Penulis: Martinus Danang Pratama Wicaksana (Pemagang IVAA)
Judul: S. Sudjojono: Cerita Tentang Saya dan Orang-orang Sekitar Saya
Penulis: S. Sudjojono
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit: 2017
Tebal: 304 hal
ISBN: 987-602-424-307-4
Nomor panggil IVAA Library: 709 Sud S
Kisahnya tidak hanya sebagai seorang pelukis saja tetapi dalam dunia politik mengantarkannya sebagai perwakilan PKI dalam anggota parlemen. Sayang kisah cintanya dengan Rose Pandanwangi membuat dirinya harus berpisah dengan PKI.
Sudjojono dikenal sebagai salah satu pelukis Indonesia yang namanya masih harum hingga kini. Meskipun sudah tiada namun keberadaannya sebagai pelukis Indonesia masih terasa hingga saat ini. Melalui lukisan-lukisannya yang hingga kini masih terpajang dengan rapi dalam bekas sanggarnya yang telah menjadi S. Sudjojono Center. Bahkan kini lewat autobografinya ini S. Sudjojono kembali hidup di tengah-tengah sejarah seni lukis Indonesia.
Sebagai seorang pelukis sekaligus politikus, karya-karya Sudjojono berbeda dari yang lain di masa itu. Di masa penjajahan Belanda minat pelukis Indonesia didominasi oleh tema-tema Mooi Indie, di mana mereka melukiskan keindahan alam Hindia Belanda. Namun lain bagi seorang Sudjojono yang sama-sama hidup pada masa penjajahan Belanda, Sudjojono mengatakan ia anti terhadap tema-tema Mooi Indie. Kedekatan Sudjojono terhadap politik seperti kedekatannya dengan Soekarno dan Adam Malik membuat Sudjojono kemudian memiliki minat untuk menggambarkan perjuangan rakyat Indonesia di dalam lukisan-lukisannya.
Kedekatan Sudjojono tidak hanya sebatas pada Soekarno dan Adam Malik saja tetapi juga dengan Ki Hadjar Dewantara yang kemudian mengantarkannya menjadi guru. Sebelum menjadi pelukis yang dikenal, Sudjojono merupakan seorang guru di Taman Siswa hingga mengantarkannya ke Rogojampi sebagai guru pembantu di desa terpencil di Banyuwangi itu (hlm 25).
Bagi Sudjojono pekerjaannya sebagai guru sangat diminatinya meskipun dia juga menyambinya dengan melukis. Hal ini tidak terlepas dari dua kata yang diucapkan langsung oleh Ki Hadjar Dewantara kepada Sudjojono “Djon, bekerjalah!” dua kata yang menjadi inspirasi Sudjojono dalam melakukan pekerjaannya sebagai guru (hlm 29). Dididik langsung di bawah arahan Ki Hadjar Dewantara di Taman Siswa ia pun terilhami bahwa pendidikan sangatlah penting bagi anak-anak.
Namun pada akhirnya Sudjojono tidak melanjutkan minatnya dalam bidang pendidikan melainkan memilih untuk berkonsentrasi pada minatnya sebagai pelukis. Pilihannya ini pun tak salah, Sudjojono bersama teman-temannya berhasil mengadakan pameran lukisan oleh pelukis bangsa Indonesia tanpa campur tangan orang Belanda. Hal ini malahan mengejutkan banyak pihak bagi orang Belanda sendiri bahkan pameran mereka ditolak banyak pihak terutama orang Belanda.
Hal ini menimbulkan kebencian Sudjojono terhadap perlakuan pihak Belanda kepada pelukis-pelukis pribumi ini. Hingga suatu hari Sudjojono bersama teman-temannya mendirikan Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia). Sebuah perkumpulan yang sama-sama menyuarakan kemerdekaan namun Persagi lewat lukisan. Sebuah perkumpulan yang sangat politis menyuarakan kemerdekaan mengingat nama perkumpulan tersebut memakai nama Indonesia yang cukup berani pada masa penjajahan Belanda.
Tidak hanya melalui Persagi saja, perjuangan Sudjojono berlanjut pada masa Jepang dengan keberadaan pusat kebudayaan yang dibentuk oleh Jepang. Jepang sangatlah pandai dalam menyuarakan propagandanya melalui kesenian (hlm 72). Bahkan beberapa seniman Persagi begitu pun Sudjojono tergabung secara langsung dalam pusat kebudayaan tersebut. Layaknya Poetera yang diisi oleh Soekarno dan kawan-kawan. Pusat kebudayaan yang dibuat Jepang dimanfaatkan Sudjojono untuk menyuarakan kemerdekaan.
Minat Sudjojono kepada politik juga mengantarkannya masuk ke dalam PKI. Bahkan mengantarkan Sudjojono ke dalam panggung politik yakni ke dalam anggota parlemen mewakili PKI. Namun, Sudjojono kemudian berpisah di tengah jalan dengan PKI karena perbedaan pendapat mengenai keberadaan Tuhan, posisi anggota partai dengan partai yang lain dan rasa cintanya terhadap Rose Pandanwangi yang kemudian menjadi istrinya (hlm 100).
Bagi Sudjojono hal yang paling krusial ketika dia harus berpisah jalan dengan PKI adalah kisah cintanya dengan Rose Pandanwangi. Sudjojono dan Rose telah sama-sama memiliki pasangan yang sah dan anak. Hal inilah yang ditentang oleh Aidit pemimpin PKI saat itu. Namun Sudjojono membalas perkataan Aidit “Tidak adakah rupanya dalam benak Das Kapital tentang cinta?” perkataan yang cukup berani yang dilontarkan Sudjojono kepada Aidit hingga membuat Sudjojono keluar dari PKI (hlm 104).
Setelah keluar dari PKI kemudian Sudjojono menikahi Rose Pandanwangi dan dimulailah petualangan mereka sebagai sepasang suami istri. Pasang surut kehidupan keluarga mereka terus dijalani bersama, apalagi kini Sudjojono tidak berpolitik lagi dan hanya fokus dengan profesinya sebagai pelukis. Bahkan gonjang-ganjing keluarga mereka ketika lukisan-lukisan Sudjojono tidak laku dipasaran akibat fitnahan yang berasal dari anggota PKI. Namun, mereka tetap sabar dan tetap semangat dalam mengarungi kehidupan keluarga mereka.
Bahkan kesabaran mereka mengantarkan Sudjojono kepada karya ciptanya yang besar yakni lukisan “Pertempuran Sultan Agung dan J.P. Coen” yang kini tersimpan baik di Museum Nasional Jakarta. Mahakarya Sudjojono ini menjadi sebuah karya terbaik Sudjojono yang bahkan diminati oleh para pemimpi negara sahabat. Tidak hanya itu saja, Sudjojono juga sering mengadakan pameran lukisan yang langsung dikoordinir oleh Rose Pandanwangi.
Buku ini menceritakan dengan detail kisah perjalanan Sudjojono untuk menjadi pelukis yang dikenal hingga kini. Bahkan perjalanannya ini dia tulis sendiri. Ssesuatu hal yang sangat perlu diperhatikan lebih detail dalam memperlajari sejarah seni rupa Indonesia. Buku ini menjadi salah satu peninggalan Sudjojono yang akan terus hidup dalam sejarah seni rupa Indonesia, tidak hanya lukisan-lukisannya.
Artikel ini merupakan bagian dari Rubrik Sorotan Pustaka dalam Buletin IVAA Juli–Agustus 2017.