Judul Buku : Unjuk Rasa: Seni-Performativitas-Aktivisme
Penulis : Alia Swastika, Asri Saraswati, Cholil Mahmud, Dede Pramayoza, Diah Kusumaningrum, Egbert Wits, Erni Aladjal, hikmat Darmawan, Ismal Muntaha & Bunga Siagian, Joned Suryatmoko, Manuel Alberto Mala, Muchammad Cora, Muhammad Sibawaihi, Morika Telepta, Rachmi Diah Larasati, Yuli Andari Merdikaningtyas
Editor : Brigitta Isabella
ISBN/ISSN : 978-602-61396-4-1
Bahasa : Indonesia
Penerbit : Yayasan Kelola
Tahun Terbit : 2018
Tempat Terbit : Jakarta, Indonesia
Resensi oleh : Sukma Smita Grah Brillianesti
There is much to discover that’s not on the back cover!
Ungkapan populer ini, tentu saja selain profil penulis atau harga buku, selalu menjadi pertimbangan saya dalam memutuskan untuk membaca atau membeli sebuah buku. Hal yang sama juga terjadi ketika saya memutuskan untuk membaca sampai habis dan kemudian mengulas buku ini. Saya merasa terdorong untuk menjelajahi tiap kata dan istilah hingga tandas. Dengan tebal 237 halaman, bersampul hardcover berwarna tanah nan artsy, format tata letak isi dan pilihan font yang cantik, serta kertas isi yang membuat nyaman dibaca, terlihat sedikit kontras dengan judul yang disematkan. Saya semakin dibuat penasaran tentang apa saja yang mungkin termuat di dalam buku ini.
‘Buku ini menerjemahkan istilah unjuk rasa sebagai suatu wacana estetiko-politik dalam proses demokratisasi di Indonesia.’
Unjuk Rasa, satu istilah yang sekilas cukup provokatif. Terbayang sebuah aktivitas gerakan protes yang dilakukan sekumpulan orang untuk melakukan penekanan politik, didasari oleh kegelisahan yang umumnya atas kebijakan pemerintah, berarak di jalan protokol, membawa banner atau berbagai alat peraga lain, dipimpin oleh satu orator dengan penjagaan ketat oleh aparat.
Unjuk Rasa: Seni-Performativitas-Aktivisme, merupakan wujud lain atas pengertian unjuk rasa yang lazim dipahami sebagai aksi demonstrasi. Memanfaatkan istilah unjuk rasa, buku ini menawarkan pembacaan atas tindakan ekspresi estetis dalam seni dan aktivisme. Penerbitan buku ini berawal dari sebuah ide menyusun publikasi yang berisi kumpulan pengetahuan yang diproduksi selama penyelenggaraan Program Hibah Cipta Perdamaian yang diinisiasi oleh Yayasan Seni Kelola. Gagasan publikasi berkembang seiring masuknya Brigitta Isabella sebagai editor buku, yaitu menjadi rampai atas catatan tentang seni dan aktivisme yang bahasannya diperluas pada praktik-praktik seni dan aktivisme di Indonesia saat ini.
Sebentuk Unjuk Rasa yang Lain
Melalui pengantarnya Brigitta merentangkan secara detail sketsa pembacaannya atas proses intervensi artistik seniman, komunitas seni, hingga kelompok masyarakat dan kontribusinya dalam mendorong terjadinya upaya rekonsiliasi dan penguatan kultural komunitas masyarakat dalam wilayah tertentu. Berpijak pada istilah unjuk rasa, Brigitta menawarkan pembacaan atas proses kreatif seniman melalui wacana estetiko-politik. Unjuk rasa dimaknai berbeda tanpa menghilangkan pemahaman atas pengertian unjuk rasa yang umum digunakan. Estetiko-politik dalam unjuk rasa mengandung makna kreatif dalam medan visual serta aspek penginderaan tekstur pengetahuan yang sensibel.
Proses ‘menunjukkan’ atau ‘memperlihatkan’ dalam aktivitas seni yang tidak berhenti pada seni sebagai pertunjukan atau bahkan seni sebagai tontonan dijabarkan melalui perspektif performativitas. Bahwa berbagai praktik kreatif seniman yang bekerja dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara demokratis. Partisipasi masyarakat dan masalah yang tengah dihadapi menjadi prioritas utamanya. Perspektif performativitas juga menyodorkan keragaman ruang dan medium aktivisme dalam proses demokratisasi. Sebagai laku menubuh, makna pelibatan tidak berhenti pada partisipasi masyarakat, namun masuk ke dalam ruang-ruang hidup. Tidak hanya terbatas pada ruang-ruang unjuk rasa yang sangat tipikal, seperti jalan protokol atau halaman kantor pemerintah, dengan tangan terkepal dan diiringi orator, kebutuhan menunjukkan rasa melalui kegiatan kreatif diwujudkan melalui ruang yang lebih dekat dengan aktivitas keseharian masyarakat.
Brigitta menulis ‘pengertian unjuk rasa sebagai praktik estetiko-politik yang akan diketengahkan buku ini ialah: berbagai cara tutur menubuh yang mengaktifkan sensibilitas dan agensi politik kolektif untuk berpikir kritis, menunjukkan realitas empiris dan mengambil peran dalam pengorganisasian transformasi sosial.’
Konteks waktu dan geopolitik Indonesia secara tidak langsung mempengaruhi keragaman alur pemikiran serta titik berangkat para penulis dalam buku ini. Berbagai persoalan yang dialami masyarakat Indonesia hari ini tidak lepas dari sejarah panjang yang dibentuk oleh pemerintah. Selepas melewati era penjajahan, masyarakat Indonesia dihadapakan pada euforia modernisasi dan pembangunan infrastruktur besar-besaran sebagai negara baru. Ideologi pembangunan yang dihembuskan pemerintah Orde Baru menimbulkan dampak ketimpangan ekonomi yang cukup tinggi. Sejalan dengan hal tersebut, modernisasi yang tidak berpijak pada budaya lokal juga berdampak pada munculnya pergulatan serta konflik seperti perebutan lahan maupun pelupaan etos adat dan tradisi kerakyatan.
Luasnya bentang alam Indonesia dan kondisi perekonomian yang semakin timpang menciptakan kesenjangan ekonomi dan sosial yang tinggi antara Jawa, sebagai pusat segalanya, dengan daerah lain di luar Jawa. Pengutamaan pengembangan infrastruktur yang terpusat di Jawa, yang memunculkan gelembung kota pusat kebudayaan, telah melahirkan kecenderungan masyarakat yang abai dan mengesampingkan berbagai masalah di daerah ‘luar Jawa’.
Laku Unjuk Rasa dalam Keseharian
Keberagaman studi kasus dan cara tutur 16 kontributor dalam buku ini mengisahkan berbagai analisis dan refleksi yang dibagi menjadi 6 tema berdasar intensi masing-masing. Beragam artikel dengan beragam cara pemaparan itu juga menghadirkan keberagaman pengalaman praktik performativitas dalam relasi sosial dengan masyarakat melalui berbagai praktik artistik nan politis.
Tulisan pertama pada bagian “Mengasah Tubuh” ditulis oleh Diah Kusumaningrum. Diah mengamati bagaimana upaya rekonsiliasi di daerah pasca konflik melalui kacamata performativitas. Melalui pengamatannya, berbagai upaya rekonsiliasi yang dilakukan pasca konflik dapat dilihat sebagai sebuah laku performans dan performativitas. Sebagai upaya rekonsiliasi, performans dilihat sebagai simbol yang dipertontonkan, seperti berjabat tangan, saling berpelukan dan ucapan penyesalan. Seharusnya upaya rekonsiliasi bisa menjadi sebuah laku performativitas, bahwa ada produksi dan reproduksi pemahaman bersama soal bagaimana menghilangkan jurang pemisah antara masa lalu dan masa kini, hingga trauma antar korban pada masa konflik. Performativitas dimaknai sebagai laku yang menubuh dalam kehidupan sehari-hari. Melalui perspektif performativitas Diah mengambil contoh bagaimana anggota Maluku Photo Club (MPC) , yang terdiri dari para pemuda dengan berbagai latar belakang agama, melakukan kegiatan hunting foto melintas batas desa Muslim-Kristen, ketika terdengar rumor bahwa kedua kelompok keagamaan tersebut akan saling serang dan menutup jalan-jalan desa. Kegiatan tersebut dapat dibaca sebagai komitmen dan upaya saling melindungi dan menjaga aspirasi hidup damai antar umat beragama.
Bagian kedua, “Setelah Penyadaran dan Pemberdayaan”, diawali dengan tulisan Alia Swastika yang menyoroti perjalanan ‘seni rupa penyadaran’ Moelyono. Praktik seni aktivisime melalui metode live in atau tinggal bersama rakyat yang dilakukan Moelyono sejak pertengahan 1980-an merupakan strategi Moelyono membangun kesadaran sosial dan cara pandang kritis masyarakat. Perjalanan Moelyono tidak lepas dari kerentanan pengarusutamaan kompleksitas perkembangan seni rupa kontemporer hari ini.
Cholil Mahmud dalam tulisannya yang berjudul “Musik dan Peristiwa Musik sebagai Medium Aktivisme” menyoroti betapa musik memiliki karisma yang unik dan mampu menjadi alat propaganda untuk menyuarakan kritik-kritik pada pemerintah, hingga bagaimana pemerintah sejak era Soekarno merasa terancam dan perlu membatasi ekspresi berkarya para musisi. Musik sebagai alat propaganda yang nyata mampu menjadi penggerak sekaligus ancaman bagi pemerintah. Sebagai penggerak politik musik tidak hanya dipakai sebagai latar gerakan sosial atau alat sarana mengkritik. Pertunjukan musik juga digunakan sebagai cara menggalang suara saat pemilihan umum hingga medium untuk mengkampanyekan program pemerintah.
Rancangan Undang-undang permusikan yang baru-baru ini ramai dibicarakan dan menyulut berbagai kontroversi dari musisi, pengamat hingga penikmat musik adalah contoh kecil betapa musik masih menjadi medium unjuk rasa kesayangan masyarakat Indonesia. Tidak jauh beda dengan praktik seni aktivisme dalam seni rupa, praktik bermusik di Indonesia juga masih rentan dengan dilema pengarusutamaan. Menumbuhkan kesadaran kolektif atas produksi musik harus terus dipupuk agar medium musik, dengan konten kritik terhadap situasi sosial masyarakat hingga kebijakan pemerintahnya, tidak sekedar menjadikan isu sebagai komoditas demi mengangkat popularitas. Selain itu musisi dan masyarakat penikmat musik juga selayaknya tidak terjebak dalam relasi hirarkis bersekat pengidolaan.
Pada bagian “(ME)RUANG”, Morika Tetelepta menceritakan pengalam dan refleksinya atas penyelenggaraan #AmbonArtWalk, sebagai satu tawaran proyek seni untuk perdamaian. Berangkat dari kegelisahan pasca konflik agama yang terjadi di Ambon, yang berdampak pada semakin terpisah-pisahnya ruang tinggal warga berdasar agama, dibangunlah satu melting pot, sebuah ruang interaksi bersama sebagai upaya pemulihan kondisi sosial masyarakat Ambon pasca konflik. Sebagai rumah yang memiliki fungsi tempat bertemu dan berinterksi, Paparisa Ambon menyediakan internet gratis, studio musik, perpustakaan dan ruang yang bisa dipakai untuk hanya sekedar mampir atau tidur-tiduran. Pada bangunan dua lantai dengan berbagai fasilitas tersebut digagas pula berbagai kegiatan bersama yang diupayakan mampu merobohkan sekat tinggi berbagai perbedaan pemicu konflik, salah satunya yakni #AmbonArtWalk. #AmbonArtWalk merupakan kegiatan berjalan bersama menyusuri kampung-kampung bekas lokasi konflik. Berbagai aktivitas kesenian dibuat bersamaan dengan kegiatan susur kampung. Dengan mengajak anak muda dan memanfaatkan kecanduan atas sosial media dan swafoto, memanfaatkan ruang-ruang saksi sejarah serta melibatkan berbagai interaksi peserta dan penduduk kampung, #AmbonArtWalk menjadi satu ide yang efektif dalam mengupayakan rekonsiliasi sekaligus refleksi.
Unjuk Rasa yang Nyeni
Refleksi dan analisis ‘unjuk rasa’ yang dirangkum melalui sebentuk buku ini seolah menjadi jalan pintas saya untuk memahami bagaimana laku artistik dapat menjadi perantara dalam upaya rekonsiliasi; bahwa tindak estetis mampu berjalan harmonis sekaligus politis. Dengan menyajikan berbagai cerita dan pengalaman nyata tentang beragam inisiasi dan intervensi artistik demi upaya rekonsiliasi dan penguatan kultural masyarakat, isi buku ini lebih dari sekedar kesan pertama yang saya tangkap dari wujud fisik buku, judul dan teks pada sampul belakang.
Melalui berbagai jenis cara tutur dan gaya bahasa atas refleksi penyelenggaraan kegiatan hingga analisis laku unjuk rasa dalam ranah artistik, bagi saya buku ini asyik untuk terus dibaca dan banyak memberikan kejutan. Sebagai tulisan refleksi, saya cukup nyaman dan mudah memahami isi. Rasanya seperti membaca satu lakon yang lengkap dengan gambaran atas apa yang dirasakan serta pengalaman yang didapatkan penulis. Selain itu dalam beberapa tulisan, saya dibuat cukup terkejut dan kesulitan untuk memahami istilah-istilah asing maupun kutipan atas teori-teori tertentu yang digunakan untuk membingkai suatu cara pandang. Pada tataran teknis saya tidak mengerti kenapa satu artikel milik Morika Tetelepta ditulis secara keseluruhan menggunakan font italic dan tidak mengindahkan beberapa aturan penulisan yang selama ini saya pahami. Hal ini membuat saya kesulitan untuk menangkap beberapa nama atau istilah yang digunakan. Mungkin saja teknik penulisan ini sengaja dibuat atas dasar kebutuhan artistik dan saya yang terlalu kagok, terlanjur terpaku pada aturan baku.
Terlepas dari kesulitan saya menerjemahkan istilah maupun hal teknis terkait penulisan, saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca siapapun. Alasannya adalah karena buku ini sangat membantu saya melihat berbagai upaya yang dilakukan, tidak hanya pekerja seni namun juga kelompok-kelompok masyarakat untuk lebih dari mengupayakan rekonsiliasi, namun juga menumbuhkan cara pikir kritis, sensivitivitas serta kesadaran masyarakat atas situasi politik-sosial-budaya melalui kegiatan kesenian. Buku ini mampu memperlihatkan proses demokratisasi dalam konteks kerja-kerja kebudayaan dengan lebih melibatkan masyarakat dan memanfaatkan ruang-ruang keseharian masyarakat; menempatkan seni sebagai mediator dalam mengakomodir dan mengurai berbagai pertanyaan dan persoalan.
Artikel ini merupakan rubrik Review by Staff dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Januari-Februari 2019.