Judul : Sekolah Salah Didik Uji Coba 1
Editor : Antariksa, Brigitta Isabella, Fiky Daulay, Gatari Surya Kusuma, Khoril Maqin, Nuraini Juliastuti, Rifki Afwakhoir, dan Zita Laras
Penerbit : KUNCI Publication
Tahun Terbit : 2019
Tempat Terbit : Yogyakarta
Halaman : 223
ISBN : 978-602-19692-4-3
Resensi oleh : Muhammad Ziauddin Rosyad Arroyhan
Apa yang terbayangkan di benak kita ketika mendengar kata “sekolah”? Sebagian mungkin akan langsung memikirkan tentang sebuah bangunan atau ruang kelas di mana proses belajar mengajar dilakukan dengan tuntunan seorang guru. Barangkali selama ini guru seolah menjadi titik sentral dari proses transfer informasi dan pengetahuan kepada murid-muridnya. Hubungan mereka menjadi hirarkis. Lantas, apakah kita pernah membayangkan sebuah sekolah di mana hubungan guru-murid itu benar-benar sejajar, teman-teman sekelas yang sama-sama tidak tahu materi apa yang akan dibahas? Sebuah situasi yang mengkondisikan kita untuk belajar sesuatu yang baru. Kira-kira kacau atau tidak?
Itu adalah apa yang coba dilakukan oleh KUNCI Cultural Studies Center melalui program Sekolah Salah Didik (SSD) yang diikuti oleh beberapa partisipan dari latar belakang masyarakat yang berbeda. Hasil dari program tersebut ialah rapor yang diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul SSD Uji Coba 1. Buku ini berisi esai, gambar, puisi, peta, transkrip, dan hasil diskusi dari kegiatan mereka selama 1,5 tahun dari November 2016 sampai April 2018.
Kejemuan terhadap model sekolah yang telah membentuk murid-murid selama ini menjadi latar belakang program SSD. Apa yang dilakukan KUNCI bagi saya cukup unik, karena mereka berusaha mencari model-model sekolah atau produksi pengetahuan alternatif yang berada di luar model dominan, yang ternyata telah eksis dan bahkan telah dipraktikkan di Indonesia pada masa lalu.
Salah satu metode yang digunakan adalah metode Jacotot. Sebuah metode yang mengacu pada buku karangan Jacques Ranciere berjudul The Ignorant School Master. Metode ini merupakan satu bentuk produksi pengetahuan di mana hirarki antara guru-murid, antara yang tahu dan yang tidak tahu, berusaha dibongkar. Dalam prosesnya KUNCI hanya berperan sebagai fasilitator penyedia ruang dan perkakas belajar yang turut berproses secara setara sebagai sesama murid yang ingin belajar mengenai cara belajar. Apa yang akan dipelajari dan bagaimana cara belajarnya ditentukan secara bersama-sama. Para partisipan semula menjalani proses adaptasi guna memahami satu sama lain. Lalu dalam praktiknya mereka menggunakan beragam medium untuk belajar seperti bahasa isyarat, youtube, film, dll.
Setelah metode Jacotot, metode kedua yang digunakan adalah ‘turba’ (turun ke bawah), salah satu metode penciptaan seni yang dipratikkan oleh LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Banyak seniman pada tahun 50-an bekerja dengan metode ini, pergi ke desa-desa untuk melihat dan memahami kondisi aktual masyarakat pada jaman itu. turba sendiri memiliki prinsip 1-5-1, yaitu meluas dan meninggi; tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, memadukan tradisi yang baik dan kekinian yang revolusioner, memadukan kreativitas individu dan kearifan massa, serta memadukan realisme sosialis dan romantik revolusioner, melalui cara kerja turun ke bawah. Metode ini juga punya konteks sejarah pada era Soeharto. Kita mengenal Kuliah Kerja Nyata (KKN) di mana mahasiswa diterjunkan ke berbagai daerah pelosok, biasanya desa-desa, untuk melihat realitas dan memahaminya. Dalam konteks SSD, metode ini digunakan untuk menguji kembali relevansi ‘turun ke bawah’ dalam artian turun ke masyarakat.
Pada praktiknya para partisipan SSD dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil sesuai minat yang ingin dipelajari. Ada yang pergi menjadi petani, tukang ojek online, turun ke lokasi konflik di Kulon Progo, berdinamika di kampung seniman Cilekong, Bandung, serta bersekolah di Ponorogo. Setelah melakukan praktik turba, banyak diskusi dan pelajaran yang muncul. Secara umum topik yang banyak dibahas adalah tentang kerentanan sosial dalam masyarakat. Pengalaman-pengalaman itu kemudian ditulis ulang dan direfleksikan kembali melalui buku ini.
Banyak temuan-temuan yang ditemukan dan lalu dituliskan oleh para murid SSD dengan latar belakang berbeda. Ada yang memulai tulisan dengan ketertarikan mereka terhadap kelas SSD, pengalaman dan hambatan saat proses belajar, hingga perubahan yang terjadi pada masing-masing peserta setelah mengikuti kelas. Berbagai pengalaman tersebut juga dibahas secara personal dengan berbagai perspektif. Beberapa di antaranya adalah pengalaman peserta yang belajar cara menanam padi, bagaimana kondisi guru honorer mendapat cap sebagai pekerjaan kelas bawah, serta soal bagaimana pendidikan formal hari ini yang cenderung menutup pintu eksplorasi dan berjarak dengan realitas kehidupan.
Banyak pengalaman dari mereka yang dapat kita renungkan dan kita banding-bandingkan dengan pengalaman personal kita masing-masing. Hubungan guru-murid yang begitu cair, kebebasan memilih tempat, waktu, cara belajar dan materi yang ingin dipelajari berdasarkan asas kebersamaan terasa sangat berbeda dengan pendidikan formal pada umumnya. Pendidikan formal cenderung menyeragamkan, mulai dari pakaian, potongan rambut, materi ajar beserta waktu kapan diajarkan, dan peraturan antara guru dan murid. Penyeragaman ini barangkali telah mewariskan ingatan bahwa sekolah itu selalu identik dengan nilai rapor, bangku-bangku, dan papan tulis. Selain itu, kebutuhan industri cenderung lebih diutamakan dari pada masyarakat luas. Lantas, bagaimana jika para lulusan sekolah formal itu dihadapkan dengan realitas bersama masyarakat?
Buku dengan ilustrasi lucu dari Onyenho ini memuat proses SSD yang berlangsung selama kurang lebih 1,5 tahun. Alih-alih jawaban, sebagai rapor buku ini justru menyuguhkan berbagai pertanyaan yang nampak sepele tapi hampir selalu luput untuk dibicarakan. Apa itu sekolah? Apa itu ruang belajar? Seiring dengan doa dan harapan yang tak sengaja terucap dalam hati seusai membaca buku ini, muncul sebuah refleksi: bukankah pertanyaan adalah awal dari usaha manusia untuk belajar?
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Pustaka dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Juli-Agustus 2019.