oleh Krisnawan Wisnu Adi dan Sukma Smita Grah Brillianesti
Bu Neni. Begitulah sapaan akrab yang kerap ditujukan untuk memanggil Yustina Neni Nugraheni, salah satu orang lawas di skena ‘manajemen seni’ di Yogyakarta. Wanita kelahiran Yogyakarta, 16 Juni 1969 ini mulai aktif di skena kesenian sejak ia menempuh studi di Jurusan Sastra Prancis, Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1988.
Semasa kuliah Bu Neni aktif terlibat di Kelompok Bulak Sumur (KBS). KBS merupakan sebuah kelompok kecil di kampus UGM yang terdiri dari para mahasiswa yang gemar menggambar. Mereka berkumpul, menggambar, dan berdiskusi bersama. Jauh lebih progresif dari UKM lainnya, KBS sering menemui beberapa seniman berpengaruh di Yogyakarta untuk mendalami pernak-pernik kesenian secara serius.
Pada 1992, ketika sekelompok seniman yang dimotori oleh Dadang Christanto ingin mengkritik keganjilan regulasi dari Biennale Yogyakarta, KBS menjadi sasaran rekan kerja. Karena tidak memiliki legalitas untuk menggelar pameran di ruang publik, sekelompok seniman tersebut kemudian mengajak KBS sebagai payung lembaga. Ketika rekan-rekan KBS yang lain, seperti Hanura, Kris Budiman, dan Bambang Paningron lebih terjun di bidang kekaryaan dan wacana kebebasan ekspresi, Bu Neni berperan sebagai sekretaris. Ia mengurus perijinan dari kelurahan hingga polsek. Strategi administrasi ia kerjakan bersama Agung Kurniawan dan Dadang Christanto.
Jaringan kesenian Bu Neni menjadi semakin luas. Pada 1995 Mella Jaarsma dan Nindityo mengajaknya untuk membentuk Yayasan Seni Cemeti (sekarang Indonesian Visual Art Archive). Ia dipercayai untuk menjalankan peran bendahara, mengurus cash flow dan tentu sekaligus ikut memelihara cita-cita yayasan kebudayaan ini. Di yayasan inilah Bu Neni mulai belajar dan mempraktikkan kerja-kerja akuntansi secara serius. Tuntutan dari HIVOS sebagai lembaga funding pada waktu itu menjadi latar belakang keseriusannya ini. Ia menjadi paham tentang beberapa prinsip dasar keuangan sederhana, seperti neraca hingga sistem input double entry.
Bu Neni juga sampai pada sebuah kesimpulan bahwa catatan keuangan bukan hanya soal teknis, tetapi juga bagian dari performa organisasi. Kendali budget adalah salah satu mekanisme yang ia terapkan. Sebagai sebuah organisasi nirlaba yang bergerak di bidang dokumentasi kesenian, YSC sering menerima hibah dokumentasi dari publik. Bagi Bu Neni, menerima hibah secara berlebihan justru mengurangi performa organisasi. Oleh karena itu ia mengalokasikan anggaran untuk pengadaan koleksi serta dokumentasi secara mandiri sebagai bentuk apresiasi karya. “Ngirit itu juga ada ilmunya”, ungkap Bu Neni. Beberapa prinsip serta mekanisme tersebut kemudian diterapkan oleh bendahara-bendahara setelahnya.
Tidak berhenti di YSC, kemampuan ‘menata’ organisasi kebudayaan dari Bu Neni terus berkembang. Pada 2009, ketika Biennale Yogyakarta membutuhkan mekanisme kerja yang lebih tertata, Dian Anggraini mengajak dirinya untuk ikut terlibat. Oleh karena itu, setahun setelahnya Bu Neni menginisiasi pendirian Yayasan Biennale Yogyakarta. Tujuan dibentuknya yayasan ini: satu, supaya Biennale Yogyakarta tidak hanya berhenti sebagai acara dua tahunan Dinas Kebudayaan, tetapi juga sebagai gelaran kesenian yang berkontribusi dalam diskursus kebudayaan secara progresif; dua, membangun aset yang sifatnya mandiri dan berkelanjutan, tidak hanya kepanitiaan yang bongkar pasang.
Kiprah Bu Neni di bidang manajemen seni seolah tidak bisa diragukan lagi. Meskipun berangkat dari ketidaktahuannya atas Binal Eksperimental 1992 sebagai peristiwa penting, kerja-kerja manajerial yang telah ia lakukan telah menyumbang kekayaan infrastruktur sosial kesenian di Yogyakarta. Namun, ia tidak peduli dengan atribut ‘manajer seni’. “Sak karepmu, sing penting kowe sregep nyambut gawe (terserah kamu, yang penting kamu bekerja dengan tekun)”. Itu adalah prinsip pengorganisasian yang selalu ia terapkan sebagai bagian dari platform awal kerja bersama.
Selain tidak peduli dengan atribut, ia juga punya perhatian khusus terhadap manajemen ruang. Ruang menjadi salah satu hal fundamental dari kebutuhan untuk bekerja. “Ruang yang berfungsi publik, dia harus gampang dibersihkan. Dia harus public friendly”, ungkapnya. Salah satu contoh adalah desain ruang Kedai Kebun Forum (KKF), restoran sekaligus ruang seni yang ia dirikan bersama Agung Kurniawan. Karena menjadi ruang yang berhubungan dengan publik luas, KKF didesain agar kuat, tahan lama, dan tidak memerlukan perawatan yang rumit. Semua saluran air selalu ada di luar, sehingga mudah diketahui jika ada yang bocor. Selain itu, ia sangat melarang pegawai-pegawainya untuk kerja lembur. Jika mereka lembur, mereka akan mudah sakit. Jika mereka sakit, semua akan ikut repot. Art follows function, begitulah prinsip manajemen kedua yang ia terapkan.
Meski tidak terlalu peduli dengan atribut, bagi Bu Neni struktur organisasi tetaplah penting dalam kerja-kerja pengorganisasian seni. Terlebih untuk konteks sekarang, ketika banyak sekali acara yang melibatkan negosiasi dengan pemerintah, struktur organisasi menjadi satu kebutuhan formal yang tidak bisa dihindari. Namun, dalam prakteknya kerja kesenian tidak bisa selalu kaku. Oleh karena itu yang relevan untuk dilakukan adalah rekayasa manajerial. Bahwa yang ideal itu bukan kerja berdasarkan struktur organisasi di atas kertas semata, melainkan berdasarkan kebutuhan bersama secara inklusif.
Dari sekian banyak pengalaman manajemen seni yang telah ia lakukan, ada satu refleksi menarik yang Bu Neni temukan. Bahwa manajemen itu bukan hanya persoalan teknis. Manajemen itu juga melibatkan laku olah mental. Persinggungan dengan banyak pihak akan menuntut ‘manajer’ untuk terus menegosiasi perasaannya. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah sadar akan keterbatasan dalam menjalankan suatu pekerjaan. Tak lain dan tak bukan, kerja manajerial adalah kerja kemanusiaan.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Juli-Agustus 2019.