Judul : Play and Display: Dua Moda Pergelaran Reyog Ponorogo di Jawa Timur
Penulis : G.R. Lono Lastoro Simatupang
Penerbit : Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa
Tahun Terbit : 2019
Tempat Terbit : Yogyakarta
Halaman : xvi + 286
ISBN : 978-602-73120-3-6
Resensi oleh : Hardiwan Prayogo
Penulis buku ini, G.R Lono Lastoro Simatupang, lahir dan besar di Yogyakarta. Pengalaman pertamanya dalam menyaksikan reyog Ponorogo justru tidak terjadi di Ponorogo, atau bahkan Jawa Timur, tetapi di Yogyakarta. Pada akhir 1960-an, untuk pertama kalinya, Lono menyaksikan secara langsung pertunjukan reyog Ponorogo. Lono menyebut pertunjukan ini sebagai versi ‘tulen’ reyog Ponorogo. Ia sebut demikian karena saat itu dia ingat betul setiap babak atau episode hingga detail kostum yang digunakan. Perjumpaan kedua terjadi sekitar 30 tahun kemudian, yaitu pada 1997 di Ponorogo, lebih tepatnya saat digelar lomba reyog di Ponorogo. Kali ini, secara detail, banyak yang berbeda dari reyog yang dia saksikan pada kisaran 1960-an.
Buku yang ditulis dalam rangka disertasi ini kemudian berangkat dari asumsi bahwa reyog adalah sebuah pertunjukan tari yang kerap berbeda-beda dan mungkin berubah. Lono melakukan penelusuran lebih jauh, merambah pada peletakan kesenian ini dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat, khususnya Ponorogo yang juga senantiasa berubah. Apa makna-makna lokal yang dilekatkan pada reyog Ponorogo? Mengapa masyarakat Ponorogo mempergelarkan reyog Ponorogo dari masa ke masa? Bagaimana menyelami seluk-beluk hubungan antara cerita asal-muasal/ teks dan pergelaran reyog Ponorogo? Beberapa pertanyaan seputar teks dan konteks itulah yang dielaborasi dalam buku ini.
Lono menawarkan bagaimana memperdalam sebuah penelitian, khususnya terhadap kesenian tradisional, yang lebih dari sekadar mencari fungsi, bentuk, dan makna. Bisa jadi tidak semua pembaca sepakat bahwa buku ini sedang menawarkan hal tersebut. Lono melakukan pendalaman teoritis atas fenomena pergelaran, yang lebih lanjut dalam buku ini disebut sebagai performance studies. Tarikan penelusuran ini berasal dari perspektif fenomenologis. Ia menekankan pergeseran dari “sebab-akibat” ke dalam teori-teori embodiment. Maka yang dilakukan Lono untuk meninjau kasus reyog Ponorogo adalah mengambil peristiwa pergelaran sebagai titik tolak, bukan dari kisah dan cerita dalam pertunjukan. Inilah titik di mana Lono ingin memperdalam penelusurannya lebih dari fungsi, bentuk, dan makna, karena ketiganya justru ditentukan dari perspektif pergelaran. Singkat kata, peristiwa pergelaran adalah teks yang teraktualisasi, terus menggulirkan artikulasi dan cipta-ulang makna-makna. Hal-hal bersifat fenomenologis ini kemudian disebut sebagai ‘panggung belakang’. Dengan menemukan banyak data di lapangan melalui metode etnografi yang dilakukan, Lono memperluas spektrum analisisnya.
Istilah ‘panggung depan’ kemudian dimunculkan untuk melihat praktik pergelaran dari perspektif peneliti, sekaligus penonton dan orang dari luar Ponorogo. Salah satunya adalah dari kacamata hegemoni negara dan negosiasi seniman. Tekanan negara, khususnya pada masa Orde Baru, yang turut serta menggunakan kesenian sebagai salah satu medium propaganda program pemerintah, berhadapan dengan seniman yang memiliki kepentingannya sendiri. Adalah suatu kehati-hatian bahwa tinjauan atas kepentingan-kepentingan ini bisa jadi tergelincir dalam penilaian yang cenderung normatif dan pragmatis.
Tanpa perlu ditegaskan lagi, metodologi dan analisis pasti akan memerlukan penyesuaian jika ingin diterapkan pada studi kasus yang berbeda. Buku ini kemudian dapat ditempatkan sebagai referensi untuk meneliti bagaimana meninjau kesenian, dalam bingkai spasial, temporal, dan material; melihatnya sebagai fenomena pengalaman yang diintensifkan oleh kesenian. Tertulis secara jelas bahwa kajian ini ingin melahirkan pemahaman tentang upaya mencari pengalaman-pengalaman yang dikonstruksikan dalam pergelaran reyog Ponorogo, dan juga bingkai yang membawa penajaman pengalaman tersebut.
Membaca kajian reyog Ponorogo dalam buku ini membuat saya teringat pada satu artikel di koran Pikiran Rakyat edisi Jumat, 12 September 1986. Artikel ini berisi liputan tentang sarasehan kebudayaan di Studi Teater Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), yang menghadirkan Sanento Yuliman dan Emha Ainun Nadjib. Sarasehan tersebut membicarakan seputar sejauh apa nilai-nilai budaya Indonesia terpengaruh oleh dominasi budaya barat. Di penghujung artikel, Emha berpendapat bahwa paradigma budaya, khususnya kesenian, antara orang Indonesia dan barat berbeda. Jika orang barat mengenal seni dengan proses ‘tahu’, ‘mengerti’, dan ‘bisa’, orang Indonesia melaluinya dengan ‘bisa’ lebih dahulu.
Dengan berawal dari dari asumsi demikian, kita memang berhak untuk selalu mengajukan pertanyaan di mana posisi kajian dalam ekosistem kesenian, sejauh apa kehadirannya bekerja secara dialektis di antara teori dan praktik. Kembali pada buku ini, kajian yang menitikberatkan pada analisis fungsi, bentuk, dan makna mungkin sebenarnya tidak terlalu relevan dengan bagaimana kerja seni sebagai bagian dari produksi pengetahuan di konteks masyarakat kita. Pendekatan dan perspektif yang digunakan secara tidak relevan dan menukik pada kajian sen barangkali berpotensi melebarkan jarak epistemologis antara kajian seni dengan praktik yang terjadi.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Pustaka dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Juli-Agustus 2019.