Judul : Basoeki Abdullah, Sang Hanoman Keloyongan
Penulis : Agus Dermawan T
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun Terbit : 2015
Tempat Terbit : Jakarta
Halaman : 280 hlm; 15 cm x 23 cm
ISBN : 978-978-91-0904-0
Resensi oleh : Vicky Ferdian Saputra
Sejak bangsa Indonesia merasa memiliki seni lukis, nama Basoeki Abdullah (1915-1993) termasuk paling sering disebut sebagai pelukis bangsa. Popularitasnya menyandingi kenangan sebagian besar masyarakat atas Raden Saleh dan Affandi, juga atas S. Sudjojono yang pernah menjadi “musuh” dalam perbedaan pandangan ideologi seni. Basoeki Abdullah memang telah memilih jalan kesenilukisannya sendiri. Jalan naturalisme (yang diromantisasi) membuat Basoeki tidak duduk di kursi terdepan, tidak pula di belakang, tapi menjadikannya pusat penglihatan banyak orang.
Raden Basoeki Abdullah lahir di desa Sriwedari, Solo, pada 27 Januari 1915, atau Rabu Legi, 10 Rabiulawal (Mulud) dalam kalender Jawa. Ia adalah anak dari Raden Abdullah Suriosubroto, seorang pelukis naturalis yang mencatatkan nama tebal dalam sejarah seni lukis Indonesia. Ibunya adalah Raden Ayu Sukarsih, istri kedua Abdullah. Sukarsih tercatat sebagai salah seorang keluarga Kasunanan Solo yang di kemudian hari memperoleh nama keningratan: Raden Nganten Ngadisah. R.N. Ngadisah memiliki keterampilan dalam membatik. Ia sanggup menghasilkan karya-karya batik yang halus dan memikat. Itu sebabnya anak-anak Abdullah dan Ngadisah sebagian menjadi pelaku seni, termasuk Basoeki Abdullah.
Sejak dini Basoeki hidup dikelilingi tradisi istana Kasunanan Solo. Kehidupan ini jelas membawa pengaruh kepada jiwa pribadinya untuk menjadi aristokratis. Jiwa aristokratis ini kemudian terjelaskan oleh apa yang ia ciptakan lewat pensil atau cat minyak, sebagai bagian dari kecenderungan melukis bangsawan dan para tokoh bangsa terkemuka di sekitarnya. Salah satu figur yang sering ia gambar tentulah sang kakek, dokter Wahidin Sudirohusodo.
Singkat cerita, Basoeki mulai beranjak dewasa. Petualangannya dimulai dengan dirinya yang dipermandikan sebagai seorang Katolik. Ia harus memilih nama sakramen yang dalam tradisi Katolik dianggap sebagai materai bahwa ia sudah disahkan sebagai umat. Fransiscus Xaverius Agustinus Raden Basoeki Abdullah adalah nama sakramen yang ia pilih dengan tujuan agar menjadi pelukis yang (akan) berjalan jauh mengembara, dengan berbekal jiwa kuat penuh toleransi, berpikiran cerdas dan terbuka dengan kritik-kritik.
Setelah dipermandikan ia kembali ke rumah ayah dan ibunya di Solo. Namun ia tak lama berada di situ, karena tiba-tiba dipanggil ke Bandung oleh keluarga Drs. R.M.P. Sosrokartono, kakak kandung pejuang emansipasi wanita Indonesia R.A. Kartini. Di dalam keluarga ini Basoeki Abdullah dibesarkan. Ia sering mendengarkan pembicaraan Sosrokartono dengan para tamu yang notabene para cendekiawan dan tokoh pergerakan. Basoeki sangat mengagumi pemikiran Sosrokartono. Banyak prinsip hidup yang ia dapat dari Sosrokartono. Pada masa-masa ini pula karir Basoeki dipertaruhkan sekaligus dicerahkan, karena untuk pertama kalinya lukisan Basoeki dibeli orang.
Pada akhir 1933, Basoeki Abdullah berkesempatan bertolak ke negeri Belanda. Di Belanda Basoeki langsung menuju ke kota Den Haag dan mendaftarkan diri sebagai murid Koninklijke Academie van Beeldenden Kunsten, akademi seni lukis yang dikelola Kerajaan Belanda. Masa-masa awal di akademi dia gunakan sepenuhnya untuk melihat-lihat galeri dan museum di sejumlah kota di Belanda, sehingga ia pun memiliki sejumlah pelukis idola, seperti Gerrit Dou, Frans Snyders, Pieter Janzs S., Anthony van Dyck dan lain sebagainya. Basoeki resmi menempuh pendidikan di akademi pada Januari 1935 dan selesai pada Maret 1937, lebih cepat 10 bulan dibanding ketentuan akademik yang menuntut tiga tahun masa studi.
Di Belanda pula Basoeki muda bertemu dengan “malaikat buku”, sosok wanita Belanda bernama Josephine yang pada akhirnya menjadi istri pertama Basoeki Abdullah. Pada 1937, Basoeki yang berusia 22 tahun memberanikan diri untuk menikahi Josephine yang berumur 20 tahun di sebuah gereja Katolik di Den Haag. Setelah melakukan perjalanan tamasya ke Batavia, pengantin baru ini tiba-tiba memutuskan untuk tinggal di Indonesia saja. Josephine ingin jauh ayah-ibunya yang sesungguhnya kurang setuju dengan pernikahan mereka. Namun, lantaran iklim dan cuaca di Batavia kurang cocok dengan orang Belanda, mereka pun pindah ke Bandung yang lebih sejuk. Di kota ini, Josephine melahirkan anak pertamanya, Saraswati, pada 1938.
Sampai suatu ketika, Basoeki memutuskan untuk kembali ke Batavia dan tinggal di Jalan Gambir Buntu. Di Batavia kehidupan seni lukis Basoeki mulai menyala secara profesional. Lukisannya banyak dikoleksi orang, sehingga ia mampu membeli mobil Ford Cabriolet yang lumayan keren. Kemampuan Basoeki makin diperhatikan komunitas seni kelas atas. Karena itu ia lantas disponsori untuk berpameran di galeri toko buku Kolff, Jalan Noordwijk, Jakarta pada 21-31 Januari 1939. Sambutan yang datang di luar dugaan. Bahkan pada pameran tersebut para pejabat tinggi Belanda menyempatkan diri untuk hadir. Peristiwa yang langka untuk pelukis bumiputera Indonesia.
Namun, reputasi Basoeki yang kian mengemuka dalam pameran itu sepertinya tidak berkenan bagi sebagian publik seni rupa di Indonesia. Serangan dari sejumlah pelukis dan kritikus dilontarkan kepada lukisan-lukisan Basoeki dan lukisan ayah serta kakaknya. Mereka menilai konsep dan gaya lukis Abdullah Suriosubroto, Basoeki Abdullah, Sudjono Abdullah, serta para pelukis Hindia Belanda lainnya menganut “Mooi Indie” (Hindia Jelita) yang cuma menghamba pada selera turis. Kritik pedas yang ia terima lantas tidak menjadikannya patah dalam berkarya. Justru Basoeki menjadi tambah semangat untuk membuka jalannya sendiri di medan seni rupa Indonesia.
Pada 1939 ia memulai muhibahnya. Berbekal puluhan karya, ia berkunjung dan berpameran di Surabaya, Yogyakarta, Bandung, hingga Medan. Pameran muhibah itu memunculkan kekaguman, pujian, sekaligus aneka kritik. Menurut dia, sebuah perjalanan seni memang bukan sekadar mencari pengakuan, tetapi juga menatap panorama kritis yang dapat melucuti semangat kemajuan. Secara umum, respon positif atas karir Basoeki muncul dari pers. Bersamaan dengan kesibukan Basoeki memetik pujian, kritik dan popularitas, kehidupan bahagia Basoeki dan Josephine tampak mengalami erosi. Setelah melewati berbagai peristiwa keluarga, pada akhir 1941 mereka sepakat bercerai.
Babak baru perjalanan hidup Basoeki Abdullah diceritakan bersamaan dengan kekuatan baru yang menguasai Indonesia. Terselubungi oleh dalih mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, kini giliran Jepang yang memegang kendali. Di Jakarta, Basoeki diceritakan bergabung dengan Poetera (Poesat Tenaga Rakjat). Di organisasi ini, ia lantas diserahi tugas memegang bagian kebudayaan bersama Affandi dan S. Sudjojono, rekan seprofesi yang menjadi sparring partner-nya. Pada jaman Jepang dunia kesenilukisan Basoeki tetap meluncur lancar. Kegiatan organisasi yang ia ikuti menjadikannya semakin dekat dengan sosok Soekarno, yang menurut Agus Dermawan, Basoeki dan Sukarno ini ibarat dua kutub magnet yang saling tarik-menarik.
Di punggung buku ini dijelaskan bahwa Basoeki Abdullah menyebut dirinya sebagai “Hanoman keloyongan” atau Hanoman yang berjalan ke mana-mana karena hampir separuh umur Basoeki digunakan untuk mengembara dan berkarya di luar negeri. Namun, sesungguhnya sosok Hanoman muncul karena permintaan seorang wanita. Dalam kesibukannya mengurus persiapan pameran di Amsterdam, Basoeki berjumpa dengan seorang wanita belanda bernama Maria Michel. Ia adalah seorang penyanyi seriosa yang telah mengenal Basoeki sebelumnya. Di dalam pertemuan tersebut, mereka saling berbalas kisah mulai dari musik klasik sampai cerita tokoh pewayangan. Dari situ Maria sangat terkesan kepada Hanoman dan menyebut Basoeki sebagai Hanoman. “Basoeki harus jadi Hanoman”, kata wanita itu.
Basoeki melamar Michel dan mereka akhirnya menikah. Karena pelafalan nama Maria sangat mirip dengan bunyi “maya”, Basoeki mengindonesiakan Maria menjadi Maya. Maria senang dengan nama ini karena artinya misterius; ada tetapi tidak ada. Basoeki hidup bahagia dengan Maya. Mereka hidup berpindah-pindah, dari Belanda, Singapura, lalu Jakarta. Namun, lagi-lagi pernikahan mereka harus kandas oleh isu politik yang memicu perselisihan antara Basoeki dan Maya, ditambah fakta bahwa Basoeki diam-diam mengagumi wanita Jepang yang pada akhirnya gagal ia nikahi karena tidak memegang restu dari ayah wanita Jepang tersebut.
Sebelum bercerai dengan Maya, karir kesenian Basoeki semakin menuju puncak, sampai pada akhirnya ia diminta untuk menjadi pelukis Istana Kerajaan Thailand. Keluarga istana sangat mencintai Basoeki dan karyanya. Ia mendapat studio yang nyaman dan upah yang lebih dari cukup. Basoeki yang jomblo itu hidup enak dan hedonis. Statusnya sebagai pelukis Istana ia manfaatkan untuk menarik perhatian seorang wanita. Somwang Noi adalah gadis bar yang akhirnya terpikat oleh figur Basoeki. Namun, hubungan mereka tidak mendapat restu oleh keluarga Istana. Meskipun demikian, cinta akhirnya mengalahkan segalanya. Basoeki nekat menikahi Noi. Dan benar adanya, hubungan mereka hanya berlangsung dua tahun. Lagi-lagi Basoeki ditinggalkan karena alasan playboy.
Pernikahan keempat dan kelima Basoeki dilakukan bersama satu wanita Bangkok bernama Nataya Nareerat. Pernikahan keempatnya harus dimanipulasi demi mengelabuhi regulasi hukum Thailand yang melarang kewarganegaraan asing untuk memiliki tanah di Thailand. Perceraian pun dilakukan sebagai siasat Basoeki dan Nataya agar mereka dapat membeli tanah di Thailand. Setelah mereka memiliki sebidang tanah, mereka kembali menikah secara hukum dan hidup bahagia bersama. Pada 13 Oktober 1972, Nataya melahirkan seorang anak bernama Cicilia Sidhawati.
Sampai di sini, lika-liku kisah cinta Basoeki tidak lagi menjadi sorotan. Nataya adalah cinta terakhir Basoeki. Topik pembahasan berganti menjadi kegelisahan Basoeki atas kondisi di negaranya, Indonesia. Situasi kesenian sedang tidak kondusif. Ketika itu muncul lembaga-lembaga kebudayaan kiri maupun kanan. Gesekan-gesekan politik di antara kedua kubu membuat ia gundah untuk kembali tinggal di Indonesia. Secara pribadi Basoeki sependapat dengan Manifesto Kebudayaan, namun ia tidak ingin terlalu mencampuri perbedaan pendapat tersebut. Ia takut kalau hubungan persahabatannya dengan Sukarno yang sangat tidak sependapat dengan Manifesto Kebudayaan akan terganggu.
Basoeki melanjutkan karirnya di luar negeri seperti biasa. Ia bertolak dari satu negara ke negara lain. Setelah Thailand, ia sempat menjadi pelukis Sultan Brunei Darussalam, Istana Presiden Filipina, sampai akhirnya ia bisa kembali berkesenian di Indonesia. Kembalinya ia ke Indonesia berawal karena paksaan Presiden Soeharto yang menginginkannya untuk melukis potret di Istana dengan alasan bahwa Basoeki Abdullah adalah satu-satunya pelukis potret terbaik yang dimiliki Indonesia.
Bagian-bagian akhir dari buku ini adalah bagian paling menarik yang akhirnya melengkapi kisah kehidupan Basoeki yang keloyongan. Menyenangkan dan lega rasanya mengetahui rivalitas Basoeki dengan S. Sudjojono berakhir dengan canda tawa, terkejut ketika pertemanannya dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX berakhir kurang baik, dan sedih rasanya harus mengetahui bahwa Raden Basoeki Abdullah (Hanoman) harus mengakhiri kisahnya dengan tragis.
Agus Dermawan T, melalui buku ini menceritakan perjalanan hidup Basoeki Abdullah dengan cukup detail. Alur cerita yang kronologis memudahkan pembaca dalam memahami isi cerita dan peristiwa yang ada. Kisah yang dimuat tidak melulu soal seni (lukis), tapi juga kisah cinta dan pernikahan Basoeki yang berkali-kali gagal, serta hal-hal mistis yang ia jalin dengan Nyi Roro Kidul. Buku ini yang seolah sangat personal ini bagi saya memberikan pandangan lebar dalam melihat figur Basoeki Abdullah sebagai seorang pelukis maupun Sang Hanoman yang “keloyongan”.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Pustaka dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Juli-Agustus 2019.