Selain mini residensi, masih dalam rangka Ephemera #2, rekan-rekan IVAA juga mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan lain perihal kearsipan (wacana dan praktiknya) dengan mampir singgah di beberapa titik di luar IVAA.
Sukolilo ke Lasem
Hardiwan Prayogo dan Krisnawan Wisnu mendapat kesempatan untuk singgah di Pati dan Rembang. Di Pati, mereka tinggal beberapa hari di Sukolilo, sebuah kecamatan di Pati selatan, tempat di mana Omah Kendeng dibangun sebagai salah satu titik pertemuan para pejuang tanah Kendeng menolak pabrik semen. Di luar pembicaraan mengenai aktivisme mereka yang banyak bermunculan di media massa, ada beberapa hal yang tidak boleh luput dilihat sebagai bagian dari aktivisme mereka. Wiji Kendeng dan kisah bagaimana mereka “mengarsipkan” perjalanan perjuangan serta sumber mata air.
Wiji Kendeng adalah nama kelompok mudi-muda warga Sukolilo dan sekitarnya yang meneruskan tradisi bertani serta tradisi aktivisme melindungi tanah Kendeng. Setiap malam Rabu Pon, mereka selalu rutin berkumpul dalam acara wungon. Sebuah acara mendiskusikan situasi hari ini, yang diawali dengan tabuhan gamelan dan mengidungkan tembang macapat. Macapat menjadi pagar diri untuk memantulkan perkembangan situasi sekitar; memeriksa permasalahan apa yang perlu digarisbawahi sesuai dengan semangat kolektif.
Acara itu biasanya digelar di Omah Kendeng. Ruang di mana mereka juga menyimpan dengan rapi susunan kendi berisi air. Saat itu kira-kira ada 176 kendi yang dipajang. Tiap kendi menyimpan air dari sumber mata air yang mereka temui di sekitar pegunungan Kendeng. Ada beberapa kendi yang diikat pita merah-putih, tanda bahwa kendi itu pernah dipakai untuk menemani aksi tolak pabrik semen, baik di Pati maupun Rembang.
Mereka juga mengarsipkan sumber-sumber mata air itu dengan metode sistem informasi geografis. Setiap sumber dianalisis, dicari titik koordinatnya, dan dipetakan potensi-potensinya. Pengarsipan ini menjadi bahan pertimbangan mereka melihat perkembangan sumber mata air dalam jangka waktu per lima tahun.
Setelah dari Pati, mereka kemudian berkunjung ke Lasem, Rembang. Di sana mereka tinggal di sebuah penginapan di Museum Nyah Lasem. Museum Nyah Lasem adalah salah satu upaya meletakkan sejarah keluarga di hadapan publik. Dari Museum Nyah Lasem, mereka kemudian mengunjungi titik-titik serupa di sana. Misal, Rumah Batik Nyah Kiok, Rumah Oma Opa, Rumah Oei, dan beberapa tempat lainnya.
Titik-titik ini menunjukkan suatu gerakan bersama masyarakat Lasem, khususnya yang banyak dikelola Yayasan Kesengsem Lasem, untuk membicarakan pengetahuan kawasan Lasem melalui pendekatan heritage. Alih-alih menghadirkan satu kerangka besar yang mencakup seluruh aspek historis kawasan ini, yang muncul justru titik-titik kecil dari setiap rumah warga.
Misal, Rumah Oma Opa. Rumah ini adalah tempat tinggal pribadi yang dihuni oleh Oma dan Opa. Tetapi sekarang Opa tinggal sendiri dan ditemani penjaga untuk membantu merawat rumah, Bu Minuk. Opa sangat antusias jika ada pengunjung datang ke rumahnya. Bukan sejarah kepahlawanan yang ia ceritakan kepada pengunjung, Opa justru dengan masih semangat menceritakan kisah-kisahnya sewaktu kecil di rumah itu, sambil menunjuk beberapa sudut rumah yang masih dihiasi perkakas kuno.
Ada juga, Rumah Oei. Bangunan ini awalnya adalah rumah pribadi. Tetapi kemudian penerus rumah ini menjadikannya sebagai museum dengan cafe di depannya. Yang dipajang tetap artefak-artefak dari marga Oei yang sejak dulu meninggali rumah itu. Mulai dari koleksi foto keluarga, kain batik produksi mereka, hingga kebaya.
Nampaknya, heritage memang dipakai sebagai pendekatan sekaligus situs untuk membicarakan Lasem kepada orang Lasem sekaligus orang luar. Dan tentu, narasi toleransi etnis serta agama berada di dalamnya.
Kasepuhan Ciptagelar
Dwi Rahmanto dan Santosa Werdaya juga tak ketinggalan. Mereka memilih mengadakan perjalanan ke arah barat, di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Menempuh perjalanan darat lebih dari 12 jam, akhirnya mereka sampai di Kasepuhan Ciptagelar. Sebuah kawasan di pedalaman pegunungan Halimun-Salak dan secara administratif masuk ke Dusun Sukamulya, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok. Mereka tinggal kurang lebih selama lima hari di sana dan tinggal di rumah Kang Yoyo Yogasmana, salah satu petinggi Kasepuhan Ciptagelar.
Kasepuhan ini dipimpin oleh seorang Abah yang diwariskan secara turun-temurun dari garis laki-laki. Abah dibantu oleh sembilan rorokan, yakni Dukun, Paraji, Pemakayan, Paninggaran, Jero, Penghulu, Pangabasan, Panabahan, dan Tatabeuhan. Bersama dengan warga, mereka mengatur segala sistem pemerintahan hingga kehidupan sehari-hari. Tentang bagaimana ritual-ritual di setiap peristiwa penting kehidupan antar manusia dan bagaimana para manusianya berinteraksi dengan alam.
Mereka membagi hutan ke dalam tiga zona. Hutan Bukaan atau Garapan untuk lahan persawahan, ladang, dan pemukiman. Di hutan ini, segala hasil panen haram hukumnya untuk diperjualbelikan. Mereka selalu memegang teguh sebuah prinsip, “Pertanian bukanlah mata pencaharian, namun sebagai bagian dari kehidupan, menjual hasil pertanian berarti menjual kehidupan”. Kemudian Hutan Tutupan atau Lindung; sebuah hutan tempat penyangga hidup dan hasil hutan yang tumbuh secara alami dan bisa dimanfaatkan oleh para penduduk. Terakhir, Hutan Titipan atau Terlarang, di mana siapapun tidak boleh mengambil apapun dari situ.
Hubungan yang erat dengan alam betul-betul dijaga. Nampak juga dari struktur rumahnya. Mereka menggunakan kayu papan sebagai material lantai, anyaman bambu untuk dinding, dan pelepah aren atau ijuk untuk atap rumah. Selain tahan dengan terpaan gempa bumi, struktur rumah semacam ini begitu adaptif dengan cuaca, entah dingin atau panas. Rumah panggung juga menjadi pilihan arsitektur ekologis. Bahwa dengan tidak langsung menutupi tanah, mereka sedang menjaga resapan air agar tetap berfungsi dengan baik. Asupan listrik untuk segala aktivitas juga diadakan dari alam, yakni dari aliran sungai yang masih deras.
Kasepuhan Ciptagelar bukanlah komunitas yang menjaga sumber daya dan pengetahuan mereka dengan diam. Sejatinya, mereka adalah komunitas yang hidup dalam gerak. Salah satu sistem hidupnya adalah model berpindah. Sejak 1368 hingga 2021 Kasepuhan ini sudah berpindah lokasi tinggal sebanyak 19 kali. Dahulu awalnya di Bogor. Jika ditanya darimana, kemana dan kapan mereka harus pindah, jawabannya dari wahyu leluhur. Perintah leluhur yang dibacakan lewat alam, bisikan ke pemegang titipan, mimpi kepada siapa saja, didiskusikan bersama sebagai laku penyelarasan lahir-batin, antara yang terlihat dan tidak kelihatan. Berpindah menjadi cara mereka untuk memberi jeda kepada alam bernafas.
Dan pada 2001 mereka mendapat wahyu untuk berganti nama dari Ciptarasa menjadi Ciptagelar. Ciptagelar itu maknanya “menggelar”, memperlihatkan kepada dunia yang sudah semakin terputus dari alam dan nilai-nilai leluhur. Semacam arsip hidup yang muncul kembali sebagai pengingat sekaligus sumber energi para manusianya untuk melangkah ke kehidupan selanjutnya. Meski demikian, sebagai arsiparis, Dwe dan Santosa tidak bisa seenaknya saja mendokumentasikan hal-hal yang mereka jumpai di sana. Tidak semua rumah atau bangunan boleh dimasuki. Makan pun piring tak boleh disangga dengan tangan, harus diletakkan di bawah. Dan segala ritual serta pengetahuan turun-temurun mereka memang tidak ada dokumennya. Semuanya tutur, dengan laku, dan tersemat di benda-benda keseharian.
Hikayat Pengarsipan dari Sasak, Lombok Utara
Kalau dua sebelumnya ada di Jawa, Lisistrata Lusandiana dan Sukma Smita memilih melakukan perjalanan ke timur, tepatnya di Lombok Utara. Mereka mampir singgah di Pasirputih, di daerah Kecamatan Pemenang. Pasirputih adalah sebuah komunitas egaliter yang didirikan oleh para pegiat kebudayaan, aktivis media, serta seniman pada 2010.
Kebetulan saat itu, salah satu divisi kerja Pasirputih yang fokus di bidang pengarsipan, Baledata, sedang menggelar Hikayat Pengarsipan. Sebuah program publik berupa gelaran arsip warga Sasak, khususnya di daerah Lombok Utara. Perlu diketahui bahwa nama Baledata diadopsi dari Bale Beleq. Bale ini merupakan tempat warga menyimpan benda-benda warisan leluhur mereka. Setiap Bale Beleq dijaga oleh Pemekel (mangku) yang bertanggungjawab untuk merawat bangunan itu sendiri serta aksesibilitas orang atas pengetahuan di dalamnya, entah itu artefak atau ritual serta praktik kultural lainnya. Bale Beleq tak lain dan tak bukan adalah bentuk bagaimana pengarsipan itu begitu dekat dengan kehidupan kultural warga Sasak.
Praktik pengarsipan semacam inilah yang berusaha dipamerkan di Hikayat Pengarsipan. Digelar di Masjid Jami’ Nurul Hikmah, pameran ini menyuguhkan karya-karya seni yang menggarisbawahi kekuatan pengarsipan warga yang selalu menggandeng narasi toleransi. Ada juga suguhan Tari Rudat dengan latar warna-warni, dokumentasi video lawas, rekaman suara hingga tangkapan gerak secara visual. Sebuah upaya merekam gerak dengan intensi untuk terus dipraktikkan. Selain itu, ada juga kain-kain tenun sebagai manifestasi dari bagaimana warga merawat alam selaras dengan moda produksi untuk bertahan hidup. Tak terlewatkan lukisan kayu kaligrafi serta patung kayu juga menjadi bagian dari tradisi visual yang bukan melulu lukisan di atas kanvas.
Selain karya-karya itu, Lisis dan Sukma juga tidak mau meninggalkan kemungkinan lain dari Hikayat Pengarsipan. Soal pengetahuan yang tidak bisa didokumentasikan. Adalah obrolan-obrolan Pasirputih dengan subjek arsip ketika pengumpulan data, etika memamerkan karya, dll. Intensi ini yang membawa mereka untuk tidak hanya melihat Pasirputih dari program publiknya, tetapi juga obrolan sehari-hari yang penuh keakraban. Intinya, pengarsipan bukan hanya soal menjaga yang terlihat tapi juga menghargai segala sesuatu di luar tubuh teks.
TMII dan Jakarta Biennale
Febrian Adinata Hasibuan dan Irfannudien Ghozali berkesempatan pergi ke Jakarta. Mereka mengunjungi Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan Jakarta Biennale. Ketika di TMII, kebetulan pada hari Minggu, mereka melihat ragam pengunjung. Mulai dari sekelompok orang jogging, liburan keluarga, study tour, acara dinas provinsi, hingga upacara pernikahan. Mereka semua nampak tak acuh dengan anjungan-anjungan yang ada. Selain karena beberapa sedang direnovasi, anjungan-anjungan itu memang tampak tidak terlalu sering digunakan. Tapi saat itu kebetulan sedang ada acara di anjungan Yogyakarta.
Deretan museum juga sama saja, sepi dan mangkrak. Tapi ada satu museum yang membuat Febrian dan Ghozali berkeinginan betul untuk melihat; mungkin karena arsitektur gedungnya yang tampak paling gagah berupa benteng pertahanan dan kapal pinisi yang diletakkan di samping gedung. Museum ini memamerkan cerita para pahlawanan nasional dari era kolonial, atau sekitar abad 17, yang diterjemahkan dengan bentuk perpustakaan, diorama, dan patung. Dari semua diorama, adegan yang paling banyak disuguhkan adalah pertempuran di jalur air serta darat. Setiap bagian seakan ingin mengatakan bahwa pribumilah yang menang. Seperti museum pemerintah pada umumnya, cukup patriotik-heroik.
Sekalipun orang tidak lagi masuk ke anjungan dan museum, dan hanya memakainya sebagai tempat berlibur di akhir pekan, kampanye budaya atau propaganda politik yang indah dipandang layaknya taman tetap lamat-lamat terdengar.
Lain cerita ketika mereka berkunjung ke Jakarta Biennale, di salah satu titiknya di Museum Gajah. Setelah registrasi mereka masuk ke area pameran. Ternyata beberapa karya seni yang dipamerkan diletakkan seiring dengan benda-benda purbakala dari masa manusia batu, kerajaan Hindu-Budha, hingga kolonial. Seolah pengunjung diajak untuk mendialogkan artefak masa kini dengan masa lalu dengan tajuk “Esok”.
Pengunjung yang datang cukup berbeda dengan yang di TMII. Kebanyakan hadir anak-anak muda berpakaian rapi dan gaul, sembari mencari spot foto. Febrian dan Ghozali sempat berbincang dengan kuratornya, Farah Wardani. Tentang hajatan ini ia menggarisbawahi frase “ruang bergerak”. Ruang bergerak yang dimaksud adalah ruang dalam konteks mencari strategi ruang seni di masa pandemi yang belum tuntas dan membentuk imajinasi masyarakat di masa depan. Bahwa kehausan pengunjung pada ruang-ruang seni fisik cukup terasa. Semua seolah haus akan pertemuan fisik.
Barangkali memang para pengunjung itulah ruang bergerak dari ruang seni itu sendiri. Ketika mereka masih dengan pakaian sekolah dan kantor, berkunjung ke pameran adalah cara mereka mencari ruang lain dari rutinitas sehari-hari dan kesumpekan Jakarta.
……..
Banyak sekali pengetahuan yang rekan-rekan IVAA alami dan pelajari dari persinggahan-persinggahan yang cukup singkat itu. Bahwa pengarsipan sejatinya selalu terkait dengan tanah, kebiasaan, hingga artefak produk suatu kebudayaan. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa perjalanan kearsipan akan menemui banyak hal yang justru menolak dan tidak bisa diarsipkan.