Bale Banjar Sangkring
Sabtu, 25 Maret 2017
Bale Banjar Sangkring
Sabtu, 25 Maret 2017
Oleh: David Ganap
Malam itu, Sabtu, 25 Maret 2017 ketika ditemui di Bale Banjar Sangkring di sela-sela acara pembukaan pameran bertajuk “Bloom in Diversity”, Rain Rosidi selaku kurator memberi pendapat bahwa perbedaan ideologi perupa Bandung dan Yogyakarta sudah tidak lagi signifikan; justru pameran ini ingin melampaui pembahasan mengenai relasi dua kampus seni. Kedua kampus yang dimaksudkan Rain adalah Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia Yogyakarta (FSR ISI Yogyakarta) dan Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB), ia mengatakan hal ini tak lain lantaran pameran tersebut merupakan hasil kerja sama mahasiswa kedua kampus seni rupa tertua di Indonesia itu.
Tercatat ada 30 mahasiswa FSR ISI Yogyakarta yang tampil sebagai tuan rumah, sementara itu, Bandung diwakili oleh 25 mahasiswa FSRD ITB. Adapun Pameran “Bloom in Diversity” ini merupakan kerja sama lanjutan. Kerja sama yang pertama diadakan 2014 lalu di Gedung YPK (Yayasan Pusat Kebudayaan) dengan mahasiswa FSRD ITB sebagai tuan rumahnya. Pameran di kota Bandung itu ditajuki “Equal Liberum” dengan mengusung pembicaraan tentang kebebasan yang sama rata atau sepadan. Pihak penyelenggara mengatakan bahwa keinginan untuk menjalin pertemanan di antara mahasiswa kedua kampus itulah yang membuat kerja sama ini dilanjutkan. Tujuan lainnya adalah memberikan ruang apresiasi terhadap sejauh mana pemahaman mahasiswa terhadap perkembangan seni rupa kini.
Kerja sama mahasiswa ISI-ITB sebetulnya bukan hal baru lagi. Di dekade 70-80-an ada sekelompok mahasiswa ISI-ITB yang menamai diri Seni Rupa Baru Indonesia yang menimbulkan polemik besar berkat eksplorasi medium berkaryanya yang masih tak banyak dikenal di waktu itu; namun justru di kemudian hari gerakan kelompok ini acap kali ditengarai memberi pengaruh besar kepada perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia.
Kembali ke “Bloom in Diversity”, salah satu karya yang menarik perhatian saya adalah “Unboxing Box #1” dari Mohammad Zakiy Zulkarnaen. Karya berdimensi 15 x 20 x 35 cm ini berlatar gagasan tentang treatment dan pergeseran makna fungsionalitas kayu di masa sekarang. Dari segi ekologi, kayu memiliki fungsi yang fundamental bagi keberlangsungan hidup manusia. Tetapi pasca-manufakturing, sifat kayu yang semula hidup, natural, organik menjadi kerdil dan ‘terbunuh’. Zakiy menganalogikan karyanya dengan pola perilaku sosial yang sempat terkotak-kotakan oleh ideologi dangkal. Harapannya, melalui berbagai perubahan yang dinamis, sifat-sifat limitatif tersebut sekarang bisa lebih terbuka.
Bagaimanapun, secara kasatmata wujud identitas yang mereka suguhkan di pameran “Bloom in Diversity” mencerminkan realitas permasalahan hari ini – yang tidak lagi mempersoalkan corak lokal maupun global. Kesetaraan dalam berkarya menjadi daya hubung yang memicu lahirnya berbagai kemungkinan baru. Alhasil, semerbak aroma karya yang mekar dalam ruang pamer benar-benar adiwarna, tumbuh subur dalam keberagaman.
|klik disini untuk melihat dokumentasi foto|
*David Ganap (l.1996), mahasiswa Program Studi Tata Kelola Seni, ISI Yogyakarta kelahiran Manado ini tertarik dengan dunia penulisan terutama tentang seni. Selama magangnya di IVAA David lebih banyak dipasrahi pekerjaan mengulas hasil kerja dokumentasi dan koleksi perpustakaan.
Artikel ini merupakan bagian dari rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Maret-April 2017.