Judul : Ensiklopedia Musik Keroncong
Kontributor : Danis Sugiyanto, Dedi Novaldi, Hery Suplarza, Mei Artanto, Panakajaya Hidayatullah, Ibnu Amar Muchsin, Eli Irawati, Andriyono, Moh. Syaripudin, Vigil Kristologus, Danang Rusdiyanto, Muhidin M Dahlan, Joko S. Gombloh, Ferima Ramadani, Adi B. Wiratmo, Mustika Andini, Sigit Setiawan, Tito Setyo Budi. Muhammad Raafi, Putro Wasista, Rika Wirandi, Bobby Steven, MSF
Penerjemah : Henk Mak van Dijk
Bahasa : Indonesia
ISBN : 978-623-97518-4-5
Jumlah halaman : xxi+418 halaman
Ukuran : 32 cm x 24 cm
Tahun terbit : 2022
Penerbit : Direktur Perfilman, Musik, dan Media; Direktorat Jenderal Kebudayaan
Dimensi : 32 x 24 cm
Ulasan oleh : Mifrah Disni Meiliska
Perihal pertanyaan, “Menurutmu, genre musik apa yang paling identik dengan kultur Indonesia?” Mungkin sebagian besar orang akan menjawab, “Musik Dangdut.” Apalagi kawula muda saat ini yang lebih akrab senada dengan skena musik K-Pop atau Indie Pop yang belakangan sedang santer. Melihat banyak fenomena gigs dan konser skena musik modern yang banyak digelar, hal ini akan menjadi tantangan tersendiri dalam mengenalkan kembali musik tradisional asli Indonesia seperti halnya musik keroncong karena banyak yang menganggap bahwa musik keroncong adalah “musik jadul”.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pemerintah melalui Direktorat Perfilman, Musik, dan Media, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyusun sebuah “Ensiklopedia Musik Keroncong”. Hal ini sebagai salah satu langkah merawat ingatan bersama akan kekayaan budaya musik di Indonesia sebagai upaya pemetaan, pencatatan, dan pengarsipan yang nantinya akan berharga bagi kemajuan musik keroncong di masa depan.
Mengenai segala pernak-pernik dan seluk beluk musik warisan budaya asli Indonesia (musik keroncong) terjawab tuntas dalam ensiklopedia ini. Mulai dari kaleidoskop yang merangkum informasi tentang momentum musik keroncong selama 1925 hingga 2022, peristiwa yang menunjukkan partikel-partikel informasi kesejarahan perjalanan musik keroncong pada masa silam, kronik keroncong di media massa pada 1915 hingga 1965, dan dipaparkan pula data terkait “orang-orang” yang telah melintasi skena keroncong dalam satu abad terakhir. Kelengkapan ensiklopedia ini juga didukung dengan adanya bentuk ekspresi musik keroncong yang ada dan berkembang di Indonesia baik dalam bentuk konvensional maupun ekspresi lokal di berbagai daerah yang memiliki irisan dengan musik keroncong. Tentu di sini kita dapat melihat keberagaman musik keroncong di seluruh tanah air.
Selain itu, informasi mengenai instrumen yang sering digunakan dalam ensambel musik keroncong juga turut serta dipaparkan. Sebagai tambahan informasi, ensiklopedia ini dilengkapi dengan pengetahuan emik yang berisi tentang istilah pengetahuan lokal yang yang berkembang di Jawa termasuk yang berkembang pada masa Hindia-Belanda, transmisi yang berisi tentang informasi tentang nama kelompok/organisasi/sanggar/komunitas/elemen terkait keberadaan, kesinambungan musik keroncong. Dilengkapi pula arsip rekaman yang berisi informasi kearsipan yang bersumber dari tiga lokus, antara lain: Yayasan Irama Nusantara, Lokananta, dan Museum Musik Indonesia. Yang paling asyik adalah pada bagian ruang dengar. Pada bagian penutup ini, para pembaca dapat langsung mendengarkan contoh musik-musik keroncong karena dilengkapi dengan barcode yang bisa langsung di-scan dan terhubung dengan alamat online.
Dengan ketebalan 418 halaman, tentu saja ensiklopedia ini terbilang lengkap dan mencakup banyak informasi yang dapat dijadikan rujukan apalagi bagi orang awam yang baru mempelajari musik khususnya musik keroncong. Namun, untuk perihal kepraktisan tentu saja kurang fleksibel sehingga cukup sulit untuk dibawa ke mana saja. Alangkah lebih baik jika dalam hal ini penerbit menyediakan dalam versi file sehingga memudahkan dalam menyebarluaskan informasi dan mengenalkan informasi terkait musik keroncong ke berbagai wilayah Nusantara hingga mancanegara yang dapat diakses oleh siapa saja. Selain itu, penyusunan suatu “Ensiklopedia Musik Keroncong” saja tidaklah cukup jika tidak dibarengi dengan inovasi nyata terkait pementasan musik keroncong yang lebih terbarukan demi mengenalkan, merawat, dan memajukan musik keroncong yang telah ada.
Semoga khazanah musik keroncong tetap lestari!
Judul : The Modern in Southeast Asian Art : A Reader Volume I and II
Editor : T.K. Sabapathy, Patrick Flores
Editor asosiasi : Phoebe Scott, Julie Ewington
Editor kontributor : Antariksa, Gridthiya Gaweewong, Horikawa Lisa, Yin Ker, Manuporn Luengaram, Roger Nelson, Roberto Paulino, Seng Yu Jin, Aminudin T.H. Siregar, Simon Soon
Tahun publikasi : 2023
Penerbit : National Gallery Singapore, NTU Centre for Contemporary Art Singapore
Halaman : 1326
ISBN : 978-981-18-6811-5 (vol 1)
978-981-6812-2 (vol 2)
978-981-14-0664-5 (set)
Ulasan oleh : Ananta D. Rahayu
Southeast Asia is a slippery and complicated identification for a complex and diverse geography that is also a postcolonial construction coloured by geopolitics.
– Ute Meta Bauer, Founding Director of NTU CCA Singapore, in foreword (p.xiii)
As art is volitle, and so is the region. to read the texts alongside the region is to always reconsider the position of this context that shifts historically within contingent relationships. Such shifts should make us aware of the need to constantly and further re-world the region and plot it out across a range of nodes not solely contemplated by nationalist and geopolitical agenda.
– Patrick Flores, in Difficult Desires of Belonging (p.7)
Seri buku The Modern in Southeast Asian Art mengoleksi lebih dari 300 teks mengenai “modern” di seni Asia Tenggara dengan 124 teks merupakan hasil translasi ke bahasa Inggris. Karena berasal dari berbagai wilayah, salah satu kekhawatiran besar dalam penyusunan buku ini adalah bahasa. Buku ini memuat hasil translasi dari 12 bahasa: Burma, Mandarin, Belanda, Prancis, Indonesia, Jepang, Jawi, Khmer, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan tiga publikasi ulang bahasa Spanyol. Keterangan mengenai teks hadir sebagai endnote setiap tulisan, informasi tentang apakah teks tersebut merupakan translasi, reproduksi, atau telah dipublikasikan di media lain.
Bab ketiga dalam buku ini meraup jumlah halaman terbanyak, yakni 489 halaman. Masuk akal, mengingat periode yang dipilih merupakan periode ketika perbincangan dan diskusi mengenai seni modern sedang hangat dan meluas. Buku ini terbagi menjadi 5 bab dengan bab 1-3 di volume pertama dan bab 4-5 di volume kedua:
Beberapa teks merupakan karya tulis yang sudah cukup dikenal, sering dikutip, atau direproduksi. Pada pendahuluan, disampaikan bahwa identifikasi teks-teks potensial juga sama pentingnya untuk penelitian baru dan kepentingan pemulihan arsip. Tim penyusun juga memberi perhatian pada bagaimana teks mengartikulasi isu-isu kunci atau dilema di era sejarah masing-masing/ketika teks ditulis. Bentuk teks yang bervariatif membuat buku ini tidak membosankan/terasa monoton, justru terasa segar dan menyenangkan. Teks-teks yang anekdotal, jurnalistik, programatik atau personal, ada juga yang analitikal dan historikal. Ada yang berbentuk catatan pidato, outline kuliah (p.662 Lecture Outlines for the Course “Introduction to Contemporary Painting” dari Fernando Zobel de Ayala), review pameran (p.513, Notes for Purita by Francisco Arcellana), artikel koran, essay kritik seni (p.83, “Words” by Marian Pastor Roces), surat (p.117 “From a Forgotten Corner” by Kartini, p. 123 “Letter to Jean Chrestien Baud” by Raden Saleh, p.152 “Letters to Princess Nibha Nobhadol” by King Chulalongkorn), bahkan ada berbentuk pengumuman (p.145 “Announcement of Photography Contest“, pengumuman kontes foto pertama di Siam, Thailand).
Buku ini cukup tebal. Covernya yang polos berwarna merah cerah dengan embos logo Galeri Nasional Singapura cukup menonjol jika disadurkan dengan buku-buku lain. Ukuran teks terbaca jelas walaupun terbagi dalam 3 kolom. Saya sangat menyukai adanya abridge/ringkasan di bagian awal setiap teks setelah judul, terdapat penjelasan singkat siapa penulisnya, siapa atau apa yang dibicarakan, konteks kultural/regionalnya, di mana dana bagaimana teks itu ditulis -sangat membantu bagi siapapun untuk bisa memahami isi teks lebih baik. Antologi yang dikemas sebagai pembacaan (reader) ini dipilih dan ditampilkan sebagai sumber yang bisa digunakan dalam pengajaran, pembelajaran, penelitian, penulisan, dan kerja-kerja kurasi. Menyentuh isu-isu terkait modernisme dan modernitas, regionalitas, ekspresi vernakular, dan pasca-kolonialitas. Sebuah cara yang jitu untuk menepis ketergantungan kita pada sumber-sumber teks dari Eropa dan Amerika dan menghapus anggapan area-area Asia Tenggara yang “tidak tercatat”. Saya rasa hasil output buku dan harapannya untuk meningkatkan prospek pembelajaran modern dari wilayah-wilayah yang bersilangan dengan konteksnya masing-masing cukup on the spot. Secara keseluruhan ini buku yang sangat menarik dan bisa membuat siapapun berlama-lama membacanya. Padat. Informatif. Koleksi yang berharga dan bermanfaat.
Judul : The Honest Guide To Seeing Art 1
Penulis : Natalie Foo
Ilustrasi : Anngee Neo
Editor : Elaine Lee, Michael Lee, Patricia Lee, Russel Storer
Bahasa : Inggris
Jumlah halaman : 40 halaman
Edisi : kedua (2020). Pertama dipublikasi Februari 2019
Tahun terbit : 2020
Penerbit : National Gallery Singapore
Ulasan oleh : Ananta D. Rahayu
Panduan saku keluaran Galeri Nasional Singapura ini berhasil membuat saya tersenyum-senyum sendiri ketika membacanya. Yang berada di IVAA merupakan cetakan kedua dari seri pertama. Cetakan pertama keluar pada Agustus 2020 dan seri kedua keluar 9 April 2021 (melihat dari media sosial instagram Galeri Nasional Singapura). Ukurannya yang kecil terasa pas di tangan, cocok untuk dibawa bepergian sebagaimana guide tersebut ditujukan. Buku ini tersedia untuk umum pada konter Layanan Pengunjung di Galeri Nasional Singapura.
Di bagian belakang buku, ada lima pertanyaan yang seringkali ingin kita tanyakan, yang dijawab dalam 7 langkah:
Saya paling menyukai paparan dari pertanyaan ketiga: What If I Don’t Like It? ini menarik. Buku ini mengingatkan kita akan konteks situasi ketika karya itu dibuat mungkin berubah dengan saat ini dan kecenderungan kita di era media sosial yang terlalu cepat menyukai atau tidak menyukai sesuatu tanpa mengetahuinya lebih dulu. Ada satu penggalan yang menempel di kepala saya: Think about why you respond to an artwork in a certain way. Consider the traits, values, opinions, experiences, biases and preferences that make up who you are. Whoa! tak hanya belajar mengapresiasi seni, kalimat ini menyadarkan pembaca untuk merefleksikan dirinya sendiri, menyadari apa yang membentuk dirinya.
Buku ini tidak pretensius soal seni. Secara singkat dan sederhana, buku ini mengedukasi tentang seni abstrak, figuratif, dan konseptual. Bagian glosarium di belakang dan penggunaan karya seni asli sebagai rujukan dalam menyontohkan suatu poin menjadikan buku ini menarik dan informatif. Tidak ada teks yang terlalu panjang untuk area halamannya, bahasa yang digunakan juga sederhana, mudah dimengerti, dan cukup spesifik. Tak lupa ilustrasi Anngee Neo yang lucu dan menarik.
Walaupun memiliki latar belakang studi seni, tak jarang saya merasa kesulitan membantu teman yang awam untuk menikmati sebuah pameran. Buku yang, menurut claimnya, ditulis oleh orang biasa untuk membantu orang awam memulai apresiasi seni ini menurut saya sukses mencapai tujuannya. Tak hanya untuk orang awam, untuk orang-orang yang sudah terbiasa berkesenian pun dapat menikmati buku ini dan mengingat kembali tahapan-tahapan bagaimana berhadapan dengan karya seni.
Judul : The Honest Guide To Seeing Art 2: On Methods and Materials
Penulis : Natalie Foo
Ilustrasi : Beverley Ng
Editor : Mariel Chee, Tamares Goh, Erica Lai, Lee E Shyen
Bahasa : Inggris
Jumlah halaman : 48 halaman
Edisi : pertama (2021)
Tahun terbit : 2021
Penerbit : National Gallery Singapore
Ulasan oleh : Ananta D. Rahayu
Buku seri kedua ini sedikit lebih lebar dari buku seri pertama, dengan warna cover oranye stabilo yang mencolok. Seri ini juga tersedia untuk umum pada konter Layanan Pengunjung di Galeri Nasional Singapura. Sesuai namanya, seri ini fokus membahas pertanyaan-pertanyaan terkait metode dan material pada sebuah karya seni.
Pada cover belakang buku terdapat empat pertanyaan yang menjadi bab-bab singkat pembahasannya:
Penjelasan mengenai cat minyak, seni grafis, seni konseptual, instalasi, video art, sampai perbedaan ready made dan found object ditulis dengan singkat. Ada empat trivia seni menarik, seperti adanya pigmen dari mumi Mesir yang dipakai di cat minyak pada tahun 1500 – 1800. Jika dibandingkan dengan buku seri pertama, seri ini lebih padat informasinya. Tulisannya jauh lebih banyak, ilustrasinya lebih sedikit, dan bahasa yang digunakan lebih teknikal walaupun masih cukup bisa dipahami.
Judul : Living Pictures: Photography in Southeast Asia
Nama Penulis : Cermaine Toh
Bahasa : Inggris
ISBN : 978-981-18-4044-9 (Paperback)
Jumlah halaman : 382 halaman
Tahun terbit : 2022
Penerbit : National Gallery Singapore
Ulasan oleh : Salsabilla Yunanda S.S
Buku foto yang berjudul Living Picture : Photography In Southeast Asia ini menampilkan foto-foto dari negara-negara yang ada di asia tenggara. Serangkaian gambar yang berhasil diabadikan oleh fotografer eropa diambil dengan sudut pandang yang jelas. Buku ini menghadirkan arsip fotografi sejarah beberapa negara di Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapore, Indonesia, Brunei, Vietnam, Kamboja, Thailand. Dalam buku ini menghadirkan teknologi fotografi tipe arsip Etnografi.
Bagian awal pada buku living picture menceritakan permulaan fotografi masuk dengan tujuan mempengaruhi semua bidang kehidupan negara yang bersangkutan. Buku ini tidak hanya menampilkan karya foto, tetapi beberapa lukisan ditampilkan di tahun 1869 dan 1900-1924. Masyarakat Asia Tenggara terutama tokoh penguasa kerajaan dengan cepat dipengaruhi oleh fotografi, terbukti melalui swafoto dengan menambahkan berbagai varian latar belakang dan alat artistik pendukung serta pose yang dapat membayangkan peran mereka di dunia baru pada saat itu. Buku ini, menurut saya, selalu mempunyai hubungan yang perselisihan yang berkepanjangan dengan kenyataan. Dalam sub bab kehidupan nyata, sebuah foto tidak pernah menunjukkan segalanya, foto menciptakan dunia baru bukan dengan mencerminkan realita tetapi menginterpretasikannya. IPPHOS (Indonesian Press Photo Service) juga ikut serta dalam bagian ini yang mengkaji pergeseran realita dalam gambar foto yang dihasilkan.
Perkembangan fotografi terjadi begitu cepat, pada buku ini menampilkan eksperimen dan konseptual yang lebih besar pada media fotografi. Kritik pada seni rupa hadir dalam bagian ini sehingga menjadi tempat refleksi dan berekspresi di “ruang” untuk memahami berbagai hal yang terjadi. Bagian akhir dalam buku ini menyikapi ledakan media fotografi dalam masyarakat kontemporer yang menyinggung masa kini, memandang masa depan dengan tetap melibatkan sejarah yang telah terjadi. Bagian akhir ini cukup menarik karena telah menampilkan terobosan baru selain foto seperti buku foto, negatif film, kolase 3d, lukisan, dan patung.
Foto yang didalam buku ini diambil melalui 88 orang fotografer yang telah diwawancarai oleh tim penerbit buku Living Picture : Photography in Southeast Asia. Portrait yang diambil sangat jelas antara penduduk yang dijajah dan para kolonial. Hasil foto dalam buku ini menampilkan infrastruktur ( istana, tempat ibadah, jembatan), Nature (Landscape pelabuhan, sungai, perkotaan dan pedesaan), Potret ( para kolonial dan penduduk setempat, sultan dan raja-raja di negara monarki) lalu ada beberapa foto jurnalistik, menampilkan street photography, human interest. Di halaman pertengahan akan disuguhkan dengan beberapa kejadian peperangan di beberapa negara. Hasil foto yang didapat cukup jelas, dan menarik. pada pertengahan halaman buku ini terdapat hasil foto yang menarik. Foto itu diberi efek warna di tahun 1965,1968 dan 1970. Padahal tahun itu belum memasuki perkembangan dunia editing secara digital.
Menurut saya daripada memikirkan tentang teknik, secara tidak langsung buku ini menyampaikan fungsi dari dokumentasi arsip foto sejarah asia tenggara, yaitu bahwa foto mempunyai kehidupan yang nyata sehingga mempengaruhi dunia sekitarnya.