Selat Malaka: Sejarah Perdagangan dan Etnisitas
Penulis : Leonard Y. Andaya
Penerjemah : Aditya Pratama
Editor : Rahmat Edi Sutanto
Desain isi : Nisa Rahma
Desain sampul : Redi Murti
Penerbit : Komunitas Bambu
Tahun terbit : 2019
Buku ini menyajikan proses pembentukan etnik dengan menyoroti pergeseran persepsi etnik Melayu di era prakolonial dan peran etnik Melayu dalam merangsang proses etnisisasi (penciptaan etnik baru; konsep dari Kahn) komunitas lain. Satu hal yang pokok dalam pembahasan itu adalah gagasan etnisisasi, yakni keputusan politik yang secara sadar dibuat oleh suatu kelompok untuk mengadopsi suatu identitas etnik demi meraih keuntungan. Setiap bahasan di dalam buku ini bersandar pada narasi sejarah perdagangan yang dapat menjelaskan mengapa, kapan, dan di mana aneka kelompok serta kategori etnik terbentuk atau dibentuk ulang di masa lalu, baik masa lalu yang sudah terlewat jauh maupun yang baru saja berlalu. Kelompok-kelompok tersebut adalah yang dianggap sebagai penduduk “purba”, mereka menghuni daratan dan lautan yang berbatasan dengan Selat Malaka.
Dengan menyelami etnisitas, sejarawan dapat menawarkan pandangan yang lebih bernuansa tentang hubungan etnik di suatu kawasan yang bertahtakan keberagaman bahasa dan budaya. Kreatif dan menantang, buku ini menyingkap banyak pertanyaan-pertanyaan baru yang semestinya menghidupkan kembali dan mengubah arah historiografi Asia Tenggara. Salah satunya adalah mempertanyakan fokus perjuangan etnik (ethnic struggle), dan mulai memperhatikan fleksibilitas etnik yang menyesuaikan berbagai kondisi.
Di Tanah Lada
Penulis : Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Editor : Mirna Yulistianti
Copy editor : Rabiatul Adawiyah
Ilustrasi sampul : Leopold Adi Surya
Ilustrasi isi : Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Setter : Fitri Yuniar
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2015
Sebuah cerita tentang Salva atau Ava atau Saliva atau ludah, anak berumur 6 tahun yang gemar baca kamus. Salva tinggal bersama ayahnya yang kerap melakukan kekerasan pada istri dan anaknya, suka menghamburkan uang untuk berjudi; salah sekian representasi “orang dewasa”.
Tetapi nampaknya Salva tidak pernah punya rasa benci kepada ayahnya, hanya rasa takut dan kecewa. Itulah hal luar biasa dari “anak-anak”; mencerap kekerasan orang dewasa sebagai humor gelap dan kerinduan mendalam.
Setelah sepeninggal kakeknya, Salva bertemu dengan seorang anak laki-laki yang juga mengalami kekerasan orang tua. Dari situ petualangan Salva dimulai, dari kawasan jelek dekat kasino hingga ke tanah lada. Karya yang sangat dekat dengan isu anak dan kekerasan dalam rumah tangga ini memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta pada 2014.
Ruang Seni/ Ruang Imaji
Tim kerja Prodi TKS : Mikke Susanto, Dian Ajeng Kirana
Editor : Citra Aryandari, I Wayan Dana
Rancang sampul : Edi Jatmiko, Daru Tunggul Aji, Trisna Pradita Putra
Tata letak : Bima Iswarta
Penerbit : Penerbit Nyala (kerjasama dengan Arti Bumi Intaran)
Tahun terbit : 2021
Buku Ruang Seni, Ruang Imaji menyajikan 20 artikel dalam 320 halaman. Di dalamnya termuat 4 subtema tentang ruang: 1) Place and Space; 2) Ruang Imaji; 3) Ruang Nostalgi, dan 4) Ruang Virtual.
Artikel-artikel dalam buku ini berasal dari sejumlah penulis Indonesia dan Malaysia (dari beberapa perguruan tinggi), diantaranya kritikus Agus Dermawan T., Mikke Susanto, dan sejumlah penulis lainnya. Buku ini disusun untuk mengabadikan dan menyosialisasikan pengalaman, kajian-kajian, amatan akan banyaknya ruang seni rupa, pertunjukan dan media rekam di Indonesia serta perubahan yang mengikutinya. Tentu ranah galeri, museum, art space hingga panggung seni tradisi dan media sosial menjadi bahasan menarik di dalamnya.
Termasuk perubahan konsep ruang fisik ke virtual-digital juga menjadi pembahasan. Kehadiran buku ini hingga di tangan para pembaca, diharapkan dapat menjadi lilin penerang, pencerah, maupun sebagai pengantar di dalam kegelapan pengetahuan mengenai ruang seni/ruang imaji yang selama ini kurang intens diteliti.
Di sisi lain, juga dapat menambah cakrawala keilmuan dan penajaman pemikiran kritis membaca ulang tentang keberadaan ruang seni menjadi semakin kaya dan beragam di bumi Nusantara ini.
Lekra, Lesbumi, Manifes Kebudayaan (Sejarah Sastra Indonesia Periode 1950-1965)
Penulis : Dr. Dwi Susanto, M.Hum.
Desain sampul : Sugeng
Penyunting : Alex
Tata letak : Zeruya Diantika
Pemeriksa aksara : Arifin
Penerbit : CAPS (Center for Academic Publishing Service)
Tahun terbit : 2018
Buku ini disusun sebagai bagian dari sejarah sastra Indonesia, terutama periode 1950-1965, dengan mendasarkan pada keadaan kesusastraan Indonesia pada masa itu. Sebagai konsekuensinya, isi yang terpapar dalam buku ini merupakan informasi yang masih belum diinterpretasikan atau terpapar begitu apa adanya. Diharapkan buku ini berguna sebagai pengantar yang lengkap untuk data dan keadaan sastra Indonesia saat itu.
Buku ini merupakan sebagian dari hasil perkuliahan Sejarah Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret. Sebagai hasil perkuliahan, buku ini perlu dikembangkan dengan topik-topik yang berhubungan dengan sejarah, pendekatan sosiologis, dan kesastraan. Buku ini mengungkap berbagai lembaga kebudayaan, para pengarang, dan kritik sastra Indonesia pada masa itu. Umumnya, buku-buku sejarah sastra Indonesia yang sudah ada hanya mengangkat topik Manifes Kebudayaan versus Lembaga Kebudayaan Rakyat, yang bersifat kurang netral dalam pembahasannya. Fakta-fakta yang Iain sering kali atau sengaja tidak disertakan karena alasan tertentu. Hadirnya buku ini berusaha untuk melengkapi kekurangan dari buku sejarah sastra Indonesia yang telah ada.
Materi dalam buku ini akan sangat berguna bagi para mahasiswa (Fakultas Ilmu Budaya atau Fakultas Sastra), pelajar, guru-guru (bahasa Indonesia dan Sejarah), dan peminat sastra atau sejarah sosial dan budaya di Indonesia pada umumnya.
Bukan 350 Tahun Dijajah
Penulis : G. J. Resink
Pengantar : A. B. Lapian
Penerjemah : Dita P. P., Iffah Adilah & Fauziah Nurul Hidayah
Desain sampul : Hartanto ‘Kebo’ Utomo
Desain isi : Sarifudin
Penerbit : Komunitas Bambu
Tahun terbit : 2016
Siapa bilang Indonesia dijajah 350 tahun? Bohong. Mitos belaka. Melalui buku ini GJ Resink sebagai sejarawan sekaligus penyair dan ahli hukum memaparkan bukti-bukti betapa semua itu konstruksi politik kolonial. Kebohongan 350 tahun dijajah dipopulerkan politisi Belanda, tetapi menjadi sangat dipercaya sebagai kebenaran sejarah ketika Sukarno kerap menggunakannya dalam pidato-pidato politik. Lantas para sejarawan dan celakanya pemerintah yang melalui kurikulum pelajaran di sekolah-sekolah akhirnya menjadikan mitos 350 tahun dijajah diterima dan tertanam sebagai kebenaran absolut di masyarakat.
Dalam buku ini Resink memberikan bukti-bukti kuat yang menggambarkan betapa banyak kerajaan-kerajaan dan negeri-negeri di Indonesia yang belum takluk dan di bawah cengkeraman tangan besi hukum kolonial Negara Hindia Belanda sampai abad ke-20. Resink siap dengan segudang sumber, terutama detail fakta hukum yang membuat argumennya bukan saja fokus dan kukuh tetapi juga punya vitalitas dalam memperlihatkan wilayah-wilayah Indonesia yang berdaulat selama kekuatan kolonial bercokol. Hitungan Resink, paling Hindia Belanda sebagai negara hanya ada selama 40 tahun, tetapi itu pun tidak benar-benar seluas wilayah Republik Indonesia hari ini, meskipun Belanda sudah benar-benar mengusahakan penaklukan selama 350 tahun.
Ngobrolin Komik
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Penyunting : Dorothea Rosa Herliany dan Budi Pamungkas
Penata letak pertama : Azka Maula
Desain dan ilustrasi sampul depan : Bambang Nurdiansyah
Desain sampul belakang : Pang Warman
Desain isi : Ardi Yunanto
Penerbit : Pabrik Tulisan
Tahun terbit : 2021
Siapa sangka komik ternyata bukan barang atau berkas sepele? Seno dalam catatan awal di buku ini, dengan tajuk “Komik dan Kebudayaan”, menulis: komik, dari kata comic (lucu), pernah bernasib tak begitu lucu. Bahwa pada dekade 1950-1960-an, komik pernah dicap sebagai yang haram, tak layak untuk dibaca. Maka dari itu komik dirazia dan dibakar tanpa suatu kejelasan atas kesalahan apa yang telah diperbuat berkas lucu ini. Moral panic, sebut Seno, yakni suatu situasi ketika keputusan diambil tanpa pertimbangan. Akan tetapi, kanak-kanak yang bernyali, sebagai salah satu golongan pembaca komik, menerima situasi itu dengan gaya tipikal: bahwa larangan ada hanya untuk dilanggar. Maka jadilah industri komik di Indonesia mencapai kejayaannya pada 1970-an.
Tapi stigma sepele atas komik tetap dirasa sulit tercabut bagi Seno, ketika ia sebagai pemuda puber ingin mengikuti jalan “seni tinggi” dengan menggauli sastra dan seni kontemporer: dari Malioboro hingga Taman Ismail Marzuki katanya. Seno ingin menunjukkan bahwa pandangan orang dewasa sangat berdampak besar pada nasib komik. Catatan-catatan itu Seno hadirkan untuk meyakinkan pembaca bahwa komik memang bukan sembarang gubahan. Satu lagi penanda, pada November 1980 ia bersama kelompoknya, Pabrik Tulisan, menggelar Pameran Seni Komik se-Indonesia & Seminar Komik di Seni Sono, Yogyakarta. Hadir pula Jan Mintaraga. Pabrik Tulisan itu lahir kembali dengan salah satu kegiatannya, menerbitkan buku tentang komik ini.
Namun, buku ini sebenarnya merupakan wujud pengambilan jarak antara Seno dengan pembicaraan atas komik, untuk betul-betul menyibak pergulatan antarwacana di dalamnya yang sering disebut sebagai kebudayaan. Misal, tentang bagaimana kaitan komik dengan kapitalisme yang diperas dari karakter Paman Gober si pembantu yang rakus dari Donal Bebek. Atau, inspirasi tentang pentingnya arsip dalam komikologi dari komik Wiro. Sekali lagi, buku yang isinya kumpulan artikel Seno ini berintensi menunjukkan bahwa dari komik kita bisa bicara hal lucu, cinta, hingga dialektika pemaknaan dalam ingatan kolektif khalayak.