Oleh: Annisa Rachmatika Sari
Memasuki tahun 2017, Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) mulai mempersiapkan perayaan seni rupa internasional, yakni Biennale Jogja XIV Equator #4. Serangkaian acara dihelat, mulai dari konferensi pers, pameran pra-Biennale hingga sosialisasi sekaligus peluncuran Newsletter “The Equator” Volume 5, No. 1, 2017. Uniknya, pada rangkaian tersebut tidak tersiar tema Biennale Jogja XIV Equator #4 dari Pius Sigit Kuncoro (kurator). Berulang kali Pius Sigit mewacanakan gagasan Biennale – “Kecemasan dan Harapan” melalui uraian hasil riset lapangan di Brasil, pemilihan seniman hingga studi pustaka atas kondisi sosial di Indonesia khususnya Yogyakarta, tanpa meleburnya dalam satu premis.
Pada tahun ini, Biennale Jogja bekerja sama dengan Brasil. Pemilihan tersebut meneruskan wacana tema Equator yang menetapkan tahun 2017 sebagai momen untuk berkolaborasi dengan salah satu negara di Amerika Selatan. Wahyudin dan beberapa pengamat seni lain menakar bahwa Biennale Jogja XIV Equator #4 mampu merekatkan kembali hubungan antara Brasil dan Indonesia yang pernah terputus.
Di sisi yang lain, Pius Sigit menyoroti hubungan Indonesia dan Brasil tidak hanya berada di ranah yang terlihat – Biennale Sao Paulo 1951, melainkan juga pada iklim yang mencetak metode pertahanan hidup secara alamiah. Terlebih karena persoalan iklim ini, diperkeruh dengan masalah sejarah bangsa yang membentuk identitas dari pertahanan hidup tiap negara. Masing-masing negara memiliki bayangan kecemasan yang dicoba untuk diselesaikan yang teraplikasi pada bentuk tata kota, perayaan, dan hingga cara memilih benda pertahanan diri.
Perjalanan Pius dari Brasil hingga kunjungan pribadi ke beberapa seniman terpilih, menghasilkan satu konsep dramaturgi pada ruang pamer. Hal ini kemudian dibicarakan kembali dengan para seniman. Ia berupaya mengakomodasi kesan-kesan dari para seniman terpilih dan meramunya menjadi satu tema yang terpublikasi. Pius menggunakan metode aspiratif dalam membangun tema Biennale Jogja XIV Equator #4. Menarik seniman menjadi subyek perakit tema. Akan tetapi sejauh mana metode kerja ‘dari bawah’ atau akomodatif ini mampu mengakomodasi keseluruhan proses kreatif dan kolaboratif antara seniman dan kurator, antara seniman Indonesia dan seniman Brasil, serta yang tidak kalah penting, bagaimana metode kerja ini mampu memastikan kelahiran karya efektif sebagai medium komunikasi antara seniman dan masyarakat?
|klik disini untuk melihat dokumentasi foto|
Artikel ini merupakan bagian dari rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Maret-April 2017.