Selama kurang lebih dua bulan, Agustus hingga September, kegiatan mini residensi Ephemera #2 diisi dengan kenalan dan perbincangan bersama para partisipan serta pemantik diskusi. Setelah itu, semua partisipan kembali fokus memikirkan dan mengolah kemungkinan-kemungkinan untuk proyeknya masing-masing.
Tidak ada kerangka kuratorial yang membingkai proses mini residensi ini. Setiap partisipan dibebaskan menentukan isu, bentuk, dan cara presentasinya. Batasan barangkali ada di persoalan teknis sumber daya, entah itu energi, dana, maupun waktu. Masing-masing partisipan juga ditemani oleh staf IVAA, bukan sebagai kurator apalagi mentor, hanya untuk menjadi teman bincang. Entah untuk bantu menimbang konsep dan presentasi akhir, proses mengolah temuan data, dan sebagainya. Lokasi presentasi akhir digelar di beberapa titik, sesuai dengan kebutuhan masing-masing partisipan. Ada yang di Yogyakarta, Pontianak, Singkawang, dan Surabaya.
Mujarobat Paraji
Muhammad Ari Nugraha tetap setia dengan isu Paraji, dukun beranak di masyarakat Sunda. Ia memilih Rumah IVAA sebagai situs presentasi karyanya, Mujarobat Paraji. Entah kebetulan atau tidak, kabarnya dapur IVAA dulu sempat menjadi tempat praktik aborsi dukun bayi. Untuk menghargai sejarah itu, sebelum menyuguhkan karya-karyanya, Ari mengajak beberapa orang untuk menggelar doa bersama di dapur IVAA. Mendoakan jiwa-jiwa pendahulu kita yang dipaksa mati sebelum menyambut dunia dengan tangisan.
Mujarobat Paraji – Ari Nugraha
Untuk presentasi karya, Ari menghadirkan beberapa lukisan di atas kertas yang telah direndam rempah-rempah. Digantung di ruang perpustakaan dan dapur. Ari juga mengolah audio perbincangan dengan neneknya (seorang Paraji), memadukannya dengan foto-foto lukisan, ke dalam bentuk video yang dapat dinikmati di youtube IVAA. Karyanya yang dipamerkan di Rumah IVAA berdurasi 9 hari, sesuai dengan 9 ilustrasi yang menggambarkan rangkaian prosesi Paraji dari kehamilan hingga kelahiran. Bersama Lisistrata, Ari juga telah membuat catatan proses elaborasi topik Paraji yang bisa dibaca.
9 Mujarobat Paraji – Ari Nugraha Kolaborasi dengan Mak Dasti & Mamet Fadhlallah
Re:archive
Karin Josephine nampaknya juga tak jauh dari wilayah rumah sendiri. Kondisi hearing loss membuatnya masuk ke dalam upaya untuk memeriksa kembali sejarah keluarga. Sebentuk upaya mengurai kekacauan kondisi mental yang juga ia bawa dalam laku kolasenya. Kalau Ari punya nenek sebagai seorang Paraji, Karin punya tumpukan arsip keluarga di gudang rumahnya, di Jakarta Timur. Bukan hanya akta kelahiran atau surat tanah, tetapi arsip nota pembelian buku, catatan harian, koleksi wadah korek api, hingga telegram dari era 1930-an.
Karin tidak terlalu menaruh ekspektasi yang ketat soal bagaimana koleksinya akan dipamerkan. Dengan merespon balkon lantai dua perpustakaan IVAA, ia menata semua koleksinya selayaknya interior kamar kerja di rumah. Re:archive menjadi tajuk yang dipilih. Selain pameran arsip, Karin juga menggelar lokakarya kolase. Ia mengundang publik, siapapun, untuk bersama-sama mengolah kumpulan foto lama yang didapat dari pasar loak. Alih-alih mengajarkan bagaimana cara berkolase, Karin justru membebaskan peserta untuk bereksplorasi.
Proses Karin tidak berhenti pada waktu pameran, melainkan terus berlanjut di obrolan-obrolan santai di IVAA. Di situ ia bersama Krisnawan Wisnu dan rekan-rekan IVAA lainnya menjumpai banyak pintu masuk yang begitu berelasi dengan sejarah keluarganya. Salah satunya, tentang peran kakeknya yang menjadi bagian penting dalam sejarah sastra Indonesia di era awal abad 20. Intensi personal di titik ini mulai memunculkan signifikansi sosialnya, atau yang sosial punya relevansi personalnya. Melalui tautan ini, Karin dan Wisnu sama-sama merefleksikan proses dalam Mini Residensi.
How did I Get Here?
Upaya mengenali kembali kedirian dengan kerja arsip juga dilakukan oleh Faida Rachma melalui karyanya bertajuk “How did I Get Here?”. Sebagai mbak-mbak tanggung yang kebanyakan menonton Youtube, variety show Korea, dan takut menjadi lupa, Faida tekun mengarsipkan semua yang telah diakses ke dalam QR code. Kita bisa melihatnya di akun instagram @daytoday.codegram. Secara lebih mendalam, dengan perbincangan bersama Sukma Smita, proyek Faida ini dituangkan ke dalam serangkaian fashion pakaian yang dijahitnya sendiri. Beberapa QR code ia buat menjadi ikon utama dari beberapa pakaian yang membalut tubuh 3 manekin di Rumah IVAA. Tembok biru bertuliskan impresi maupun kutipan dan pernyataan atas dunia digital ia sertakan sebagai latar belakang sekaligus lantai pijakan manekin-manekin itu. Manekin ini bisa dimaknai sebagai sosok manusia hari ini. Bertubuh kering, dingin, tanpa rupa, tapi menyimpan jejak-jejak konsumsi yang terlanjur menubuh. Tetapi, ini bukanlah upaya mengutuk dunia digital.
Faida melalui karyanya ini justru berusaha mengapresiasi para produsen konten yang telah ia tonton. Alih-alih mampu menemukan pengetahuan diri, Faida justru menemui kebingungan. Dari sini, sebagai orang yang mendukung gagasan datakrasi, Faida semakin yakin bahwa kecerdasan buatan (AI) adalah alat bantu yang bisa mendukung kerja-kerja manusia mengenali diri. Refleksi atas proses Faida dapat dibaca di laman website IVAA.
Rasa Ingatan
Fredy Hendra, salah satu partisipan yang ingin mendalami persoalan identitasnya ini berusaha untuk mengeksplorasi perihal gender non-biner yang jarang sekali dibicarakan. Alih-alih mengklaim diri secara tegas; apakah perempuan, laki-laki, waria, transgender, atau apapun itu, Fredy justru menempatkan diri pada wilayah antara. Bukannya ragu-ragu, tetapi wilayah yang penuh kelonggaran untuk pertanyaan bagaimana identitas itu disematkan.
Fredy tidak berangkat dari hal yang rumit atau abstrak, melainkan dari sesuatu yang dekat dengan dirinya, yakni sambal. Fredy gemar menyambal. Sambal bagi Fredy menyimpan ingatan yang sangat kuat atas keluarga dan lingkungan sekitarnya. Sebagai elemen pelengkap makanan, sambal juga hampir luput dari sematan gender. Ia bisa saja dibuat oleh pria, perempuan, trans, atau siapapun. Dan bukan itu yang terpenting, melainkan bahwa rasa pedasnya yang tertinggal di mulut. Selayaknya perihal gender, bukan jenis kelamin yang terpenting tetapi bagaimana kebebasan diri kita yang menentukan seperti apa diri akan berperan.
Presentasi karya diawali dengan meditasi bersama dalam bentuk praktik membuat sambal secara online. Ada beberapa partisipan yang diajak untuk mengolah sambal dalam suasana hening, dan kemudian membincangkan ingatan atas sambal itu. Beberapa artefak yang digunakan Fredy kemudian dipamerkan di Rumah IVAA. Tidak terputus begitu saja, Fredy kemudian melanjutkan proses ini dengan refleksi bersama beberapa partisipan di Galeri Lorong. Membicarakan kembali hal-hal yang luput dari ruang pamer dan workshop. Refleksi Fredy dan tulisan dari Yngvie Ahsanu Nadiyya dapat disimak di website IVAA. Selain itu, proses meditasi dan refleksi Fredy bersama beberapa partisipan juga dapat ditonton di youtube IVAA.
Gak Boleh Begitu, Gak Boleh Begini, Katanya (Sebuah Gradasi)
Berangkat dari pengalaman dipaksa menurunkan karya dalam suatu pameran di Jawa Timur, Syska La Veggie mencoba mengolah kembali isu karya “tabu” melalui Mini Residensi ini. Bersama Febrian Adinata Hasibuan, ia menyambangi beberapa perupa perempuan di Jawa Timur yang dekat dengan kekaryaan (yang dianggap) tabu, untuk membicarakan isu tersebut.
Eksplorasinya ini kemudian dibawa ke dalam sebuah pameran di Unicron, Surabaya. Syska mengawalinya dengan sebuah performance lecture, menghadirkan pernyataan-pernyataan dari partisipan diskusi dan menempeli tubuhnya dengan pembalut-pembalut sebagai bentuk semangat tak henti untuk menentang stigma negatif. Dalam pameran ini, Syska dan kawan-kawan mencoba memberi pengalaman lain dalam melihat ketabuan. Bahwa karya tabu justru menyimpan banyak ingatan tentang trauma dan situasi-situasi kekerasan kolektif.
Pameran Syska ini juga menjadi rangkaian dari Biennale Jatim IX. Dan tidak berhenti di sini, eksplorasi dilanjutkan dengan penelitian bersama Perempuan Pengkaji Seni. Beberapa refleksi yang bisa dibaca terkait dengan proyek ini adalah tulisan dari Febrian Adinata Hasibuan dan katalog pasca acara.
Lecture Performance oleh Syska La Veggie
Spirit of Resilience
Sudah jarang sekali kita menemui pembicaraan seputar kusta atau lepra. Penyakit ini mungkin memang sudah bisa diobati, tidak seperti jaman dahulu. Namun, bukan berarti persoalan sosialnya telah hilang. Yerie Yulanda mencoba mengusung topik ini. Topik yang dia pilih karena letak rumahnya yang tak jauh dari Rumah Sakit Kusta Alverno di Singkawang.
Dari sana, Yerie kemudian menemukan perkampungan yang “dikhususkan” untuk para penyintas kusta. Mereka dilokalisasi (diisolasi) di kampung Liposos Pakunam, di lereng bukit Sijangkung, Singkawang. Sudah menjadi hal lumrah di sana, bahwa para penyintas (meski sudah sembuh dan tidak bisa menularkan kusta) tidak diterima di lingkungannya tempat awal mereka tinggal. Stigma negatif sudah terlanjur menempel di tubuh mereka. Perkampungan khusus ini memperlihatkan bagaimana problem sosial mengiringi para penyintas kusta. Satu sisi mereka mendapat tempat tinggal, namun satu sisi yang lain “pengasingan” ini membuat stigma negatif atas mereka tidak kunjung mereda.
Melalui proyek ini, Yerie mencoba berkolaborasi dengan mereka. Memadukan keahlian ecoprint para penyintas dengan pengetahuan lukis yang didapat Yerie dari bangku kuliah. Kolaborasi mereka ini selanjutnya dipamerkan di Liposos. Dengan diskusi bersama Hardiwan Prayogo, Yerie kemudian juga membuat sebuah film dokumenter proses yang dapat ditonton di youtube IVAA, beserta tulisan refleksi yang Yerie buat.
Spirit Of Resilience – Yerie Yulanda kolaborasi bersama Ruang Terampil Pakunam
Pantang Bersuara
Pantang bersuara punya dua makna. Pertama, pantang dalam Bahasa Indonesia yang berarti “untuk tidak” (baca: untuk tidak bersuara). Kedua, pantang dalam bahasa Dayak Iban yang artinya tato (baca: tato bersuara). Dua-duanya bisa jadi berlaku untuk proyek Victor Fidelis ini. Fotografer asal Kalimantan Barat ini berusaha mengusung topik tato Dayak Iban yang telah melalui berbagai macam fase kehidupan. Mulai dari era mengayau, merantau, hingga stigma negatif atas tato sejak Orde Baru. Victor sebenarnya sudah mengumpulkan arsip foto tato-tato ini, dari wilayah Kalimantan Barat hingga perbatasan Malaysia, sejak 2015.
Melalui Mini Residensi ini, awalnya Victor ingin menggelar pameran bersama dengan warga Iban sebagai kuratornya dan di tempat di mana mereka tinggal. Tapi tidak ada yang tahu, fenomena alam banjir bandang terjadi di Kalimantan. Tak luput juga area di mana Victor bergerak. Situasi ini kemudian memaksa Victor mengambil beberapa keputusan setelah melakukan diskusi bersama pendampingnya, yaitu Dwi Rachmanto. Victor akhirnya menggeser rencana awal, menggantinya dengan alternatif yang masuk akal.
Akhirnya Victor menggelar pertunjukan musikalisasi visual bersama Nursalim Yadi Anugerahya, Juan Arminandi, dan Yeni Mada. Mengambil tempat di Jar Jar Cafe & Space, mereka merespon rangkaian foto tato Dayak Iban koleksi Victor dengan lantunan musik instrumental. Pertunjukan ini menjadi metafora bahwa tato memang punya kekuatan untuk menyuarakan keprihatinan orang Iban atas gempuran kekerasan stigma hingga kerusakan lingkungan. Tulisan refleksi Victor dan video pertunjukan dapat disimak secara online.