Melting Pot Eatery & Coffee, Jl. Suryodiningratan 37 B, Yogyakarta
13-14 Februari 2016
Pukul 15.00 WIB - selesai
Melting Pot Eatery & Coffee, Jl. Suryodiningratan 37 B, Yogyakarta
13-14 Februari 2016
Pukul 15.00 WIB - selesai
Hari Sabtu dan Minggu pekan ini (13-14 Februari 2016), IVAA memajang seleksi reproduksi materi untuk menyertai catatan pengamatan arsip Performance Art Indonesia. Kegiatan ini adalah respon IVAA atas undangan partisipasi dalam Ring of Performance, Jaringan Performance Art Nusantara.
Tiatira Saputri, anggota tim Kajian IVAA, menulis pengantar di bawah ini untuk pengamatan dan seleksi yang berlangsung sejak Januari 2016. Tulisan lain oleh Pitra Hutomo disampaikan dalam diskusi yang berlangsung di Melting Pot Eatery & Coffee, Jl. Suryodiningratan 37 B, Yogyakarta, 13 Februari 2016 mulai jam 15.00 WIB.
“Belum Menggali, Sudah Ketemu”
Catatan praktis pengamatan arsip performance art di IVAA
Kumpulan dokumen yang dimiliki IVAA saat ini, memperlihatkan pertumbuhan dalam tubuh performer dari periode 90an hingga kini. Pola umum yang terlihat adalah adanya perkembangan dari tubuh performer menjadi kebutuhan massa. Dari yang awalnya adalah individu atau kelompok dengan pemahaman dan konsepsi yang sama mengenai performance lalu berkembang menjadi penggabungan dari individu ataupun kelompok yang berbeda-beda konsep mengenai performance. Keragaman yang terjadi itu menciptakan ruang dimana didalamnya terdapat kejadian-kejadian dan interaksi yang bukan hanya performance.
Kami mencoba melihat performance melalui kacamata kebutuhan perekaman performance sebagai dokumen yang nantinya bisa disalurkan kembali sebagai arsip. Performance art sebagai salah satu kesenian yang paling lengkap memanfaatkan pengindraan manusia dalam ikatan ruang dan waktu memiliki karakter dasar yang bisa ditangkap media rekam. Yaitu yang pertama adalah penggunaan atau ruang yang disasar, bisa berupa ruang seni seperti museum, galeri, dsb. Atau ruang publik seperti toilet umum, bus, pusat perbelanjaan, dsb. Dari karakter tersebut akan ditemukan konten respon yang berbeda. Pada kedua ruang tersebut bisa diprediksi tingkat kontrol terhadap respon audience, tetapi pada ruang publik performer harus lebih fleksibel dengan kondisi yang tidak terkontrol karena sifatnya performer mendatangi ruang tersebut, bukan audience yang mendatangi ruang tersebut. Sehingga terkontrol atau tidaknya respon menjadi karakter kedua. Hal ini juga bergantung pada keterlibatan audience di dalamnya. Ketika performance melibatkan audience, terkadang alur performance pun bergantung pada audience yang terlibat, sehingga kontrol justru pada audience bukan performer.
Harapannya tiga hal tersebut membantu memudahkan manusia awam untuk memancing dirinya sendiri mempertanyakan kehadiran performance art itu sendiri, seperti misalnya mengapa dilakukan di ruang publik, apa yang disasar, hal apa saja yang berusaha disalurkan oleh pelaku kepada audience hingga membutuhkan keterlibatan, atau sejauh apa tingkat kesadaran audience yang menjadi target performer hingga melepaskan kontrol dari performance yang terlaksana?
Februari 2016
tiatirasa@gmail.com