisasi tokoh-tokoh kebangsaan, yang kelak menjadi embrio dari sistem pendidikan nasional yang kita kenal hingga kini, seperti Budi Utomo (20 Mei 1908), Taman Siswa (1922). Selain itu, organisasi yang berbasis agama dan pendidikan seperti Perserikatan Muhamadiyah dan NU juga lahir di Jogja dan diceritakan di buku ini.
Kemudian dari sisi arsitektur dan tata ruang kota, narasinya tidak jauh beda dengan narasi sejarah pada umumnya, yang menempatkan keraton sebagai pusat pembangunan.
Selebihnya, kita akan menemukan beberapa narasi romantis lain, perihal posisi Jogja di tengah semesta dan dunia, namun buku ini kosong dari wacana-wacana baru yang lebih mencerdaskan serta menjawab kebutuhan untuk ‘Menjadi Jogja’, bagaimana mengidentifikasi diri secara kolektif serta menentukan posisi politis.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Pustaka dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Januari-Februari 2017.